Dahului Mendag, MAKI Bongkar 8 Perusahaan Mafia Minyak Goreng, Serahkan Data ke Kejagung

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang bergerak melaporkan sejumlah terduga Mafia Minyak Goreng.

ist
minyak goreng 

TRIBUNPALU.COM - Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi berjanji membuka siapa Mafia Minyak Goreng yang jadi biang kerok kelangkaan.

Mendag Muhammad Lutfi sebelumnya mengaku akan memberikan data Mafia Minyak Goreng kepada kepolisian.

Namun data Mafia Minyak Goreng itu tak kunjung dipublikasikan kepada publikk.

Yang ada malah Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang bergerak melaporkan sejumlah terduga Mafia Minyak Goreng.

Laporan data diberikan kepada Kejaksaan Republik Indonesia.

MAKI memberikan data tambahan ke KeJaksaan Tinggi Jakarta terkait dugaan kasus korupsi atau penyimpangan mafia minyak goreng.

Penyimpangan ini diduga menjadi salah satu penyebab kelangkaan minyak goreng.

Hal ini diungkapkan langsung oleh Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangannya kepada wartawan di Gedung Bundar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (JAMPidsus Kejagung).

“Saya sadang hari ini ke Kejaksaan Agung untuk menambah data terkait dugaan mafia CPO yang saya istilahkan ini liga besar karena liga kecilnya di Kejaksaan Tinggi dengan minyak goreng. Ini Khusus karena baru adalah hilangnya PPN dari eskpor CPO,” kata Boyamin, Kamis (24/3).

Dalam keterangannya, ada delapan perusahaan besar yang dilaporkan ke Kejaksaan Agung RI dan terlibat dalam dugaan penyimpanan ini. Namun sayang dirinya masih belum mau mengungkapkan siap-siapa saja yang menjadi dalang dalam penyimpangan ekspor CPO ini.

“Kalau di data saya ada delapan perusahaan besar. Ini kan hanya satu provinsi (Kalimantan), dan saya yakin Sumatea lebih besar lagi. Jadi sebenarnya dari yang ada berita-berita berkaitan dengan perusahaan sawit dan CPO ya hanya itu-itu saja perusahaan besar. Tetapi mohon maaf saya tidak bisa menyebut nama,” katanya.

Boyamin menjelaskan, CPO yang seharusnya diolah menjadi minyak goreng malah dijual ke luar negeri sehingga seharusnya masyarakat dapat menikmati 20%-nya.

“Dari CPO ini dimasukkan lah ke Pusat Logistik Brikat (PLB) untuk penimbunan barang di situ. Kemudian seharusnya itu untuk industri agar diolah menjadi minyak goreng. Baru setelah menjadi minyak goreng boleh dijual keluar negeri atau setidaknya dipotong 20% untuk masyarakat,” jelasnya.

Dari keterangan Boyangi, akibat penyimpangan CPO ini menyebabkan terjadinya kerugian bagi negara, dimana negara mengalami kerugian 10% dari potensi pajak pertambahan nilai (PPN) ekspor minyak sawit mentah (CPO).

“Tapi ternyata kejadiannya potong kompas CPO itu yang harusnya dijadikan industri tapi langsung potong kompas langsung di ekspor dan hanya membayar 5%. Jadinya ini harusnya negara dapat 15% tapi hanya mendapatkan 5% dan 10% hilangnya,” pungkasnya.

(*/ TribunPalu.com / Kontan )

Sumber: Kontan
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved