OPINI

Faktur Pajak Fiktif, Tata Kelola Lemah Picu Kerugian Negara Miliaran Rupiah

Meski telah ada sistem pelaporan pajak elektronik melalui e-faktur, pelaku kejahatan selalu mencari celah untuk mengakali sistem tersebut.

Editor: mahyuddin
handover
Nabila Alya Raihanah, Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia 

Nabila Alya Raihanah

Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia

TRIBUNPALU.COM - Faktur Pajak fiktif adalah fenomena yang terus menggerogoti fondasi ekonomi Indonesia.

Praktik itu terjadi ketika Faktur Pajak, yang seharusnya merepresentasikan transaksi nyata sebagai bukti pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dimanipulasi atau bahkan dipalsukan untuk menghindari pembayaran pajak yang sebenarnya.

Pada dasarnya, Faktur Pajak fiktif dapat berupa penerbitan faktur tanpa adanya transaksi, menggelembungkan atau mengurangi nilai transaksi, hingga melibatkan perusahaan fiktif yang diciptakan hanya untuk tujuan mengurangi kewajiban pajak pelaku.

Kerugian yang ditimbulkan akibat praktik ini mencapai angka miliaran hingga triliunan rupiah, yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program kesejahteraan sosial lainnya.

Modus Faktur Pajak fiktif tidak hanya berimplikasi pada hilangnya pendapatan negara, tetapi juga menciptakan distorsi dalam kompetisi pasar, karena perusahaan yang melakukan tindakan curang ini dapat menawarkan harga yang lebih rendah dibandingkan perusahaan yang taat pajak.

Modus operandi yang sering digunakan dalam kejahatan faktur pajak fiktif adalah melalui jaringan perusahaan fiktif yang beroperasi di atas kertas, tanpa ada aktivitas bisnis nyata.

Perusahaan-perusahaan ini didirikan semata-mata untuk memfasilitasi transaksi pajak yang palsu, sering kali melibatkan beberapa entitas berbeda untuk mempersulit penelusuran oleh pihak berwenang.

Mereka membuatFaktur Pajak yang tampak sah di mata hukum, namun pada kenyataannya, transaksi yang tercatat di dalamnya tidak pernah terjadi.

Di sisi lain, ada juga perusahaan yang memang menjalankan bisnis riil, tetapi tetap menggunakan faktur fiktif untuk memperkecil kewajiban pajak mereka dengan memalsukan besaran transaksi.

Praktik ini semakin canggih karena melibatkan teknologi dan jaringan yang tersebar, sehingga tidak mudah bagi otoritas pajak untuk mendeteksi kejahatan ini secara langsung.

Selain itu, seringkali pelaku menggunakan berbagai trik akuntansi untuk menyamarkan jejak mereka, seperti menyisipkan transaksi fiktif di antara ribuan transaksi sah yang mereka lakukan setiap harinya.

Sistem tata kelola perpajakan di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan yang mempermudah praktik Faktur Pajak fiktif ini terjadi. 

Permasalahan terbesar adalah kurangnya transparansi dan pengawasan yang kuat dari pihak otoritas.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved