Morut Hari Ini
KPK Ambil Alih Korupsi Proyek DPRD Morowali Utara, Begini Perjalanan Kasusnya
Pembangunan yang dikerjakan perusahaan konstruksi PT Multi Global Konstrindo itu, bernilai kontrak setelah perubahan (Addendum) sekitar Rp 9 miliar.
Penulis: Asnawi Zikri | Editor: mahyuddin
TRIBUNPALU.COM, MOROWALI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih penanganan kasus dugaan korupsi proyek kantor DPRD Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
Perkara tersebut sebelumnya ditangani Polda Sulawesi Tengah.
"KPK mengambil alih perkara tindak pidana korupsi pembangunan kantor DPRD Kabupaten Morowali Utara Tahap I tahun 2016," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat (18/2/2022).
Pembangunan yang dikerjakan perusahaan konstruksi PT Multi Global Konstrindo itu, bernilai kontrak setelah perubahan (Addendum) sekitar Rp 9 miliar.
Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian keuangan negara/daerah dalam perkara itu diduga total loss dengan nilai setelah dipotong pajak sekitar Rp 8 miliar.
Pengambilalihan penanganan perkara ini dilakukan Jarot selaku Plt Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah IV KPK bersama Direktur Reskrimsus Polda Sulteng Kombes Pol Ilham Saparona yang bertempat di Mapolda Sulawesi Tengah.
Baca juga: KPK Ambil Alih Sejumlah Kasus Korupsi di Sulteng, Salah Satunya APBD Perubahan 2020 Banggai Laut
Polda Sulteng sebelumnya telah menetapkan empat tersangka dalam kasus tersebut.
Penyidikannya juga telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah.
"Pengambilalihan perkara diikuti dengan penyerahan empat berkas perkara, barang bukti, dan dokumen pendukung lainnya," kata Ali.
Setelah perkara ini diambil alih KPK, bukan berarti kerja sama antara Polda Sulawesi Tengah dan KPK selesai.
Dukungan, fasilitasi, kerja sama, dan kolaborasi penanganan perkara tindak pidana korupsi dengan penyidik Polda Sulawesi Tengah selalu terbuka.
Baik untuk perkara tindak pidana korupsi pembangunan kantor DPRD Kabupaten Morut ini ataupun penanganan perkara-perkara TPK lainnya.
"KPK telah melakukan supervisi dan dukungan dalam penanganan perkara ini sejak tahun 2018. Kerja sama KPK dan Polda Sulawesi Tengah di antaranya dalam pelaksanaan pengecekan fisik bangunan Gedung DPRD Kab. Morowali Utara dan pengambilan keterangan Ahli-Ahli terkait," kata Ali.
Alasan pengambilalihan perkara ini karena terdapat keadaan lain yang menurut pertimbangan penyidik, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana ketentuan Pasal 10A ayat (2) huruf f UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Putusan Hakim
Terdapat tiga perkara dalam kasus Korupsi Proyek DPRD Morowali Utara.
Kasus Pertama, perkara dugaan tindak pidana korupsi Pengadaan Tanah Rujab Pimpinan DPRD Morowali Utara, Tahun Anggaramin 2015 sebesar Rp.588,000,000.
Kemudian kasus kedua, Perencanaan Gedung Baru Kantor DPRD Morut, Tahun Anggaran 2015 sebesar Rp 298,485,000.
Sementara kasus ketiga ialah Pembangunan Gedung Baru Kantor DPRD Morut tahap I Tahun Anggaran 2016 sebesar Rp 14,314,919,000.
Dari tiga kasus, eks Ketua DPRD Morowali Utara Syarifuddin Madjid turut terseret.
Terdakwa dugaan tindak pidana korupsi pekerjaan perencanaan pembangunan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tahun 2015 Terhar Lawandi (Kabag Adpum) divonis pidana penjara 2 tahun dan 6 bulan serta denda Rp100 juta subsidar 6 bulan kurungan, pada persidangan, Senin 14 Juni 2021.
Rekan terdakwa Terhar Lewandi yakni Baso Muchtar sebagai konsultan dalam proyek itu, dinyatakan bebas karena tidak terbukti bersalah.
Baca juga: Cegah Korupsi Perizinan Tambang, KPK Minta Pemkab Banggai Buat RDTR
Mantan Ketua DPRD Kabupaten Morowali Utara (Morut) Syarifudin Majid, Abd Rifai Bagenda dan Guslan Tomboelo, divonis 2 tahun penjara, pada persidangan kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) perencanaan dan pengadaan tanah untuk lokasi pengembangan rumah dinas DPRD Kabupaten Morowali Utara (Morut).
Sementara itu, terdakwa Christoferus divonis bebas karena ketua majelis hakim dan anggota berbeda pendapat (Dissenting opinion).
Ketua majelis hakim berpedapat bahwa terdakwa Christoferus harus dihukum sama dengan terdakwa lainnya dengan pidana penjara selama 2 tahun.
Namun hakim anggota berpendapat bahwa terdakwa Christoferus tidak bersalah dan harus dibebaskan dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum.(*)