Kebijakan tak Konsisten, Sudjiwo Tedjo Umpamakan seperti Perempuan: Jangan Kasih Kami Rasa Bingung
Bicara soal ketidakkonsistenan kebijakan hadapi pandemi Covid-19, Sudjiwo Tedjo umpamakan pemerintah seperti perempuan: jangan kasih kami rasa bingung
TRIBUNPALU.COM - Budayawan kenamaan Sudjiwo Tedjo kembali menanggapi soal kebijakan pemerintah yang mulai terlihat tidak konsisten untuk menghadapi pandemi Covid-19 saat ini.
Sebab, menurutnya ketidak-konsistenan pemerintah dalam membuat kebijakan justru akan merusak rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemangku pemerintahan.
Hal itu Sudjiwo Tedjo ungkapkan dalam sebuah utas akun Twitter pribadinya, @sudjiwotedjo pada Selasa (12/5/2020).
Tak hanya soal kebijakan yang tak konsisten, seniman yang akrab disapa Mbah Tedjo ini menyoroti isu ekonomi.
Yakni soal nilai rupiah yang akan terus menurun dan harga BBM yang menurutnya bisa turun harga tetapi nyatanya tidak terjadi penurunan harga di Indonesia.

• Soal Bansos, Sri Mulyani: Bukan Masalah Anggaran, Tapi Focusing Target dan Data
Dua hal itulah yang menurut Mbah Tedjo dianggap sebagai kecemasan pemerintah saat menghadapi pandemi virus corona ini.
Namun, baginya isu ekonomi itu tidak perlu menjadi santer perhatian pemerintah lantaran situasi tersebut masih bisa diatasi dengan berbagai cara.
"Yg paling mencemaskan bukan rupiah akan jeblok & rakyat makin susah krn di tengah situasi harga BBM bisa turun tp tidak turun. Bukan. Itu masih bisa diatasi," cuit @sudjiwotedjo, Selasa (12/5/2020).
Menurut Sudjiwo Tedjo justru yang harusnya menjadi kecemasan pemerintah adalah kepercayaan rakyat.
Kepercayaan lah yang seharusnya bisa terpelihara baik oleh pemerintah.
Pasalnya, rasa percaya rakyat bisa tergerus akibat ketidak-konsistenan kebijakan.
"Tapi kalau kepercayaan kita kpd seluruh institusi jadi tergerus lalu lenyap krn rutinitas ketidak-konsistenan kebijakan," lanjutnya.

• Menkeu Sri Mulyani Sebut Anies Tak Miliki Dana untuk Bansos, Pimpinan DPRD DKI Beri Sindiran Menohok
Seniman kelahiran Jember 57 tahun silam itu juga memberikan analogi ketidak-konsistenan kebijakan seperti halnya perempuan saat menjalin hubungan asmara.
Bedanya, perempuan membuat kebingungan itu menjadi indah.
Namun, sikap ketidak-konsistenan jika diterapkan dalam urusan negara tidak akan menjadi indah.
"Ketidak-konsistenan perempuan dalam pasangan cinta itu indah. Mulutnya mengusir tapi matanya menahan. Duh ini membingungkan yg indah. Tapi jangan di dalam bernegara," tulis @sudjiwotedjo.
Bagi Sudjiwo Tedjo, rakyat akan bisa memaklumi jika pemerintah tidak bisa memberikan lapangan pekerjaan.
Namun, menurutnya juga tak baik jika pemerintah terus memberikan rasa bingung kepada rakyatnya di masa-masa sulit seperti ini.
"Kalau negara gak sanggup ngasih kami kerjaan dll, ok, kami maklum, tapi jangan ngasih kami rasa bingung," pungkasnya.

• Ketua Gugus Tugas Covid-19 Ingatkan Bagi Warga yang Ketahuan Mudik Bisa Kena Pidana dan Denda
Dikutip TribunPalu.com dari Kompas.com, pemerintah tak hanya sekali dua kali menunjukkan inkonsistensi kebijakannya saat merespon wabah virus corona ini.
Deretan sikap inkonsistensi kebijakan pemerintah itu pun menjadi sorotan.
Terbaru, Kementerian Perhubungan Republik Indonesia mengizinkan moda transportasi umum kembali beroperasi walaupun diklaim hanya akan mengangkut penumpang dengan kriteria tertentu mulai Kamis (7/5/2020).
Kontroversi mencuat karena sebelumnya, pemerintah menghentikan operasional transportasi umum dari dan ke zona merah Covid-19, seperti Jabodetabek.
• Kemenhub Beri Kelonggaran Moda Transportasi Beroperasi, Pemerintah Tegaskan Mudik Tetap Dilarang
Contoh tersebut bukan kali pertama pemerintah terkesan inkonsisten.
Mengambil contoh lain, seperti beda aturan antarkementerian, soal boleh atau tidaknya ojek online mengangkut penumpang saat PSBB.
Pakar kebijakan publik dan ekonomi Ichsanuddin Noorsy turut menyoroti sikap inkonsisten pemerintah ini.
"Hampir semua protap dalam menangani Covid-19 adalah protap yang inkonsisten," ujar Ichsanuddin Noorsy kepada Kompas.com, Rabu (6/5/2020).
"Misalnya, muncul larangan mudik tapi pulang kampung boleh, inkonsisten. Melarang penerbangan domestik, tapi penerbangan internasional boleh. Melarang kedatangan orang (asing), tapi mendatangkan TKA (tenaga kerja asing)," tambah dia.
"Walaupun akhirnya kedatangan 500.000 TKA dibatalkan, tapi yang muncul ke permukaan adalah inkonsistensi peraturan dan kebijakan," pungkasnya.

• Keputusan Menhub yang Longgarkan Transportasi Dinilai Bisa Picu Gelombang II Wabah Covid-19
Ichsanuddin Noorsy menuding, pemerintah merumuskan kebijakan selama pandemi Covid-19 tidak berdasarkan kebutuhan riil masyarakat.
"Problemnya adalah soal pendataan lapangan. Akurasi kondisi lapangan itu, dalam bahasa kebijakan, tidak diperoleh oleh pemerintah. Anies (Baswedan, Gubernur DKI Jakarta) sendiri juga punya problem yang sama, buktinya bansosnya berantakan, karena akurasi dan aktualisasi lapangan tidak didapatkan," ungkap dia.
Di samping itu, berbagai kebijakan yang ditelurkan juga kerapkali mengalami kesulitan penerapan di lapangan, karena lemahnya koordinasi dan sinkronisasi antarinstansi.
"Masalah utamanya adalah tidak konsistennya kebijakan satu sama lain. Inkonsistensi kebijakan kan menggambarkan buruknya koordinasi," jelas Ichsanuddin.
"Model kebijakan begini, dalam analisis kebijakan publik namanya kebijakan yang tidak berbasis pada pengenalan masalah secara benar dan perumusan kebijakan publik secara benar. Jadi ini kebijakan publik yang buruk," tutur pria yang meraih gelar doktor di Universitas Airlangga itu.

Serangkaian inkonsistensi yang ditangkap publik dari kebijakan pemerintah selama menangani pandemi Covid-19 justru dinilai berpeluang jadi senjata makan tuan bagi pemerintah.
Pada tataran paling ekstrem, lanjut Ichsanuddin, rangkaian inkonsistensi kebijakan akan menimbulkan ketidakpercayaan sosial (social distrust).
"Ini akan meningkatkan apa yang saya sebut sebagai ketidakpercayaan masyarakat atau social distrust, legitimasi pemerintah jatuh," ujar dia.
(TribunPalu.com/Isti Prasetya, Kompas.com/Vitorio Mantalean)