Daftar Poin Penting Revisi UU TNI yang Dikhawatirkan Dwifungsi ABRI Hidup Kembali

Pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini sedang menjadi perbincangan.

Editor: Lisna Ali
Handover
GERUDUK RAPAT - Dua warga sipil geruduk rapat tertutup antara Komisi I DPR dan pemerintah untuk membahas RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, Sabtu (15/3/2025). Warga sipil yang mengatasnamakan Koalisi Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan membentangkan spanduk penolakan RUU TNI. 

TRIBUNPALU.COM - Pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini sedang menjadi perbincangan.

RUU TNI sedang dibahas oleh pemerintah bersama DPR RI.

Pembahasan UU Nomor 34 Tahun 2004 tersebut menimbulkan kritikan keras dari berbagai pihak karena digelar secara tertutup di hotel mewah, Hotel Fairmount Jakarta, Jumat (14/3/2025) hingga Sabtu (15/3/2025).

Targetnya, revisi UU TNI tersebut bakal selesai sebelum masa reses DPR, Jumat (21/3/2025).

Hal tersebut diungkapkan Menteri Pertahanan (Menham) Sjafrie Sjamsoeddin dalam rapat kerja sebelumnya dengan Komisi I DPR RI di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (11/3/2025). 

"Dengan harapan, ini bisa selesai pada bulan Ramadhan. Kami harapkan ini selesai sebelum reses para anggota DPR," ujarnya, dikutip dari Kompas.com.

Dalam rapat itu, Menhan menyebut ada sejumlah aturan yang bakal diubah dalam revisi UU TNI. Namun, perubahan aturan tersebut belakangan menuai kontroversi dan kritik dari berbagai kalangan.

Lantas, apa saja poin-poin RUU TNI yang menjadi sorotan?

Isi RUU TNI

Sejumlah pihak telah menyatakan kekhawatiran atau ketakutan akan dampak dari revisi UU TNI. Salah satunya, terkait munculnya kembali Dwifungsi ABRI. 

Sebab, aturan tersebut akan membolehkan prajurit aktif mengisi jabatan sipil di 16 kementerian dan lembaga negara. 

Revisi itu juga menambah usia masa dinas prajurit hingga 58 tahun bagi bintara dan tamtama, 60 tahun bagi perwira, serta 65 tahun bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional. 

Untuk lebih lengkapnya, berikut adalah poin-poin penting revisi UU TNI yang perlu dipahami: 

1. Memperluas jabatan sipil TNI

Menurut Pasal 47 ayat (2) UU TNI, anggota TNI aktif hanya boleh menjabat di 10 kementerian dan lembaga sipil tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun. Kementerian/lembaga tersebut, antara lain: 

  1. Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara
  2. Pertahanan Negara
  3. Sekretaris Militer Presiden
  4. Intelijen Negara
  5. Sandi Negara
  6. Lembaga Ketahanan Nasional
  7. Dewan Pertahanan Nasional
  8. Search and Rescue (SAR) 
  9. Nasional Narkotika Nasional
  10. Mahkamah Agung (MA).

Namun, dalam rapat revisi UU TNI, pemerintah dan DPR sepakat untuk menambah enam kementerian/lembaga yang bisa dijabat oleh perwira TNI aktif, yaitu: 

  1. Kementerian Kelautan dan Perikanan 
  2. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 
  3. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) 
  4. Badan Keamanan Laut 
  5. Kejaksaan Agung 
  6. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

2. Menambah batas usia pensiun

Perubahan yang disusulkan dalam revisi UU TNI berikutnya adalah penambahan batas usia pensiun prajurit TNI.

Pasal 43 UU TNI sebelumnya mengatur usia batas usia pensiun untuk perwira adalah 58 tahun, sedangkan tamtama dan bintara adalah 53 tahun. 

Akan tetapi, rencananya batas usia pensiun bagi bintara dan tamtama akan ditambah menjadi 55 tahun. 

Sementara, usia pensiun bagi perwira menjadi 58 hingga 62 tahun, sesuai pangkat atau sesuai kebijakan presiden khusus perwira bintang empat. 

3. Kedudukan TNI berubah

Dalam Pasal 3 UU TNI yang masih berlaku tertulis, TNI berkedudukan di bawah presiden dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer. 

Kemudian, TNI juga berkedudukan di bawah koordinasi Departemen Pertahanan dalam kebijakan dan strategi pertahaan serta dukungan administrasi. 

Namun, pemerintah hendak mengubah kedudukan TNI berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan.

4. Kewenangan dan tugas bertambah

Dilansir dari Kompas.com, Minggu, anggota Komisi I DPR RI, Tubagus Hasanuddin mengungkapkan, dalam RUU TNI tugas prajurit akan bertambah untuk melakukan operasi non-perang. 

Dia menerangkan, awalnya TNI memiliki 14 tugas operasi militer selain perang (OMSP), tetapi kini ditambah menjadi 17. 

Adapun 14 tugas tersebut, antara lain:

  • Mengatasi gerakan separatis bersenjata 
  • Mengatasi pemberontakan bersenjata 
  • Mengatasi aksi terorisme 
  • Mengamankan wilayah perbatasan 
  • Mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis 
  • Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai kebijakan politik luar negeri 
  • Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya 
  • Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai sistem pertahanan semesta 
  • Membantu tugas pemerintahan di daerah 
  • Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat 
  • Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing di Indonesia 
  • Membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan 
  • Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue) 
  • Membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.

Belum disebutkan secara rinci apa saja penambahan OMSP terbaru, tetapi Hasanuddin mengatakan, di antaranya adalah mengatasi masalah narkoba dan terait dengan operasi siber. 

"Tapi yang jelas TNI tidak ikut dalam penegakan hukumnya," ujarnya. 

Di sisi lain, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya Saputra, menilai terdapat banyak hal-hal bermasalah pada revisi UU TNI yang dibahas pemerintah dan panitia kerja (panja) DPR RI

"DPR harusnya melakukan telaah lebih jauh. Proses (pembuatan) cukup cepat membuat ruang publik memberikan aspirasi dan masukan jadi sangat minim," tuturnya. 

Menurutnya, Kontras bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mencatat, terdapat beberapa kekhawatiran yang ada pada revisi UU TNI. 

Itu termasuk profesionalisme kerja TNI terancam, kembalinya dwifungsi ABRI, hingga potensi kekerasan dari TNI.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved