OPINI

Faktur Pajak Fiktif, Tata Kelola Lemah Picu Kerugian Negara Miliaran Rupiah

Meski telah ada sistem pelaporan pajak elektronik melalui e-faktur, pelaku kejahatan selalu mencari celah untuk mengakali sistem tersebut.

Editor: mahyuddin
handover
Nabila Alya Raihanah, Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia 

Namun, teknologi saja tidak cukup. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan perpajakan juga menjadi kunci dalam pemberantasan e-faktur fiktif.

Pegawai pajak harus dilatih untuk memahami skema-skema kecurangan yang semakin kompleks, serta dilengkapi dengan alat-alat yang dapat membantu mereka dalam menjalankan tugas pengawasan.

Lebih dari itu, integritas dan profesionalisme di lingkungan otoritas pajak perlu terus dijaga dan ditingkatkan.

Penerapan sanksi tegas terhadap oknum yang terlibat dalam manipulasi data atau menerima suap dari pelaku kejahatan perpajakan harus dilakukan tanpa pandang bulu.

Penegakan hukum yang kuat terhadap pelaku Faktur Pajak fiktif dan oknum yang terlibat dapat memberikan efek jera dan mencegah kejadian serupa di masa depan.

Ke depan, reformasi tata kelola perpajakan perlu dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Pemerintah tidak hanya harus memperbaiki sistem perpajakan yang ada, tetapi juga menciptakan iklim yang mendukung kepatuhan wajib pajak.

Salah satunya adalah dengan meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya membayar pajak bagi keberlangsungan pembangunan negara.

Jika masyarakat memahami bahwa pajak yang mereka bayarkan digunakan untuk membiayai sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, maka akan muncul kesadaran kolektif untuk patuh terhadap aturan perpajakan.

Pemerintah juga perlu memberikan insentif atau penghargaan bagi wajib pajak yang patuh, sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi mereka bagi negara.

Di sisi lain, pemberian sanksi yang tegas dan konsisten terhadap pelaku kecurangan pajak, termasuk mereka yang menerbitkan Faktur Pajak fiktif, harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan perpajakan.

Pada akhirnya, masalah Faktur Pajak fiktif bukan hanya soal kehilangan pendapatan negara, tetapi juga soal moralitas dan keadilan.

Praktik ini mencederai asas keadilan dalam perpajakan, di mana mereka yang taat aturan merasa dirugikan karena harus menanggung beban yang lebih besar, sementara pelaku kejahatan pajak justru mendapatkan keuntungan yang tidak sah.

Oleh karena itu, selain memperbaiki sistem dan meningkatkan pengawasan, penegakan hukum yang adil dan transparan harus menjadi fokus utama dalam upaya memberantas Faktur Pajak fiktif.

Hanya dengan begitu, negara bisa mengembalikan potensi pendapatannya dan masyarakat bisa kembali percaya pada keadilan dalam sistem perpajakan.(*)

 

Halaman 3 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved