KKB Papua
47 Tahun Tinggal di Sarang KKB Papua, Dokter Ini Ungkap Kisah Keluar Masuk Hutan Demi Sebuah Misi
Tak hanya setahun atau dua tahun, tetapi dokter itu harus tinggal bersama keluarga Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua selama puluhan tahun.
Namun, menurut Soedanto, walau harga pemeriksaannya bertambah beberapa ribu, pasien yang datang ke tempat prakteknya terus meningkat.
"Setiap hari itu banyak pasien. Rata-rata 200 pasien saya periksa,” jelasnya.
Mulai pukul 9.00 WIT, sudah banyak pasien antre.
“Jadi saya harus periksa satu per satu sampai kadang saya pulang pukul 15.00 – 16.00 WIT. Tapi itupun masih ada yang datang,” terangnya.
Dengan kondisi tubuh yang kini semakin menua, Soadanto mengaku terkadang dirinya merasa lelah,
"Tapi mau bagaimana, untuk masyarakat, saya harus tetap melaksanakan kewajiban saya sebagai dokter," pungkasnya.
Hingga saat ini, genap sudah 40 tahun Soedanto memberikan pelayanan kesehatan di Negeri Matahari Terbit, Port Numbay.
Dokter Fransiskus Xaverius Soedanto bersama istri tercinta, Elisabeth Tangkere (Tribunnews.com)
Elisabet Kenang Masa Genting di Papua: Untung Ada Tembakau Lempeng
Kalimat bijak ini sering kita dengar tatkala mendengar kisah tentang orang-orang sukses.
“Setiap pria sukses, pasti ada wanita hebat di sampingnya”
Itulah sepenggal kalimat untuk melukiskan kisah 47 tahun Fransiskus Xaverius Soedanto, Dokter Seribu Rupiah melayani di Bumi Cenderawasih.
Bagaimana tidak, Soedanto memiliki Elisabeth Tangkere sebagai pendamping setianya.
Keduanya bertemu di Asmat pada 1976, berselang setahun kala Soedanto menapakkan kaki pertama kalinya pada 1975.
Elisabeth dengan setia menemani Soedanto masuk keluar hutan Asmat dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Soedanto yang tergolong orang baru dan masih buta peta Asmat, merasa aman saat didampingi Elisabeth.
Dari awal perkenalan pada 1976, lalu bekerja sama dalam pelayanan kesehatan, maka tak heran benih-benih cinta tumbuh di antara kedua insan ini.
Tak menunggu lama bagi Soedanto meminang Elisabeth.
Keduanya menikah pada 1979 di Asmat.
Menariknya, setelah menikah, kasih setia Elisabeth mendampingi Soedanto justru makin kuat.
Bahkan, tak pernah sekalipun mengeluhkan pekerjaan kemanusiaan yang dilakukan belahan jiwanya itu.
"Kami menikah pada 1979 di Asmat. Setelah menikah, setiap hari saya dampingi bapa untuk melayani masyarakat sampai ke kampung-kampung," ungkap Elisabeth Tangkere kepada Tribun-Papua.com, Selasa 1 Februari 2022.
Dari satu kampung ke kampung lainnya, Soedanto bersama Elisabeth melayani masyarakat.
Hingga di suatu kampung, mereka bahkan pernah dimarahi warga di Asmat.
"Kami pernah pergi ke satu kampung. Saya sudah lupa nama kampungnya. Waktu itu, pakai perahu kami masuk lewat kali, tapi ada tombak ditancap di situ,” kisahnya.
“Perahu kami tinggalkan begitu saja, dan rumah kepala suku juga kami tidak tahu. Makanya kami sempat dimarah warga di situ. Tapi untungnya kami ada bawa tembakau lempeng. Ya akhirnya kita bagi, dan semuanya aman,” sambungnya.
Setelah melayani di Agats, ibu kota Asmat, sejak 1975, Soedanto bersama belahan hatinya pindah ke Kampung Bayun pada 1981.
Kampung Bayun terletak di Distrik Safan, Asmat, Papua.
Jaraknya cukup jauh dari Agats, dengan estimasi waktu tempuh sekiranya 5 jam menggunakan perahu motor.
“Kami di sana kurang lebih hampir 2 tahun, melayani di rumah sakit Katolik Santa Obilia, Kampung Bayun. Saya memang senang ikut bapa,” terangnya.
Kegemaran, semangat, maupun jiwa melayani Elisabeth nampaknya diwariskan ayahnya yang merupakan seorang Polisi, pelayan dan pengayom masyarakat.
"Saya lahir di Merauke. Bapa saya dulu adalah Polisi di zaman Belanda. Lalu dari Merauke, keluarga pindah ke Asmat, dan saya besar di sana,” jelasnya. (*)
(Sumber: Tribun-Timur.com)