Tari Tradisional Sulteng
Tari Balia, Tarian Ritual Penyembuhan dan Pengusiran Jin dari Suku Kaili Sulteng
Tari Tradisional Sulteng, Tari Balia merupakan salah satu ritual yang dipercaya oleh masyarakat suku Kaili, Sulawesi Tengah sebagai metode penyembuhan
TRIBUNPALU.COM - Tari Balia adalah salah satu Tari Tradisional Sulteng dari Suku Kaili.
Dikutip dari Wikipedia, Tari Tradisional Sulteng, Tari Balia merupakan salah satu ritual yang dipercaya oleh masyarakat Suku Kaili, Sulawesi Tengah.
Ritual Tari Balia ini diyakini masyarakat Suku Kaili sebagai metode penyembuhan atau pengobatan paling ampuh.
Selain itu Tari Balia juga diyakini sebagai ritual pengusiran jin.
Dulu, masyarakat Suku Kaili menjadikan Tari Balia sebagai 'prajurit kesehatan' ketika seseorang menderita penyakit yang tak kunjung sembuh.
Suku Kaili percaya keharusan menjaga hubungan baik dengan kekuatan yang menguasai alam.
Dimana penguasa alam ini dipersonifikasikan ke dalam bentuk leluhur dan dewa-dewa.
Ketika manusia tidak mampu menjaga hubungan baik tersebut, maka sang penguasa marah sehingga mendatangkan musibah sakit.
Sehingga mesti disembuhkan dengan memuja-muja lagi dewa yang memberi sakit.
Bahkan di era modern seperti saat ini, ritual yang biasa disebut No Balia masih dilakukan ketika pengobatan medis tak kunjung berhasil mendatangkan kesembuhan.
Ritual No Balia sendiri digolongkan sebagai tarian yang berkaitan dengan kepercayaan animisme. Alasannya, tarian ini dilakukan sebagai bentuk pemujaan benda-benda keramat.
Sakit yang bisa disembuhkan melalui Tarian Balia tidak sembarangan. Masyarakat Suku Kaili percaya Tarian Balia ampuh untuk mengobati sakit yang disebabkan gangguan jin atau roh jahat.
Hal ini sesuai dengan arti kata Balia, yaitu 'Bali' atau tantang dan 'Ia' atau dia.
Sehingga maknanya adalah tantang dia atau lawan dia yang membawa penyakit ke tubuh seseorang.
Meski disebut sebagai tarian, ritual No Balia sendiri tidak menampilkan gerakan lenggak-lenggok yang gemulai.
Berbeda dengan kebanyakan tarian tradisional lainnya, ritual No Balia dilakukan dengan prosesi cukup ekstrem. Salah satunya menginjak bara api.
Dalam prosesi tersebut, bara api disimbolkan sebagai kemarahan dan elemen buruk.
Rangkaian prosesi Tarian Balia bisa berlangsung hingga tujuh hari tujuh malam. Lamanya prosesi tergantung tingkat keparahan dan jenis penyakit.
Berdasarkan hal tersebut, Tarian Balia dibagi menjadi tiga jenis; Balia Bone, Balia Jinja, dan Balia Tampilangi.
Balia Bone merupakan tingkatan paling rendah dalam ritual ini. Biasanya digunakan untuk jenis penyakit ringan. Prosesinya pun tidak membutuhkan waktu terlalu lama. Prosesi dalam ritual Balia Bone hanya dipimpin seseorang yang disebut Sando.
Kemudian Balia Jinja, ritual yang berada dalam tingkatan selanjutnya. Prosesi tarian ini melibatkan banyak orang, yaitu Sando, Bale, penderita penyakit, dan pengunjung. Biasanya, beberapa orang yang mengikuti ritual ini akan mengalami kesurupan.
Sedangkan Balia Tampilangi merupakan ritual tingkatan tertinggi dan paling sakral. Ritual ini memadukan tarian Balia Bone dan Balian Jinja. Biasanya, ritual Balia Tampilangi dipilih kalangan bangsawan dengan jenis penyakit cukup parah. Prosesi ritual ini membutuhkan prosesi paling lama.
Adapun Tarian Balia mempunyai setidaknya 10 prosesi. Tak hanya sekedar menginjak bara api, ritual lainnya adalah ritual pompoura atau tala bala'a, ritual adat enje da'a, ritual tampilangi ulujadi, pompoura vunja, ritual manuru viata, ritual adat jinja, balia topoledo, vunja ntana, ritual tampilangi, dan nora binangga.
Pelaksanaan ritual No Balia memerlukan biaya tak sedikit.
Pasalnya, pihak yang mengadakan ritual harus mempersiapkan berbagai hal.
Seperti bahan-bahan ritual, yaitu dupa, keranda, buah-buahan, hingga hewan kurban.
Pemilihan jenis hewan kurban pun berdasarkan kasta pihak penyelenggara. Biasanya ayam, kambing, atau kerbau.
Selain itu, pihak penyelenggara juga harus menanggung ongkos lelah para peritual yang hadir.
Prosesi ritual dimulai ketika pawang laki-laki beraksi membacakan mantra dan jampi. Dipercaya, mantra dan jampi tersebut dapat memanggil arwah penguasa, para dewa, hingga roh nenek moyang.
Dalam setiap prosesinya, para peritual meletakan sesajian berbeda di dekat dupa.
Adapun orang yang sakit harus berada di sekitar penari Balia hingga kemudian diusung untuk mengikuti prosesi puncak.
Dalam ritual No Balia, prosesi puncak adalah menyembelih hewan kurban sebagai bentuk seserahan dan permohonan kesembuhan. Nantinya, darah hewan kurban ini dijadikan simbol permohonan kesembuhan bagi orang yang sakit.
(*)