Haul Guru Tua 2022

Haul Guru Tua ke-54, Ulama Karismatik Penggagas Warna Merah Putih pada Bendera Indonesia

Peringatan Haul Habib Idrus bin Salim Aljufri atau Guru Tua bakal berlangsung Sabtu (14/5/2022).

handover
Pendiri Alkhairaat Habib Idrus bin Salim Aljufri (Guru Tua) 

TRIBUNPALU.COM - Peringatan Haul Habib Idrus bin Salim Aljufri atau Guru Tua bakal berlangsung Sabtu (14/5/2022).

Pelaksanaan haul dilangsungkan di Kompleks Alkhairaat Jl Sis Aljufri, Kelurahan Siranindi, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Di tanah Sulawesi, Guru Tua melawan penjajahan lewat jalur dakwahnya dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam Alkhairaat yang berpusat di Kota Palu, Sulawesi Tengah pada 1930.

Dalam perkembangannya, Alkhairaat kini dikenal sebagai organisasi Islam terbesar di kawasan timur Indonesia.

Organisasi Islam besar selain Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama itu turut berperaan dalam masa perjuangan hingga kemerdekaan.

Bahkan, Alkhairaat yang didirikan pada tanggal 30 Juni 1930 turut melegitimasi kepemimpinan Presiden Soekarno ketika beberapa gerakan pemberontakan yang ingin mendirikan Negara Islam.

Habib Idrus juga memiliki peran dalam pemilihan warna bendera merah putih.

Disebutkan dalam sejarahnya, usulan itu berdasarkan pesan dari Rasulullah dalam mimpinya.

Pada Muktamar NU 1937 atas pesan Habib Idrus Salim Al Jufri, Mbah Hasyim Asyari mengusulkan bahwa bendera Indonesia adalah Merah Putih dan Soekarno adalah pemimpinnya.

Semasa hidup, Guru Tua banyak menciptakan syair-syair, termasuk untuk Bung Karno dan kemerdekaan Indonesia.

Di antaranya syair Guru Tua berjudul Kemerdekaan Republik Indonesia dikutip dari buku Ensiklopedia Keislaman Bung Karno karya Rahmat Sahid, Selasa (17/8/2021).

Berikut isinya:

Sungguh hari kebangkitannya ialah hari kebanggaan

Orang-orang tua dan anak-anak memuliakannya

Bendera kemuliaan berkibar di angkasa

Hijau daratan dan gunung-gunungnya

Tiap tahun hari itu menjadi peringatan

Muncul rasa syukur dan pujian-pujian padanya

Wahai Sukarno!Tlah kau jadikan hidup kami bahagia|dengan obat dirimu hilang sudah penyakit kami

Wahai Presiden yang penuh berkah bagi kami

Engkau hari ini laksana kimia bagi masyarakat

Dengan perantara pena dan politikmu kau unggul | telah datang berita engkau menang dengannya

Jangan hiraukan jiwa dan anak-anak | demi tanah air alangkah indahnya tebusan itu

Pasti kau jumpai dari rakyat kepercayaan | dan kepatuhan pada apa yang diucapkan para pemimpin

Makmurkan untuk Negara pembangunan materiil dan spirituil | buktikan pada masyarakat bahwa kau mampu

Semoga Allah membantu kekuasaanmu dan mencegahmu | dari kejahatan yang direncanakan musuh-musuh.

Habib Idrus meninggal dunia di Palu, Sulawesi Tengah, 22 Desember 1969 pada umur 77 tahun.

Habib Idrus memang tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah AI-Khairaat dan murid-muridnya yang telah memberikan pengajaran serta pencerahan agama kepada umat.

Para murid-murid AI-Khairaat menyebar di seluruh kawasan Indonesia untuk meneruskan perjuangan sang pendidik.

Sosok Guru Tua

Di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya Sulawesi Tengah, Guru Tua dikenal sebagai sosok ulama yang sangat cinta ilmu.

Guru Tua lahir di Tarim, Hadramaut, Yaman pada 15 Maret 1892.

Dalam sejarahnya, pendirian Al-khairaat berawal dari perjalanan dakwah Habib Idrus di Desa Wani, Kecamatan Labuan, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada 1929.

Kehadiran Habib Idrus di Desa Wani dalam rangka memenuhi panggilan dari kakaknya Sayyid Alwi bin Salim Aljufri untuk mengajar.

Di samping itu, masyarakat juga ingin mengenal Islam sehingga mereka bersama-sama mendirikan Madrasah Al Hidayah sebagai tempat untuk proses belajar mengajar.

Belanda mulanya memberikan izin pendirian Madrasah Al-Hidayah.

Namun ketika terjadi pemberontakan Salumpaga di Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, pihak Belanda menutup madrasah tersebut karena khawatir dapat mempengaruhi pemikiran rakyat.

Kala itu, Belanda menyoroti kitab Idhatun Nasyi’in karya Musthafa Al-Ghalayani, yang membahas tentang makna kemerdekaan.

Bahkan beberapa murid Habib Idrus dituduh terlibat dalam pemberontakan tersebut.

Setahun kemudian, Habib Idrus pindah ke Kota Palu, saat itu masih bernama "Celebes" atas dukungan Raja Djanggola.

Seperti di Desa Wani, masyarakat Kota Palu juga ingin mengenal agama Islam lebih baik.

Habib Idrus menggunakan ruangan Toko Haji Quraisy di Kampung Ujuna sebagai ruangan belajar mengajar dan kemudian pindah ke rumah Almarhum Haji Daeng Maroca, di depan Masjid Jami Jl Wahid Hasyim, Kelurahan Baru, Kecamatan Palu Barat.

Kota Palu ternyata memberi motivasi kuat bagi Habib Idrus untuk tinggal dan menetap dalam melakukan dakwahnya.

Habib Idrus saat itu memandang masyarakat masih sangat terbelakang dalam pemahaman ajaran Islam.

Berkat dukungan dari warga setempat serta konsistensi Guru Tua, pada 14 Muharram 1349 Hijriah atau 30 Juni 1930, bertempat dilantai bawah rumah Haji Daeng Marocca (Depan Masjid Jami) Lembaga Pendidikan Islam Al-khairaat diresmikan.

Sesuai saran dari beberapa tokoh, agar cepat diterima kalangan masyarakat, Habib Idrus menikahi seorang bangsawan Putri Kaili Ince Ami Dg Sute pada 1931.

Dari perkawinan ini beliau dikaruniai dua orang putri, yakni Syarifah Sidah Aljufri dan Syarifah Sadiyah Aljufri.

Kemudian, Habib Idrus menikahkan kedua puterinya dengan dua orang murid kesayangannya.

Habib Ali bin Husein Alhabsyi dinikahkan dengan Syarifah Sidah binti Idrus Aljufri dan Habib Idrus bin Husein Alhabsyi dinikahkan dengan Syarifah Sadiyah bin Idrus Aljufri.

Tak hanya di Wani dan Palu, Habib Idrus juga turut menyebarkan Islam di daerah lain di Sulawesi Tengah, seperti Ampana (Kabupaten Tojo Una-Una) dan Toima (Kabupaten Banggai).

Di Sulawesi Tengah, Guru Tua telah melangsungkan tiga kali pernikahan, pertama di Desa Wani, kedua di Kota Palu dan ketiga di Ampana.

Pada 1968, Habib Idrus mengalami sakit parah dan selama delapan bulan beliau meminum jus kurma.

Dalam suasana Idulfitri penyakitnya semakin parah hingga akhirnya ulama kharismatik itu wafat pada 12 Syawwal 1389 Hijriah atau 22 Desember 1969.

Habib Idrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah AIKhairaat dan murid-muridnya telah memberikan pengajaran serta pencerahan agama kepada umat.

Para murid-muridnya di AIkhairaat telah menyebar di seluruh kawasan Indonesia untuk meneruskan perjuangan Sang Guru.

Dalam menyebarkan agama Islam, Guru Tua kerap berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya dengan menggunakan perahu sampan, gerobak sapi, atau kendaraan lainnya bahkan dengan berjalan kaki.

Atas jasa besarnya di bidang pendidikan agama Islam, Pemerintah Indonesia memberikan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana kepada Habib Idrus berdasarkan Keppres 53/TK/2010.

Mahaputra Adipradana merupakan tanda kehormatan tertinggi setelah Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia, bintang ini adalah Bintang Mahaputera Tingkat II. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved