14 Tahun Gempa Yogyakarta dalam Kenangan: ''Mengajarkan Kita untuk Saling Mendukung dan Berbagi''
Tak terasa 14 tahun sudah, gempa besar dengan magnitudo 5,9 yang terjadi di Yogyakarta tercatat dalam sejarah Indonesia.
TRIBUNPALU.COM - Tak terasa 14 tahun sudah, gempa besar dengan magnitudo 5,9 yang terjadi di Yogyakarta tercatat dalam sejarah Indonesia.
Gempa terjadi pada 27 Mei 2006 sekitar pukul 05:55 WIB dan mengguncang bumi Yogyakarta selama 57 detik.
Peristiwa ini masih terekam jelas di benak salah seorang relawan Pramuka Bantul, Riza Mardjuki, warga Kecamatan Pleret.
Saat itu, sebagai salah satu penggiat teater di Bantul, Riza bersama dengan beberapa rekannya menyiapkan pentas pada 26 Mei 2006.
Saat itu dirinya masih kuliah semester awal di salah satu uiversitas di Kota Yogyakarta.
Persiapan teater dilakukan di rumah milik temannya bernama Bagio di Kecamatan Sewon, hingga 27 Mei 2006 dini hari, sekitar pukul 04.00 WIB dirinya dan temannya baru bisa memejamkan mata.
Dengan durasi sekitar 2 jam, waktu itu tidurnya sedang nyenyak.
• Agar Pemerintahan Tidak Disalahkan Publik Saat Terapkan New Normal, Politikus Golkar Beri Saran Ini
• Menghadapi New Normal, Presiden Jokowi Minta Uji Spesimen Corona Dilakukan Secara Masif
• LAPAN Umumkan Hari Ini Pukul 16.18 WIB Akan Terjadi Fenomena Matahari Melintas Tepat di Atas Kabah
Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak dan menangis, waktu itu dirinya langsung keluar kamar dan genting berjatuhan.
"Jidat saya terluka kena genting yang jatuh," kata Riza menceritakan kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Rabu (27/5/2020).
Waktu itu sekitar rumah temannya tidak ada kerusakan parah, bertahan sekitar 1 jam melihat situasi di sekitar Kecamatan Sewon dan mengecek keadaan keluarga.
Saat sedang menunggu kabar dari keluarga, dirinya melihat orang berlalu lalang dengan membawa orang terluka.
Relawan dan tim medis sampai kewalahan Sebagai aktivis pramuka dan terbiasa membantu PMI, dia berangkat ke Kantor PMI Bantul.
Ternyata halaman kantor PMI Bantul, bahkan sampai di sekitar jalan penuh dengan orang terluka.
"Waktu itu yang kondisinya masih sadar dianggap hidup diletakkkan di sisi utara, dan yang sudah tidak bergerak atau meninggal diletakkan di sisi selatan kantor," ucap Riza.
"Luka paling banyak pada bagian kepala, relawan dan medis selalu membawa gunting dan alat cukur untuk mencukur rambut warga. Waktu itu jika ada luka langsung dijahit agar pendarahan tidak banyak," kata Riza.