Berita Viral

Cerita Kelam Eks Pemain Sirkus Taman Safari, Bekerja Tak Digaji hingga Kerap Alami Penyiksaan

Kisah mengejutkan datang dari sejumlah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) Taman Safari Indonesia. 

Editor: Lisna Ali
Tribunnews/Jeprima/KOMPAS.COM /KIKI SAFITRI
TAMAN SAFARI INDONESIA - Korban menangis ceritakan kisah pilu saat bekerja di sirkus, bahkan saat sedang hamil dan setelah melahirkan, Selasa (15/4/2025). Mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) mengajukan empat tuntutan kepada Taman Safari Indonesia terkait dugaan eksploitasi dan penyiksaan. 

TRIBUNPALU.COM - Kisah mengejutkan datang dari sejumlah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) Taman Safari Indonesia

Mereka mendatangi Kemenham untuk mengadukan dugaan eksploitasi yang dialami mereka selama bekerja.

Eks pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI), Vivi dan Butet menceritakan pengalaman kelam saat mengalami dugaan penyiksaan.

Keduanya mengaku kerap disiksa oleh pria bernama Frans dan Jansen yang diduga merupakan pemilik saham Taman Safari Indonesia (TSI).

Vivi menceritakan, selama jadi pemain sirkus, dirinya tinggal bersama sang bos. "Waktu di sirkus, Frans sama Pak Yansen, yang sering nyiksa," kata Vivi dikutip dari Youtube Forum Keadilan TV, Kamis (16/4/2025).

Menurut Vivi, saat usianya belasan tahun, dirinya sempat mencoba kabur. Vivi yang tidak pernah tahu siapa orangtuanya itu nekat kabur karena sudah tidak tahan dengan penyiksaan.

Ia sempat sembunyi di rumah seorang karyawan TSI di daerah Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Namun saat dirinya hendak pergi ke tempat yang lebih jauh lagi, Vivi keburu ditemukan oleh security TSI.

"Saya kenal security itu bernama Bapak Odo," jelasnya.

Vivi lalu dibawa oleh security itu dengan iming-iming tidak akan dipukuli. Setelah dibawa kembali ke pos security TSI, dirinya dijemput oleh Frans dan istrinya untuk dibawa pulang.

Vivi kemudian dibawa pulang oleh Frans dengan menaiki mobil menuju ke rumahnya. Selama perjalanan, Vivi mengaku dipukuli oleh Frans.

Baca juga: HUT Ke 61 Sulteng, Pemprov Buka Mal Pelayanan Masyarakat Sulteng Nambaso

"Sampai rumah saya diseret, ditarik dari mobil dibawa ke kantornya, nggak lama dia ambil setruman panjang. Saya disetrumin badan saya, sampai ke alat kelamin saya," bebernya.

Setelah lemas usai dipukuli oleh bos Taman Safari itu, Vivi pun terjatuh dan meminta ampun.

"Saya ditarik rambutnya, ditendang perutnya sampai ngompol," kata Vivi menahan tangis.

Tak cukup sampai di situ, ia pun kembali dihukum dengan cara dipasung. "Dipasung selama dua minggu, nggak boleh ke mana-mana. Selama dua minggu dirantai di tempat tidur," katanya.

Setelah dua minggu, Vivi kemudian dibebaskan dari pasung dan dipaksa latihan sirkus seperti biasa lagi.

"Saya masih merasa tertekan, sempet pengen minta tolong ke pengunjung tapi nggak berani, takut tidak ada yang percaya," ungkap dia.

Beruntung, Vivi dibantu oleh karyawan TSI yang sempat jadi guru silatnya hingga akhirnya dibawa kabur ke Semarang, Jawa Tengah.

Sama seperti Vivi, Butet pun sering mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh bos TSI.

Penyiksaan terparah yang dialami oleh Butet yakni saat dirinya ketahuan hamil oleh karyawan.

"Saya pacaran dengan karyawan, sekitar usia 18 tahun, terus ketahuan, dan saya juga sampai hamil," kata Butet.

Mengetahui Butet hamil dan berhubungan dengan karyawan, bos TSI pun langsung menyiksanya menggunakan balok kayu.

Baca juga: Tarian Kolosal hingga Artis Marion Jola Buka Rangkaian Semarak Sulteng Nambaso 2025

"Bekasnya masih ada, dipukulin pakai balok sampai patah, oleh Frans," ungkapnya.

Setelah itu, Butet kemudian dirantai selama dua bulan setiap malam hari.

"Setiap habis selesai show, saya dirantai. Sampai saya melahirkan pun dipisahkan dengan anak saya," ungkapnya.

Bukan itu saja, Butet juga mengaku sempat dipaksa makan kotoran gajah karena ketahuan mengambil daging empal.

"Saya pernah kenakalan anak-anak, saya ngambil empalnya satu, dia langsung jejelin saya kotoran gajah," kata dia.

Sementara Head of Media and Digital TSI Group, Finky Santika Nh mengatakan Taman Safari Indonesia tidak terkait dengan masalah tersebut.

"Taman Safari Indonesia Group adalah badan usaha berbadan hukum yang berdiri secara independen dan tidak terafiliasi dengan pihak yang dimaksud," katanya.

Menurutnya masalah Vivi, Butet bersama mantan pemain sirkus tersebut merupakan ranah pribadi.

"Kami berharap agar nama dan reputasi TSI Group tidak disangkutpautkan dalam permasalahan yang bukan menjadi bagian dari tanggung jawab kami, terutama tanpa bukti yang jelas karena dapat berimplikasi kepada pertanggungjawaban hukum," kata Finky.

Kuasa hukum mantan pekerja OCI Muhammad Sholeh mendorong Kementerian HAM serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) membentuk tim pencari fakta.

"Agar ada sinergi lintas sektoral dari Kementerian HAM dan juga dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan, semua harus bersatu. Menurut saya, segera membentuk tim pencari fakta," kata Sholeh.

Sholeh menyebut, selama bekerja di sirkus OCI, korban tidak pernah menerima gaji dan malah menerima kekerasan.

"Selama mereka menjadi budak, tidak pernah menerima gaji, menerima kekejaman, kekerasan, maka harus ada ganti rugi kepada para korban. Dan ini yang belum pernah terpikirkan," pungkasnya.

Klarifikasi OCI

Pendiri Oriental Circus Indonesia (OCI), Tony Sumampau, menjawab tudingan soal mantan pemain OCI yang disebut tidak menerima gaji. Tony menegaskan, sejak awal para pemain direkrut OCI sudah dianggap layaknya keluarga besar.

“Ya kalau sudah di OCI kan sudah kayak keluarga besar. Kalau sakit pasti berobat, gapernah bilang tidak ada uang. Semua itu sudah terjamin. Pakaian, terus uang saku,” ujar Tony saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan.

Tony menjelaskan, kebutuhan dasar seperti pakaian dan uang saku selalu diberikan secara rutin kepada para anggota sirkus, termasuk anak-anak. 

Kendati tidak menerima upah secara seperti pekerja pada umumnya, Tony mengklaim jika anak-anak itu mendapatkan uang saku setiap minggu.

“Tiap minggu juga dikasih. Memang itu tidak diberi gaji, ya. Kami kan dulu juga tidak terima gaji, sama. Masih anak-anak masa terima gaji gitu ya. Tapi uang saku untuk belanja, untuk segala macem, itu selalu ada. Nggak mungkin nggak ada,” ucapnya.

Dalam kesempatan ini juga, Tony menepis anggapan bahwa anak-anak di bawah asuhan OCI hidup tidak layak.

Padahal, menurutnya kondisi fisik anak-anak tersebut menunjukkan bahwa mereka sehat dan terawat.

“Kalau lihat wajahnya aja bisa keliatan kok, gitu ya. Jadi gak kurus-kurus, ceking, gitu kan ngga. Semua sehat-sehat,” tambah Tony.

Lebih lanjut, Tony pun menyampaikan bahwa perhatian terhadap anak-anak tak hanya terbatas pada kebutuhan sehari-hari. 

Ada masanya anak-anak tersebut, lanjut Tony, diajak bertamasya, bahkan ada perayaan ketika berulang tahun.

“Jadi uang belanja ada, pakaian lengkap, kalau hari raya pasti dapet hadiah, dapet apa. Biasa lah kita. Ulang tahun dirayain ramai-rami. Itu biasa. Itu kehidupan keluarga besar,” pungkasnya.

Penyidikan Kasus Sirkus Pernah Disetop Polisi

Komnas HAM mengungkap proses penyidikan atas dugaan tindak pidana terhadap pemain sirkus anak-anak di Oriental Circus Indonesia (OCI) sempat dihentikan oleh Polri pada tahun 1999.

"Komnas HAM mendapatkan informasi bahwa Direktorat Reserse Umum Polri menghentikan penyidikan tindak pidana menghilangkan asal-usul dan perbuatan tidak menyenangkan," kata Koordinator Subkomisi Penegakan HAM, Uli Parulian Sihombing dalam keterangannya, Jumat (18/4/2025).

Penghentian penyidikan tersebut tertuang dalam Surat Ketetapan Nomor Pol. G.Tap/140-J/VI/1999/Serse Um tertanggal 22 Juni 1999. 

Kasus ini berkaitan dengan laporan polisi nomor LP/60/V/1997/Satgas tertanggal 6 Juni 1997 terhadap FM dan VS, yang sebelumnya disangkakan melanggar Pasal 277 dan 335 KUHP.

Komnas HAM menilai penghentian ini menjadi salah satu hambatan dalam proses pencarian keadilan bagi korban.

Uli menjelaskan, Komnas HAM telah melakukan pemantauan terhadap dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di lingkungan OCI sejak tahun 1997.

Temuan tersebut mencakup pelanggaran terhadap hak anak, khususnya yang menjadi pemain sirkus di Sarua, Bogor, Jawa Barat.

"Komnas HAM telah menangani kasus ini sejak 1997 dan saat itu menemukan dugaan pelanggaran hak asasi manusia," ujarnya. 

Temuan Komnas HAM pada saat itu meliputi empat bentuk pelanggaran: hak anak untuk mengetahui asal-usul dan identitasnya, kebebasan dari eksploitasi ekonomi, hak atas pendidikan umum yang layak, serta hak atas perlindungan keamanan dan jaminan sosial.

4 Tuntutan Eks Pemain Sirkus

Pihak mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) menuntut empat hal kepada pihak Taman Safari Indonesia buntut dugaan eksploitasi. 

Dari empat tuntutan tersebut, kuasa hukum mantan pemain sirkus OCI, Muhammad Sholeh, menyinggung soal dugaan adanya bunker tempat penyiksaan terhadap para eks pemain sirkus semasa masih bekerja. 

Adapun tuntutan pertama, yakni meminta untuk membuka asal-usul 60 mantan pemain sirkus

Para mantan pemain sirkus mengeklaim, tak mengetahui identitas asli dirinya dan silsilah keluarganya. 

Hal itu karena mereka sejak kecil dipekerjakan menjadi pemain sirkus tanpa tahu dunia luar. 

"Satu, buka asal-usul 60 mantan pemain sirkus ini," kata Sholeh dikutip dari YouTube Kompas TV, Sabtu (19/4/2025). 

"Ini tidak bisa tidak," lanjutnya.

Kedua, Sholeh meminta agar dibentuk tim investigasi untuk mendatangi lokasi Taman Safari Indonesia

Pasalnya, menurut kesaksian para korban, terdapat sebuah 'bunker' tempat penyiksaan para mantan pemain sirkus

Bunker itu, kata Sholeh, berada di bawah tanah, tempat di mana mereka tinggal. 

"Bentuk tim investigasi supaya bisa mendatangi lokasi Taman Safari. Menurut teman-teman di sana itu ada bunker. Rumahnya itu ada di bawah tanah, tempat mereka tinggal di situ lah tempat penyiksaan. Itu berdasarkan pengakuan (korban)," katanya. 

Sholeh juga meminta agar pemerintah proaktif berkomunikasi dengan para pemain sirkus yang masih berada di Taman Safari Cisarua Bogor, Prigen Jawa Timur dan Gianyar Bali. 

"Tanya satu per satu (ke karyawannya), masih mau kerja di situ apakah sudah layak gajinya atau masih mendapatkan kekerasan atau mau keluar yang dibantu oleh negara," ucapnya. 

Ketiga, pihak korban meminta agar segera dibentuk pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk mengadili kasus penyiksaan yang terjadi pada tahun 1997. 

Pasalnya, saat itu belum ada Undang-Undang yang mengatur soal HAM. 

"Menurut undang-undang HAM, tidak mengenal jangka waktu surut, artinya apa, ketika kasus ini dibuka dan betul-betul ada fakta eksploitasi terhadap anak-anak itu, maka pengadilan HAM ini harus dibentuk supaya menjadi pelajaran ke depan buat bangsa ini supaya tidak boleh melakukan kekejaman eksploitasi dalam bentuk apapun," jelasnya. 

Keempat, pihak korban menuntut ganti kerugian karena sejak kecil mereka telah dieksploitasi sampai dewasa. 

"Yang keempat baru bicara ganti rugi, tapi tiga itu tadi harus dilalui dulu. Kenapa harus ada ganti rugi? karena sejak kecil dieksploitasi sampai dia dewasa, tidak pernah digaji," katanya. 

"Juga terhadap kekerasan, ada yang membekas tangannya dipukul sama balok, korban Ida sampai badannya cacat. Menurut saya, wajar sekali kalau mereka menuntut ganti rugi," katanya.(*)

Sebagian Artikel telah tayang di Tribunnewsbogor.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved