Iduladha 2022
Warga Muhammadiyah Salat Iduladha 2022 di Kampus Unismuh Luwuk Banggai, Berikut Isi Khutbahnya
Pelaksanaan salat Iduladha 1443 Hijriyah di pelataran kampus Unismuh Luwuk Banggai, Jl Ahmad Dahlan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengan, Sabtu (
Penulis: Asnawi Zikri | Editor: Haqir Muhakir
Laporan Wartawan TribunPalu.com, Asnawi Zikri
TRIBUNPALU.COM, BANGGAI — Warga Muhammadiyah di Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah malaksanakan salat Iduladha 1443 Hijriah pada Sabtu (9/7/2022).
Salat Iduladha yang dipusatkan di pelataran kampus Universitas Muhammadiyah Luwuk Banggai (UMLB), berjalan lancar dan berlangsung khidmat.
Salat Iduladha 1443 Hijriah di pelataran UMLB ini diikuti sekitar seribu jemaah yang terdiri dari warga Muhammadiyah dan warga lainnya.
Jemaah salat Iduladha memenuhi pelataran di dalam kampus, lantai dua hingga bagian luar kampus.
Dalam pelaksanan salat Iduladha 1443 Hijriah kali ini, Dr. Farid Haluti, bertugas sebagai Khotib dan bertindak sebagai imam, Ustaz Jumahir.
Baca juga: Sambut Lebaran Iduladha 2022, Warga Luwuk Banggai Gelar Pawai Obor Malam Ini
Diketahui sebagian umat muslim Indonesia dan seluruh muslim di Arab Saudi telah melaksanakan salat Iduladha hari ini.
Khatib Dr Farid Haluti dalam khotbahnya mengangkat tema “Iduladha Meningkatkan Kepekaan Sosial dan Persatuan Umat.”
Berikut materi khutbah Iduladha yang dibawakan Khatib Dr Farid Haluti, S.Ag, M.Pd.
Ibadah haji yang agung ini dilaksanakan oleh umat Islam, diawali oleh suatu mata rantai sejarah yang amat panjang.
Diawali saat Nabi Ibrahim mempersiapkan alih generasi dan pewarisan nilai–nilai risalah tauhid kepada umat Manusia.
Nabi Ibrahim telah berhasil menegakkan keyakinan hidup beragama dan membangun kepemimpinan umat.

Saat itu, Nabi Ibrahim merasa cemas kalau-kalau tidak ada yang akan meneruskan estafet perjuangannya.
Nabi Ibrahim sangat percaya, bahwa tonggak risalah yang telah dipancangkannya itu akan sirna ditelan masa.
Di antara kekhawatiran itu, juga termasuk kekhawatiran terhadap sang istri, Siti Sarah.
Saat itu, istri setia mendampinginya belum memperoleh seorang anak, sedang usianya sudah beranjak senja.
Harapan untuk memperoleh keturunan semakin sirna.
Dengan sikap yang ikhlas, Siti Sarah pun rela, Nabi Ibrahim diperkenankan mengambil Siti Hajar menjadi istri yang kedua.
Mulailah muncul harapan baru bagi Nabi Ibrahim. Ia membayangkan masa depan yang cerah dan ceria.
Doa disenandungkannya keharibaan Ilahi Rabbi dari hatinya yang paling dalam.

“Wahai Tuhanku, anugerahilah aku seorang anak yang saleh,” (Quran, Surah As Shafaat: 100).
Doa Ibrahim pun didengar oleh Sang Khaliq, malaikat Jibril datang menyampaikan berita gembira itu, bahwa ia akan segera mendapatkan seorang putra yang saleh.
Seorang anak yang sabar melebihi kesabaran siapa pun yang pernah lahir ke dunia ini. Berita ini disambut rasa syukur, bangga, dan bahagia oleh Nabi Ibrahim.
Ketika anak itu lahir, diberilah nama Ismail.
Suatu ketika saat Ismail sedang tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas dan pintar, pada malam tanggal 8 Zulhijjah, Nabi Ibrahim tersentak dari mimpinya.
Dalam mimpinya Nabi Ibrahim mendapatkan perintah untuk menyembelih Ismail, putra tunggal belahan jiwa yang kelahirannya sudah teramat didambakan itu.
Semula Nabi Ibrahim masih ragu dan bimbang. Seharian ia berpikir. Apakah perintah itu betul–betul dari Allah ataukah hanya mimpi buruk.
Karenanya hari itu disebut Hari Tarwiyah, yakni Hari berpikir atau hari pertimbangan.
Pada malam tanggal 9 Zulhijjah, mimpi itu datang lagi dan persis seperti mimpi pada malam pertama.
Mengertilah sudah Nabi Ibrahim, bahwa perintah itu benar-benar dari Allah, tempat asal segala nikmat karunia.
Sehingga pada hari itu disebut Hari Arafah, yaitu hari mengetahui dan siap melaksanakan perintah qurban.
Pada malam tanggal 10 Zulhijjah, mimpi itu pun muncul kembali, dalam kondisi batin Nabi Ibrahim sudah sampai pada puncak ketaqwaannya.
Niatnya sudah ikhlas, tekadnya sudah bulat dan utuh. Esok pagi pada waktu dhuha’ perintah Allah itu akan ditunaikan.
Karenanya hari pelaksanaan kurban itu disebut Hari Nahar.
Baca juga: Prakiraan Cuaca BMKG Besok Minggu, 10 Juli 2022: Ambon Diguyur Hujan Sepanjang Hari, Lampung Cerah
Farid Haluti, menyampaikan, kata Qurban yang berasal dari kata qaruba-qaribun yang berarti dekat, mengandung sebuah pengorbanan atau simbol terhadap apa yang kita cintai.
Posisi dekat dengan Allah tentu bukan merupakan bawaan sejak lahir, melainkan sebagai hasil dari latihan dalam menjalankan apa yang diperintahkan Allah.
Menurut Farid Haluti, sering kali terjadi benturan antara keinginan diri (hawa nafsu) dengan keinginan Allah (ibadah).
Di sinilah akan nyata keperpihakan kita, apakah pada Allah atau pada yang lainnya.
Sehingga pertanyaan dalam bentuk “muhasabah atau evaluasi diri” dalam konteks ini adalah “mampukah kita mengorbanan keinginan dan kesenangan kita karena kita sudah berpihak pada Allah? Sekali lagi ibadah haji dan ibadah qurban merupakan gerbang mencapai kedekatan kita dengan Allah SWT.
Farid Haluti, menerangkan, bahwa Nabi Ibrahim adalah ikon manusia yang begitu dekat dengan Allah, yang karenanya diberi gelar kekasih Allah.
Sosok nabi dengan kedekatan dan kepatuhannya secara paripurna kepada Allah tampil sekaligus dalam dua ibadah di hari raya Iduladha, yakni ibadah haji dan ibadah qurban.
Dalam ibadah haji peran, Nabi Ibrahim tak bisa dilepaskan. Tercatat bahwa syariat ibadah ini sesungguhnya berawal dari panggilan Nabi Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Dalam surat Alhajj ayat 27 Allah berfirman, yang artinya: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,”.
Ibadah haji dan qurban yang dewasa ini kita laksanakan sangat syarat dengan nilai-nilai sosial dan moral.
Ibadah haji di samping menjadi simbol persatuan dan persaudaraan umat Islam sedunia, juga mengandung makna yang begitu dalam khusunya dalam mengugah rasa sosial kita.
Ibadah haji harus diawali dengan kesiapan seseorang untuk menanggalkan seluruh atribut dan tampilan luar yang mencerminkan kedudukan dan status sosialnya.
Manusia datang dengan hanya mengenakan dua helai kain ihram yang mencerminkan sikap tawaddu dan kesamaan antar seluruh manusia.
Dalam hal ini, pesan yang dibawa adalah bahwa tidak ada perbedaan antara batasan dan bawahan, tidak ada perbedaan antara orang kaya dan orang miskin, tidak ada perbedaan majikan dan pembantu, semua sama. Hal yang membedakaannya adalah ketaqwaannya dihadapan Allah.
Sementara itu, Sai secara harfiah berarti berusaha sungguh-sungguh sebagai simbol semangat untuk mencari kehidupan.
Di mana Siti Hajar, ibunda Ismail berlari-lari antara bukit Shafa’ dan Marwah untuk mencari air kehidupan buat anaknya Ismail.
Tetapi, ia tidak mendapatkan air di tempat itu, justru air itu muncul di kaki anaknya Ismail.
Ini mengisyaratkan sifat qonaah, bahwa kita manusia harus berusaha, tapi hasilnya kita kembalikan kepada Allah.
Di sinilah kita dituntut untuk bekerja apa adanya bukan karena ada apanya.
Begitu juga dengan pelaksanaan ibadah wukuf di Arafah, dengan penuh kekhusyukan dan ketundukan, seseorang akan larut dalam dzikir, munajat dan taqarrub kepada Allah, sehingga setelah itu ia akan lebih siap menjalankan seluruh perintah-Nya.
Dalam proses bimbangan spiritual yang cukup panjang ini seseorang diuji pada hari berikutnya, dengan melontar jumrah sebagai simbol perlawanan terhadap setan dan terhadap setiap yang menghalangi kedekatan dengan Rabbnya.
Kemudian segala aktivitas kehidupannya akan diarahkan untuk Allah, menuju Allah dan bersama Allah dalam ibadah thawaf. Ibadah yang dilakukan dengan berkeliling dan memfokuskan dalam satu titik yang bernama Ka’bah.
Titik kesatuan ini penting untuk mengingatkan arah dan tujuan hidup manusia.
Ini tercatat dalam Surah Al-An’am 162, yang artinya “katakanlah sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Dalam ibadah qurban, kembali Nabi Ibrahim tampil sebagai manusia pertama yang mendapatkan ujian pengorbanan dari Allah.
Nabi Ibrahim sudah memberikan contoh bagaimana cara berqurban yang baik. Ketika Nabi Ibrahim menyembelih binatang pengganti anaknya, dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin, tindakan ini mengandung makna pemerataan.
Pemerataan ini sangat kita butuhkan untuk mengobati luka-luka sosial berupa kesenjangan ekonomi yang kadang-kadang menjadi faktor pemicu munculnya tindakan-tindakan kriminal.
Ibadah qurban mencerminkan pesan Islam, bahwa kita hanya dapat dekat dengan Allah, bila kita mendekati saudara-saudara kita yang kekurangan.
Bila puasa mengajak kita merasakan lapar seperti orang-orang miskin, maka ibadah qurban mengajak mereka untuk merasakan kenyang seperti kita.
Dalam sebuah riwayat Al Qayuby, dicatatkan bahwa Membuka Pintu Langit menguraikan, perjalanan seorang hamba Allah bernama Abdullah Bin Mubarak, yang membatalkan ibadah hajinya.
Sebab ketika di Kuffa, ia bertemu dengan wanita tua miskin sedang memasak seokor itik yang sudah menjadi bangkai.
Abdullah lalu menegur wanita tua itu, wanita tua itu marah dan meminta supaya Abdullah pergi. Tentunya Abdullah bin Mubarak bertambah heran, Abdullah tidak beranjak dari tempatnya bahkan terus bertanya.
Akhirnya dengan roman muka dan tutur kata penuh kesedihan perempuan itu berucap padanya. “Aku melakukan ini karena kemiskinan, aku terpaksa memasak bangkai ini demi menyambung hidup keluargaku”.
Menghadapi kenyataan ini, akhirnya Abdullah bin Mubarak dengan ikhlas menyerahkan keledai beserta perbekalan perjalanannya kepada perempuan tersebut.
Akhirnya Abdullah bin Mubarak terpaksa menunda kepergiannya ke tanah suci Mekkah.
Ia kembali ke kampung halamannya, tetapi sangatlah mengherankan bahwa para jamaah haji yang telah pulang ke negertinya, datang kepadanya untuk menyampaikan ucapan selamat karena Abdullah Bin Mubarak telah menunaikan ibadah haji.
Abdullah bingung dan membantah, karena ia tidak pernah menunaikan ibadah haji.
Pada malam harinya ketika tidur, Abdullah bermimpi dan mendengarkan suara gaib yang mengatakan sesuatu padanya.
“Wahai Abdullah, sesungguhnya Allah menerima sedekahmu dan telah mengutus seorang malaikat menyerupai dirimu unyuk melaksanakan ibadah haji sebagai ganti dirimu”.
Berdasarkan kisah ini, dapat ditarik maknanya bahwa bersedekah dan upaya memerangi kemiskinan dapat menjadi ibadah yang senilai dengan haji mabrur.
Banyak rahasia-rahasia yang terkandung dari pelaksanaan ibadah haji. Ibadah haji memang mengandung rahasia lautan hikmah yang luar biasa dan tidak pernah kering, meskipun selalu digali, dibahas, dan dikaji.
Salah satu pokok kajian yang selalu aktual dan tidak pernah habis dikupas adalah suatu peristiwa yang sangat monumental, ketika Rasulullah memberikan isyarat bahwa ia akan dipanggil berpulang ke rahmatullah.
Peristiwa ini dikenal dengan khutbah haji Wada.
Sebuah khutbah yang sangat dramatis yang membuat para sahabat meneteskan air mata, karena itulah hari terakhir Rasullah berkhutbah di Arafah pada tahun ke 10 hijriah.
Di awal khutbah, Rasulullah menyampaikan sesuatu yang membuat jemaah bersedih.
“Aku isyaratkan kebenaran ini, bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku isyaratkan bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-nya. Wahai sahabatku tahukah kalian hari apakah ini? Inilah Hari Nahar, Hari Qurban yang suci. Tahukah kalian bulan apakah ini? Inilah bulan yang suci.
Wahai sahabatku tempat apakah ini? Inilah tempat yang suci. Oleh karena itu aku sampaikan kepada kamu semua bahwa darah, dan harta kamu diharapkan untuk dibagi terhadap yang lainnya. Setiap muslim itu bersaudara, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tak seorang pun boleh mengambil sesuatu dari saudaranya jika sauara itu tidak ridha.
Wahai sahabatku, bantulah orang orang miskin dan berikanlah mereka pakaian sebagaimana engkau berpakaian”.
Itulah bagian khutbah terakhir yang disampaikan oleh Rasulullah, setelahnya beberapa hari kemudian Rasulullaah meninggal dunia dan berpulang ke Rahmatullah.
Sebelumnya, Allah menurunkan firman-Nya:
Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmatku, dan kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu, (Surah Almaidah:3).
Kalau kita memperhatikan dengan saksama khutbah Haji Wada ini, di dalamnya terkandung pernyataan yang paling esensial dari agama Islam, karena setelah pengakuan keimanan kepada Allah dan Rasulnya, ditegaskan prinsip-prinsip sosial atau tata hubungan kemanusiaaan yang sangat dalam di atas prinsip persamaan hak dengan nuansa perdamaian.
Oleh karena itu untuk menjaga agar keseimbangan hidup tidak tererosi oleh egoisme atau mementingkan diri sendiri, tidak ada jalan lain kecuali persaudaraan harus kita tegakkan.
Pilar-pilar keberagaman yang benar harus kita kokohkan sebagai tonggak utama dalam menata kehidupan bermasyarakat.
Benih-benih perpecahan, atas nama apa pun dan sekecil apa pun harus dimusnahkan.
Sebab dengan tegas Rasulullah SAW mengatakan, “bukanlah umatku mereka yang membesar-besarkan kesukuan, dan bukan pula umatku mereka yang tewas membela kesukuan”.
Ketika Ali Bin Abi Thalib mengangkat senjata melawan pemberontakan Muawiyah Bin Abi Sufyan, tercetus dari bibirnya ucapan yang mencekam perasaan.
“Wahai Muawiyah kalau aku sampai mati melawanmu bukan lantaran aku tidak mencintaimu, melainkan karena cintaku kepada persatuan lebih besar ketimbang cintaku kepada seribu Muawiyah Bin Abi Sufyan.”
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim mengandung pelajaran berharga bagi para ayah, ibu, suami, istri, anak, dan pemimpin atau penguasa.
Sebagai teladan kesabaran, ketika dihadapkan pada tantangan, cobaan dan ujian, Nabi Ibrahim selalu bersikap tenang dan biijaksana.
Ketika ayahnya menentang risalahnya, dia tidak marah dan tetap sabar.
Ketika penguasa mencoba membungkamnya, ia tetap teguh dan istiqamah dengan reformasi ketauhidan yang dibawanya, meskipun nyawa taruhannya.
Di akhir khutbahnya, Farid Haluti, mengajak umat muslim saling bersilaturahmi, jangan segan untuk mengulurkan tangan, dan tidak segan untuk menjabat tangan orang lain yang datang pada kita. (*)