Presiden China Mendadak Telepon Jokowi, Sampaikan Hal Penting, Apa Itu?

Untuk memerangi pandemi, Indonesia dan China bekerjasama meningkatkan kesehatan masyarakat global melalui pembangunan pusat produksi vaksin regional.

TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Negara Iriana Widodo berbincang dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping (kiri) saat melakukan Historical Walk di Jalan Asia Afrika, Bandung, Jawa Barat, dalam peringatan ke-60 tahun Konferensi Asia-Afrika, Jumat (24/4/2015). 

TRIBUNPALU.COM - Presiden China Xi Jinping mendadak menelpon Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Xi Jinping ingin mengajak Indonesia bekerjasama terkait industri vaksin dan pengembangan obat.

Hal itu merupakan kerja sama Indonesia dan China untuk menangani masalah kesehatan pasca-pandemi.

Untuk memerangi pandemi, Indonesia dan China bekerjasama meningkatkan kesehatan masyarakat global melalui pembangunan pusat produksi vaksin regional.

Xi Jinping dikabarkan menghubungi Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat sambungan telepon, untuk membicarakan hal yang terkait masalah pembangunan jangka menengah dan panjang, serta kerja sama pasca-pandemi.

Dikutip dari laman resmi Kementerian Luar Negeri China, Jumat (14/01), disebutkan bahwa China dan Indonesia merupakan negara yang memiliki cita-cita untuk menggenjot pembangunan nasional demi kesejahteraan rakyat.

Kedua pemimpin negara itu juga membahas proyek infrastruktur Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung dengan kualitas tinggi, dan sektor energi baru terbarukan, pembangunan rendah karbon, ekonomi digital, dan maritim.

Ada juga pembahasan terkait kerja sama “Regional Comprehensive Economic Corridor” dan “Two Countries Twin Parks”.

Pada kesempatan itu, Presiden Joko Widodo menyampaikan ucapan selamat terkait penyelenggaraan sidang pleno keenam Komite Sentral Partai Komunis China ke 19.

"Saya percaya di bawah kepemimpinan Xi Jinping, rakyat China akan terus jaya," ujarnya.

Dia menyampaikan tahun lalu perdagangan dan investasi bilateral antara Indonesia dan China tumbuh pesat.

Menurutnya, kerja sama di bidang kesehatan seperti produksi vaksin, penelitian dan pengembangan obat mencatatkan hasil yang luar biasa. Saat ini 80 persen vaksin Indonesia berasal dari China.

Sementara untuk pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Jokowi berharap proyek itu beroperasi sesuai jadwal.

Jokowi pun menyatakan kesediaan Indonesia memperkuat kerja sama dengan China di bidang ekonomi, perdagangan sampai penanganan pandemi.

Ratusan Juta Orang Jatuh Miskin, Puluhan Miliarder Muncul

Sungguh sangat miris. Disaat 140 juta orang didunia jatuh dalam kemiskinan akibat pandemi virus Corona, justru puluhan miliarder baru di Asia bermunculan.

Mereka yang meraup kekayaan dari pandemi Covid-19 ini adalah yang mendapat keuntungan dari obat-obatan, peralatan medis, dan layanan yang dibutuhkan untuk respons Covid-19.

Dari China, Hong Kong, India, dan Jepang, miliuner baru tersebut antara lain Li Jianquan, yang perusahaannya, Winner Medical, membuat alat pelindung diri (APD) untuk tenaga kesehatan.

Ada juga Dai Lizhong, yang perusahaannya, Sansure Biotech, membuat tes Covid-19 dan kit diagnostik.

“Sangat keterlaluan dan sangat tidak dapat diterima bahwa orang miskin di Asia (dibiarkan hidup dengan) belas kasihan selama pandemi, menghadapi risiko kesehatan yang parah, pengangguran, kelaparan dan didorong ke dalam kemiskinan – menghapus keuntungan yang diperoleh dalam beberapa dekade dalam perang melawan kemiskinan,” kata Mustafa Talpur, pemimpin kampanye di Oxfam Asia.

“Sementara pria kaya dan istimewa meningkatkan kekayaan mereka dan melindungi kesehatan mereka, orang-orang termiskin di Asia, wanita, pekerja berketerampilan rendah, migran, dan kelompok terpinggirkan lainnya paling terpukul,” tambahnya.

Dua puluh miliarder baru muncul di Asia selama pandemi Covid-19, sementara 140 juta orang di seluruh benua jatuh ke dalam kemiskinan karena lenyapnya pekerjaan selama pandemi.

Laporan organisasi bantuan Oxfam pada Maret 2021 mengatakan, keuntungan dari obat-obatan, peralatan medis, dan layanan yang dibutuhkan untuk respons Covid-19, memunculkan 20 orang miliarder baru.

Sementara itu, penguncian dan stagnasi ekonomi menghancurkan mata pencaharian ratusan juta orang lainnya.

Jumlah total miliarder di kawasan Asia-Pasifik tumbuh hampir sepertiga dari 803 pada Maret 2020 menjadi 1.087 pada November tahun lalu. Kekayaan kolektif mereka meningkat hingga tiga perempat kali lipat (74 persen), menurut laporan itu melansir Guardian pada Jumat (14/1/2022).

Laporan itu mengatakan 1 persen orang terkaya memiliki lebih banyak kekayaan daripada 90 persen penduduk termiskin di wilayah tersebut.

Pada 2020, diperkirakan 81 juta pekerjaan hilang, dan berkurangnya jam kerja mendorong 22-25 juta orang lagi ke dalam kemiskinan, menurut Organisasi Buruh Internasional.

Sementara itu, para miliarder kawasan Asia-Pasifik mengalami peningkatan kekayaan sebesar 1,46 triliun dollar AS (Rp 20,8 kuadriliun), cukup untuk memberikan gaji hampir 10,000 dollar AS (Rp 143 juta) untuk semua orang yang kehilangan pekerjaan.

Covid telah merenggut lebih dari satu juta nyawa hanya di Asia, dan lebih banyak lagi kematian yang diakibatkan oleh meningkatnya kemiskinan dan gangguan terhadap layanan kesehatan.

Laporan itu mengatakan perempuan dan anak perempuan lebih mungkin kehilangan pekerjaan atau pendapatan.

Perempuan juga lebih cenderung bekerja di peran garis depan pandemi, sehingga menempatkan mereka pada risiko lebih lanjut.

Di kawasan Asia-Pasifik, lebih dari 70 persen pekerja kesehatan dan 80 persen perawat adalah wanita.

Di Asia Selatan, masyarakat kelas bawah melakukan sebagian besar pekerjaan sanitasi, namun seringkali tanpa peralatan pelindung. Sementara mereka menghadapi kemiskinan dan diskriminasi yang menghalanginya mengakses layanan kesehatan.

Laporan Oxfam menilai pandemi telah memperburuk kondisi tersebut. Kesenjangan kekayaan diproyeksi akan meningkat.

Credit Suisse memperkirakan bahwa, pada 2025, akan ada 42.000 lebih banyak orang yang memiliki kekayaan lebih dari 50 juta dollar AS (Rp 715 juta) di Asia-Pasifik dan ada 99.000 miliarder.

Jumlah jutawan pada 2025 diproyeksikan menjadi 15,3 juta, meningkat 58 persen dari tahun 2020.

Baik Bank Dunia maupun IMF telah mengatakan bahwa virus corona akan menyebabkan peningkatan ketimpangan ekonomi global yang signifikan.

“Sistem politik melindungi kepentingan elit kecil yang kaya. Pemerintah secara konsisten gagal bekerja untuk mayoritas selama pandemi. Itu adalah titik solidaritas global, tetapi negara-negara kaya dan perusahaan farmasi besar memalingkan wajah mereka,” kata Talpur.(*)

Sumber: TribunPekanbaru.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved