Kabar Tokoh
Jelang Pilkada DKI Jakarta, Yunarto Wijaya: Bisakah Nilai pada 2012 Itu Kembali atau Tetap Primitif?
Yunarto Wijaya membeberkan kekhawatirannya jelang Pilkada DKI Jakarta. Hal itu fokus pada psikologis pemilih yang menghadapi keragaman kondisi politik
TRIBUNPALU.COM - Pengamat politik Yunarto Wijaya membeberkan kekhawatirannya jelang Pilkada DKI Jakarta mendatang.
Kekhawatiran itu fokus pada psikologis pemilih yang menghadapi keberagaman kondisi politik dari era 2012 hingga saat ini.
Menurutnya, Pilkada DKI yang kemungkinan berlangsung berbarengan dengan Pemilu Nasional ini akan memberikan warna tersendiri terkait situasi politik Indonesia.
Hal itu ia ungkapkan saat menghadiri wawancara bersama Gilbert Simanjuntak dan Gembong Warsono di Diskusi Badiklatda, Kamis (25/2/2021).
Sebagai moderator Gilbert Simanjuntak meminta pendapat Direktur Charta Politika terkait gambaran umum yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta dewasa ini.
Baca juga: Yunarto Wijaya Bereaksi di Cuitan Geisz Chalifah, Sebelumnya Sebut Wagub DKI Akan Muncul saat Banjir
Yunarto Wijaya menyebut Pilkada DKI Jakarta memiliki pengaruh besar terhadap konstelasi pemilu berskala nasional.
Sebab, sisi psikologis pemilihlah yang menjadi tolok ukur keberhasilan kontestasi politik.
"DKI selalu dianggap menjadi barometer, karena ibu kota dan menjadi kota terbesar juga.
Dari Pilkada terakhir orang melihat ini akan menjadi miniatur di konstelasi pemilu nasional," ujar Yunarto Wijaya.
"Artinya wajah buruk atau wajah cantik yang ada di Pilkada DKI, itu akan berpengaruh pada sisi psikologis, dalam pertarungan pemilu yang bersifat emosional dan rasional," lanjutnya.
"Apalagi kita tahu nih, nanti akan berada di tahun yang sama (Pemilu Nasional 2024) sehingga akan punya efek yang lebih besar," imbuh Yunarto Wijaya.

Tak hanya menjadi barometer, Yunarto Wijaya melanjutkan, Pilkada DKI Jakarta layaknya uji laboratorium tingkat rasionalitas pemilih dan kedewasaan elite untuk bertarung dengan sehat.
"Yang kedua, kita melihat Pilkada DKI ini adalah uji laboratorium dari rasionalitas dari pemilih yang sesungguhnya, atau kedewasaan para elite yang menguji dirinya untuk bertarung," ujarnya.
Hal itu tampak dari Pilkada tiga periode belakangan, bagi Yunarto Wijaya, menjadi kebanggaan tersendiri bahwa pemilih berhasil melihat pluralitas latar belakang yang berdasarkan hasil kerja yang nyata.
"Saya sangat menikmati apa yang terjadi pada Pilkada 2012. Kita melihat berbagai macam latar belakang, dari jenderal, pernah menjadi kepala daerah, pengamat ekonomi nasional, dari inkamben saat itu bertarung.
Enam orang kalau saya tidak salah saat itu," jelas Yunarto Wijaya.
Baca juga: Viral Potret Anies Baswedan Baca How Democracies Die, Yunarto Wijaya: Mending Urus Pengerukan Sungai
Menurutnya, perpaduan antara Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama pada Pilkada DKI Jakarta 2012 menunjukkan titik kualitas pemilih yang mulai berbeda.
"Saat itu memperlihatkan bagaimana rasionalitas pemilih masyarakat Indonesia mencapai titik yang berbeda.
Mengapa? Karena yang dipilih ternyata adalah yang punya track record kerja langsung.
Wali Kota Solo bergabung dengan orang yang pernah menjadi Bupati Belitung Timur, mengalahkan orang yang punya atribut besar seorang jenderal," ungkapnya.
Namun kebanggaan rasionalitas pemilih itu tak berlangsung lama, sebab kenyataan yang berbanding terbalik terjadi pada Pilkada DKI 2017.
"Yang menarik lagi adalah, yang kita lihat pada pemilihan berikutnya adalah itu jungkir balik.
Sesuatu yang tadi saya sebut bisa kita banggakan, sebagai cerminan rasionalitas pemilih, sebagai cerminan bangsa ini melihat pluralitas ternyata terjadi sebaliknya pada Pilkada 2017," jelas Yunarto Wijaya.
Baca juga: Blusukan Menteri Risma Tuai Kritikan, Yunarto Wijaya: Tapi Tak Bisa Dibantah Urusan Output Kerjanya
"Ini bukan tentang Anies, AHY, atau Ahok.
Ini tentang bagaimana framing dibuat oleh elite, yang kemudian membentuk karakter perilaku pemilih.
Dan itu yang menurut saya akan menjadi PR besar bagaimana kita melihat hal itu di 2024 nanti akan jadi titik balik lagi, titik reborn,
atau kemudian kita akan landai pada apa yang kita lihat sebagai, saya harus mengatakan yang sifatnya primitif, seperti apa yang terjadi di Pilkada 2017," tambahnya.
Menurut Yunarto Wijaya, bukan masalah siapa yang akan maju di kontestasi Pilkada DKI Jakarta mendatang, tetapi bagaimana rasionalitas pemilih dan kualitas kandidat yang akan mencerminkan persaingan yang sehat.
Sehingga setelah itu, nilai-nilai kebanggaan yang hadir pada Pilkada 2012 akankah bisa kembali muncul, atau justru nilai yang hilang di Pilkada 2017 itu tetap menjadi hal yang primitif.
"Jadi memang ini, bukan berbicara siapa yang akan menang, Anies lagi kah atau tidak, ataukah nanti akan muncul kepala-kepala daerah yang akan maju, Risma atau siapapun itu,
tapi tentang bagaimana kita memastikan nilai-nilai yang sempat hilang," ujar Yunarto Wijaya.
"Menurut saya pribadi, dan saya berani dengan tegas menyatakan itu, yang sempat hilang di 2017,
bisakah kita kembalikan nilai-nilai itu kembali, atau kita akan bertahan di titik bawah dengan nilai-nilai yang saya anggap primitif tadi," pungkasnya.
Baca juga: Kerap Kritik Anies Baswedan, Yunarto Wijaya Akui Sikapnya Bodoh & Sengaja Tunjukkan Keberpihakannya
Diwawancari oleh Helmy Yahya sebelumnya, Yunarto Wijaya menyatakan pemilihan umum mempunya beberapa indikator untuk menjadi kontestasi politik yang sehat.
Mencari yang terbaik di dunia politik adalah hal yang mustahil didapatkan.
Tetapi, dengan membuang indikasi buruk di awal kontestasi akan lebih memberikan pencegahan.
"Kita nggak mungkin kok cari yang best of the best karena kita tahu politik penuh dengan kekurangan secara sistemik dan segala macam.
Prasyarat pertama, kita buang yang worst of the worst.
Jadi kita nggak bisa pastiin yang terbaik tapi kita buang dulu terburuk dari yang terburuk," ujarnya.
Indikator terburuk bagi Yunarto Wijaya adalah isu SARA yang dilibatkan dalam dunia politik.
"Dan buat gue ada beberapa indikator yang nggak bisa gue terima. Penggunaan isu SARA.
Buat gue itu primitif dalam politik. Demokrasi kata kuncinya satu, kesetaraan," jelas Yunarto Wijaya.
Simak video selengkapnya di sini:
(TribunPalu.com/Isti Prasetya)