Kabar Internasional
Laporkan 5.000 Kematian Hanya dalam Semalam, Presiden Ekuador Akui Negaranya Gagal Hadapi Covid-19
Presiden Ekuador, Lenin Moreno akui negaranya gagal hadapi krisis kesehatan di tengah pandemi Covid-19 setelah laporkan 5.000 kematian dalam semalam.
TRIBUNPALU.COM - Gempuran wabah virus corona (SARS-CoV-2) ini tak mengenal ampun di wilayah Amerika Latin.
Tepatnya di Ekuador, situasi kacau dan memprihatinkan tampak di jalanan Kota Guayaquil, Provinsi Guaya.
Ketidaksiapan fasilitas kesehatan, pemulasaraan, dan pemakaman jenazah membuat negara itu ambruk dan memperlihatkan ribuan jenazah warganya yang meninggal dunia di rumah baik karena Covid-19 maupun bukan.
Dikutip dari BBC Indonesia, setidaknya 6.700 orang meninggal dunia pada dua minggu pertama April di sana.
Kematian tersebut tidak hanya terkait Covid-19, tetapi jenazah dengan kondisi kesehatan lainnya juga terdampak lantaran layanan kesehatan setempat yang lumpuh.
• Jenazah Covid-19 Hilang setelah Terlantar di Jalanan Ekuador, Keluarga: Jasad Pamanku Entah di Mana
Seorang pekerja di sebuah rumah duka di Guayaquil, menceritakan betapa mengerikannya pemandangan kota mayat itu.
"Kami sudah melihat orang meninggal di mobil, di ambulans, di rumahnya, di jalanan," kata Katty Mejia.
Tak ayal Kota Guayaquil disebut sebagai kota mayat sebab banyaknya peti dan kantong jenazah yang menenuhi tepian jalan kota tersebut.
"Salah satu alasan mereka tidak dirawat di rumah sakit karena alasan kekurangan tempat tidur. Jika mereka ke klinik swasta, mereka harus membayar dan tidak semua orang punya uang," katanya.
Banyak dari perusahaan pemulasaraan dan pemakaman jenazah memilih tutup sementara karena khawatir akan terjangkit virus corona.
Maka dari itu, keluarga yang putus asa membiarkan mayat kerabatnya tergeletak di depan rumah, sedangkan sebagian lainnya membiarkan jenazah berada di tempat tidur selama berhari-hari.
• 300 Jenazah Covid-19 Berhari-hari Tergeletak di Jalanan Ekuador, Kontainer jadi Kamar Mayat Darurat
Kota Guayaquil juga mulai kehabisan ruang untuk menguburkan mayat sehingga memaksa sebagian orang untuk membawa jenazah kerabat ke kota tetangga untuk dimakamkan di sana.
Kebutuhan untuk menguburkan jenazah sangat tinggi hingga sebagian warga menggunakan kotak karton atau peti kardus sebagai peti mayat.
Bahkan narapidana juga dikerahkan untuk membuat peti mati dari kayu.

Presiden Ekuador akui gagal tangani krisis kesehatan
Atas ambruknya pertahanan layanan kesehatan di negaranya, Presiden Ekuador, Lenin Moreno mengakui pemerintahan telah gagal mengatasi krisis kesehatan akibat pandemi virus corona ini.
Hingga 16 April, pemerintah yakin hanya 400 orang meninggal dunia karena virus corona.
Tapi setelah Satuan Tugas Gabungan Virus Corona mengumpulkan semua data, gambaran besarnya berubah.
Hal itu diungkapkan oleh Kepala Satgas Pemerintah Ekuador, Jorge Wated.
"Dengan angka yang kita dapat dari Kementerian Dalam Negeri, tempat pemakaman umum, kantor pencatatan sipil dan tim kami, kami sudah menghitung setidaknya 6.703 kematian di Guayas di 15 hari pertama pada April," kata Jorge Wated.
"Rata-rata mingguan di sini mencapai 2.000. Jadi, kami sudah merekam 5.700 kematian dari biasanya," lanjutnya.

Tidak semua kematian di Provinsi Guaya terkait langsung dengan Covid-19, sebagian orang meninggal karena gagal jantung, masalah ginjal, atau masalah kesehatan lain yang memperburuk kondisi karena tidak segera ditangani.
Sementara menurut Dr Carlos Mawyin, kesehatan masyarakat di Ekuador memang kerap bermasalah bahkan selalu menjadi isu yang serius dalam pemerintahan.
"Kesehatan masyarakat di Ekuador selalu bermasalah. Ini merupakan salah satu titik lemah di hampir semua periode pemerintahan," katanya kepada BBC.
Ditambah dengan hataman wabah Covid-19 makin memporakporandakan sistem kesehatan di Ekuador.
Pihak pemerintah telah memperpanjang jam malam dan berjanji akan mengetes banyak pasien lagi.
Tapi bagi warga di Guayaquil menganggap janji itu sudah terlambat.
• Update Corona di Indonesia per Senin, 20 April 2020: Total 6.760 Kasus Positif, 747 Pasien Sembuh
Jenazah Covid-19 Hilang setelah Terlantar di Jalanan Ekuador, Keluarga: Jasad Pamanku Entah di Mana
Saat ini, virus corona telah menjangkit 9.468 warga Ekuador dengan kematian mencapai 474 jiwa seperti dilansir Worldometer per Senin (20/4/2020) petang.
Selain masalah kesehatan, rumah sakit yang penuh dan unit gawat darurat yang tidak berfungsi, Guayaquil juga menghadapi masalah jenazah, karena kebanyakan perusahaan pemakaman menutup pintu mereka akibat takut tertular.
Karena kurangnya persiapan menghadapi pagebluk ini menyebabkan proses pemulasaran dan pemakaman jenazah Covid-19 tak terurus dengan baik.

Pemandangan itu tampak saat banyak kotak peti dan kantong jenazah tergeletak di pinggir jalan selama berhari-hari yang belum diurus oleh otoritas kesehatan setempat.
Hal tersebut terjadi lantaran pemakaman umum di sana ikut ambruk di tengah wabah pandemi ini.
Sebab, pihaknya kewalahan untuk mengurus jenazah baik dari pasien Covid-19 maupun jenazah dengan penyebab kematian lainnya.
Dari data pekan terakhir Maret, ada lebih dari 300 yang meninggal di rumah dan kemudian diangkut oleh kepolisian setempat.
Tak hanya itu, sejumlah gelandangan pun tergeletak dalam keadaan meninggal di tepian jalan.
• Kisah Kasta Dalit yang Dianggap Penting Pemerintah India, Namun Tak Diperhatikan saat Wabah Covid-19
Jenazah yang terlantar, beberapa di antaranya dilaporkan hilang
Sementara dikutip dari ABC News, bahkan ada pula kejadian jenazah yang dilaporkan hilang entah kemana.
Seorang pasien yang bernama Alfonso Cedeno meninggal dunia di rumah sakit di Guayaquil.
Lantaran kewalahan, rumah sakit hanya bisa menawarkan tandu ambulans untuk sementara.
Namun setelah dua minggu, pihak keluarga pasien tersebut tidak tahu di mana jasad Alfonso Cedeno berada.
Hal itu disampaikan oleh sepupu korban bernama Alfonoso Mariscal.
"Jasad pamanku entah di mana," katanya kepada ABC News, Selasa (7/4/2020) silam.
Alfonso Marsical akhirnya menemukan nama pamannya di situs website pemakaman Gardens of Hope.
Dari situlah ia tahu bahwa jenazah pamannya telah dimakamkan sehari sebelumnya.
Tetapi, saat ia pergi ke tempat pemakaman itu, jasad pamannya tidak ada di sana.
"Aku membuka peti mati, tapi kosong," kata Alfonso Marsical.

• 300 Jenazah Covid-19 Berhari-hari Tergeletak di Jalanan Ekuador, Kontainer jadi Kamar Mayat Darurat
Jenazah dibungkus plastik
Sementara dikutip dari BBC Mundo via BBC Indonesia, seorang warga bernama Bertha bercerita apa yang mereka alami di Guayaquil.
"Adik perempuanku meninggal lebih dulu. Kami membawanya ke luar ruangan. Kami duduk di luar rumahnya, dan di sanalah dia meninggal, di pelukanku. Kami mengajaknya ke apotek untuk mencari obat, tetapi dia sudah meninggal dunia," cerita Bertha.
Akhirnya, ia memutuskan untuk meminta bantuan ke apotek terdekat dengan harapan bisa membawa jenazah tersebut.
Setibanya di rumah, keluarga langsung menghubungi layanan darurat di kota itu, tetapi mereka tak kunjung datang.
Karena khawatir menimbulkan bau, akhirnya keluarga korban berinisiatif membungkus jasad perempuan tersebut.
Jenazah itu pun diletakkan di rumah selama empat hari dan keluarga Bertha Salinas harus mengandalkan media sosial untuk meminta bantuan.

Sebelumnya, keluarga tersebut telah menyadari adanya gejala Covid-19 yang menimpa anggota keluarga mereka.
Lantas mereka pun menelpon nomor yang disediakan pemerintah Ekuador untuk mendapatkan perawatan.
Tetapi ironisnya mereka justru diminta untuk tetap di rumah oleh otoritas setempat.
Meskipun mereka telah berusaha menghubungi dokter swasta, tidak seorangpun mau memeriksa walaupun berbagai gejala mengisyaratkan mereka terkena covid-19.
• Seorang Kurir Pizza di India Positif Virus Corona, Sempat Antar Pesanan ke 70 Pelanggan
Meninggal bukan karena Covid-19 ikut terlantar
Berbagai kisah diceritakan oleh keluarga korban dan tetangga korban yang meninggal dunia kepada BBC Mundo.
Seorang warga Guayaquil, Jesica Castaneda, sang paman meninggal pada 28 Maret.
Keluarganya pun menghubungi rumah sakit terdekat dan nomor ambulans lantaran tak ada yang berani memegang jasad korban karena khawatir virus corona.
Sayangnya, pihak rumah sakit hanya meminta untuk bersabar dan menunggu.
"Pamanku meninggal 28 Maret, dan tidak ada yang membantu mengurus jenazahnya. Kata rumah sakit, mereka tak punya pengangkut jenazah, dan kami tak bisa meminjam karena ia meninggal di rumah. Kami memanggil ambulans, tapi cuma diminta bersabar. Sekarang jenazahnya masih di tempat tidur, sama seperti waktu dia meninggal. Tak ada yang berani menyentuhnya," cerita Jesica Castaneda.
• Lockdown di India, Pria Ini Berusaha Raup Sisa Tumpahan Susu di Jalan Meski Dikerumuni Anjing
Situasi ini tak hanya berdampak pada mereka yang meninggal akibat Covid-19 tetapi juga korban yang meninggal karena penyebab lain.
Sebagai tetangga, Wendy Noboa bercerita tentang korban yang meninggal pada 29 Maret.
"Ia jatuh dan meninggal karena luka di kepala. Saya panggil ambulans lewat 911 tapi mereka tak datang. Ia tinggal bersama ayahnya yang berumur 96 tahun. Akhirnya ia dibiarkan di apartemen seharian sampai ada anggota keluarga datang membawa peti untuk memakamkannya. Tapi mereka juga tak bisa melakukannya karena tak ada dokter yang datang untuk menandatangani sertifikat kematian," ujar Wendy Noboa.

• Bakar Jenazah Korban Virus Corona 24 Jam Non-stop, Petugas Kremasi di China Alami Kelelahan
Rencana pemakaman massal ditolak warga
Sebelumnya diwartakan oleh koran El Universo melaporkan pemerintah kota telah merencanakan pemakaman massal pada 28 Maret, tetapi rencana ini tak mendapatkan sambutan masyarakat.
Alasannya yakni terkait tradisi di kota itu bahwa pemursalaan harus disaksikan keluarga.
Hal itu diungkapkan oleh ahli sosiologi asal Guayaqui, Hector Chiriboga kepada BBC Mundo.
"Di kota ini orang menunggu saudara mereka yang tinggal dan kerja di Eropa untuk kembali. Jenazah lalu dimandikan dan didandani. Sedangkan kremasi sangat dipandang buruk oleh Gereja Katolik,” kata Hector Chiriboga.
“Pemakaman massal itu pukulan bagi masyarakat yang punya ritual dalam kematian dan pemakaman. Mereka Kristen atau Katolik dan mereka akan sakit hati seandainya ritual pemakaman tidak dijalankan,” lanjutnya.
• Warga Tolak Pemakaman Mantan Anggota DPRD Sulsel: Kalau Masih Ingin Hidup Enak Jangan Kubur di Sini!
Sementara penolakan serupa juga disampaikan Jorge Wated selaku kepala gugus tugas pemakaman yang dibentuk Presiden Lenin Moreno.
Ia mengaku tak akan menerima tugas dari presiden apabila diperintahkan untuk membuat pemakaman massal.
"Saya menerima tugas ini untuk membawa mereka yang meninggal dari rumah dan rumah sakit di Guayaquil, dan mereka yang tak bisa mendapat layanan pemakaman bisa dimakamkan dengan layak secara Kristen, di halaman gereja di kota ini," katanya.
Namun, Jorge Wated menyatakan keluarga korban tidak boleh menghadiri pemakaman.

Kontainer jadi kamar mayat darurat
Solusi kemudian datang dari Presiden Lenin Moreno untuk mengatasi membeludaknya jenazah di kota itu.
Dikutip dari CNN, dalam pidato kenegaraannya pada Kamis (2/4/2020) menyerukan keterbukaan data di semua tingkat pemerintahan mengenai jumlah kasus virus corona di setiap wilayah.
"Sangat penting untuk mengatakan yang sebenarnya, jumlah kasus dan kematian, catatannya tak mencukupi," kata Presiden Lenin Moreno.
• Video Tenaga Medis Teriaki Warga saat Bawa Jenazah Covid-19: Jangan Lempar Batu, Kita Juga Manusia!
Jorge Wated mengatakan, bahwa para ahli memperkirakan antara 2.500 hingga 3.500 kematian akan terjadi beberapa bulan mendatang hanya di Provinsi Guaya saja.
Lebih lanjut, beberapa kontainer telah tiba di Kota Guayaquil untuk dijadikan kamar mayat sementara untuk menampung mayat yang belum sempat dimakamkan.
Pihak berwenang juga mengatakan, mereka berencana akan membuat ruang untuk 'pemakaman yang lebih bermartabat'.
Tetapi untuk saat ini, beberapa orang yang tinggal di Kota Guayaquil tetap terjebak dalam mimpi buruk, tanpa ada cara untuk meratapi orang yang mereka cintai, bahkan melalui pemakaman yang layak.
(TribunPalu.com/Isti Prasetya)