Berita Viral

Cerita Kelam Eks Pemain Sirkus Taman Safari, Bekerja Tak Digaji hingga Kerap Alami Penyiksaan

Kisah mengejutkan datang dari sejumlah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) Taman Safari Indonesia. 

Editor: Lisna Ali
Tribunnews/Jeprima/KOMPAS.COM /KIKI SAFITRI
TAMAN SAFARI INDONESIA - Korban menangis ceritakan kisah pilu saat bekerja di sirkus, bahkan saat sedang hamil dan setelah melahirkan, Selasa (15/4/2025). Mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) mengajukan empat tuntutan kepada Taman Safari Indonesia terkait dugaan eksploitasi dan penyiksaan. 

“Jadi uang belanja ada, pakaian lengkap, kalau hari raya pasti dapet hadiah, dapet apa. Biasa lah kita. Ulang tahun dirayain ramai-rami. Itu biasa. Itu kehidupan keluarga besar,” pungkasnya.

Penyidikan Kasus Sirkus Pernah Disetop Polisi

Komnas HAM mengungkap proses penyidikan atas dugaan tindak pidana terhadap pemain sirkus anak-anak di Oriental Circus Indonesia (OCI) sempat dihentikan oleh Polri pada tahun 1999.

"Komnas HAM mendapatkan informasi bahwa Direktorat Reserse Umum Polri menghentikan penyidikan tindak pidana menghilangkan asal-usul dan perbuatan tidak menyenangkan," kata Koordinator Subkomisi Penegakan HAM, Uli Parulian Sihombing dalam keterangannya, Jumat (18/4/2025).

Penghentian penyidikan tersebut tertuang dalam Surat Ketetapan Nomor Pol. G.Tap/140-J/VI/1999/Serse Um tertanggal 22 Juni 1999. 

Kasus ini berkaitan dengan laporan polisi nomor LP/60/V/1997/Satgas tertanggal 6 Juni 1997 terhadap FM dan VS, yang sebelumnya disangkakan melanggar Pasal 277 dan 335 KUHP.

Komnas HAM menilai penghentian ini menjadi salah satu hambatan dalam proses pencarian keadilan bagi korban.

Uli menjelaskan, Komnas HAM telah melakukan pemantauan terhadap dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di lingkungan OCI sejak tahun 1997.

Temuan tersebut mencakup pelanggaran terhadap hak anak, khususnya yang menjadi pemain sirkus di Sarua, Bogor, Jawa Barat.

"Komnas HAM telah menangani kasus ini sejak 1997 dan saat itu menemukan dugaan pelanggaran hak asasi manusia," ujarnya. 

Temuan Komnas HAM pada saat itu meliputi empat bentuk pelanggaran: hak anak untuk mengetahui asal-usul dan identitasnya, kebebasan dari eksploitasi ekonomi, hak atas pendidikan umum yang layak, serta hak atas perlindungan keamanan dan jaminan sosial.

4 Tuntutan Eks Pemain Sirkus

Pihak mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) menuntut empat hal kepada pihak Taman Safari Indonesia buntut dugaan eksploitasi. 

Dari empat tuntutan tersebut, kuasa hukum mantan pemain sirkus OCI, Muhammad Sholeh, menyinggung soal dugaan adanya bunker tempat penyiksaan terhadap para eks pemain sirkus semasa masih bekerja. 

Adapun tuntutan pertama, yakni meminta untuk membuka asal-usul 60 mantan pemain sirkus

Para mantan pemain sirkus mengeklaim, tak mengetahui identitas asli dirinya dan silsilah keluarganya. 

Hal itu karena mereka sejak kecil dipekerjakan menjadi pemain sirkus tanpa tahu dunia luar. 

"Satu, buka asal-usul 60 mantan pemain sirkus ini," kata Sholeh dikutip dari YouTube Kompas TV, Sabtu (19/4/2025). 

"Ini tidak bisa tidak," lanjutnya.

Kedua, Sholeh meminta agar dibentuk tim investigasi untuk mendatangi lokasi Taman Safari Indonesia

Pasalnya, menurut kesaksian para korban, terdapat sebuah 'bunker' tempat penyiksaan para mantan pemain sirkus

Bunker itu, kata Sholeh, berada di bawah tanah, tempat di mana mereka tinggal. 

"Bentuk tim investigasi supaya bisa mendatangi lokasi Taman Safari. Menurut teman-teman di sana itu ada bunker. Rumahnya itu ada di bawah tanah, tempat mereka tinggal di situ lah tempat penyiksaan. Itu berdasarkan pengakuan (korban)," katanya. 

Sholeh juga meminta agar pemerintah proaktif berkomunikasi dengan para pemain sirkus yang masih berada di Taman Safari Cisarua Bogor, Prigen Jawa Timur dan Gianyar Bali. 

"Tanya satu per satu (ke karyawannya), masih mau kerja di situ apakah sudah layak gajinya atau masih mendapatkan kekerasan atau mau keluar yang dibantu oleh negara," ucapnya. 

Ketiga, pihak korban meminta agar segera dibentuk pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk mengadili kasus penyiksaan yang terjadi pada tahun 1997. 

Pasalnya, saat itu belum ada Undang-Undang yang mengatur soal HAM. 

"Menurut undang-undang HAM, tidak mengenal jangka waktu surut, artinya apa, ketika kasus ini dibuka dan betul-betul ada fakta eksploitasi terhadap anak-anak itu, maka pengadilan HAM ini harus dibentuk supaya menjadi pelajaran ke depan buat bangsa ini supaya tidak boleh melakukan kekejaman eksploitasi dalam bentuk apapun," jelasnya. 

Keempat, pihak korban menuntut ganti kerugian karena sejak kecil mereka telah dieksploitasi sampai dewasa. 

"Yang keempat baru bicara ganti rugi, tapi tiga itu tadi harus dilalui dulu. Kenapa harus ada ganti rugi? karena sejak kecil dieksploitasi sampai dia dewasa, tidak pernah digaji," katanya. 

"Juga terhadap kekerasan, ada yang membekas tangannya dipukul sama balok, korban Ida sampai badannya cacat. Menurut saya, wajar sekali kalau mereka menuntut ganti rugi," katanya.(*)

Sebagian Artikel telah tayang di Tribunnewsbogor.com

Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved