Sulteng Hari Ini

PWYP dan Organisasi Sipil Desak Moratorium Izin Tambang di Sulawesi-Papua

Aktivitas pertambangan melampaui daya dukung ruang dan lahan, bahkan tambang nikel, menjadi sumber deforestasi baru

Penulis: Supriyanto | Editor: Fadhila Amalia
Handover
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Working Group Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Regional Sulawesi - Papua menyerukan urgensi kebijakan Nasional dan Daerah terkait Moratorium Izin Tambang Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia. 

Laporan Wartawan TribunPalu.com, Supriyanto Ucok

TRIBUNPALU.COM, PALU - Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Working Group Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Regional Sulawesi - Papua menyerukan urgensi kebijakan Nasional dan Daerah terkait Moratorium Izin Tambang Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan dalam diskusi media bertajuk “Urgensi Moratorium Izin Tambang: Mendorong Perbaikan Tata Kelola Minerba dari Timur”, yang diselenggarakan secara hybrid di Cafe Teko, Jl Tanjung Dako, Kelurahan Lolu Selatan Kecamatan Palu Selatan  di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (11/10/2025).

Eksploitasi tambang mineral dan batubara (minerba) akan semakin masif pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Baca juga: Pamit Dari Sulteng, Pangdam XIII Merdeka : Semoga Kodam XXIII Beri Hasil Maksimal

Peneliti PWYP Indonesia, Ariyansah Kiliu mengatakan bahwa keran izin akan semakin terbuka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 96Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba yang dapat memberikan prioritas Wilayah Usaha Pertambangan (WIUP) untuk Koperasi, Badan Usaha kecil dan menengah (UKM), atau Badan Usaha yang dimiliki oleh Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau Badan Usaha Swasta.

Hal tersebut dalam rangka peningkatan akses pendidikan tinggi bagi masyarakat, serta meningkatkan kemandirian dan keunggulan perguruan tinggi dan BUMN dan Badan Usaha Swasta dalam rangka peningkatan nilai tambah/hilirisasi.

Padahal menurutnya, aktivitas tambang selama ini lebih banyak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, sosial hingga ekonomi yang besar, di saat pemerintah seharusnya beralih fokus dalam mengejar komitmen ambisinya dari perubahan iklim dan transisi energi.

Baca juga: BREAKING NEWS: Ratusan Buruh IMIP Demo, Sampai 4 Poin Tuntutan

Sehingga seharusnya, moratorium izin tambang lebih penting dari pemberian izin tambang.

Ariyansah juga mengatakan seharusnya saat ini, yang perlu dilakukan dan urgen bukanlah membuka keran izin pertambangan melainkan justru moratorium izin tambang.

"Komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris yang mengharuskan pengurangan
aktivitas pertambangan, khususnya batubara. Saat ini misalnya, over produksi batu bara telah melampaui batasan yang ditetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yang memandatkan produksi batubara maksimal 400 juta ton di tahun 2019 dan seterusnya, namun kini, tahun 2024 misalnya, produksi telah mencapai angka 800 juta ton,” katanya

Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa aktivitas pertambangan melampaui daya dukung ruang dan lahan, bahkan tambang nikel, menjadi sumber deforestasi baru.

"Di sisi lain, masih buruknya tata kelola sektor pertambangan, seperti banyaknya perusahaan yang belum menempatkan jaminan reklamasi dan pasca tambang, banyaknya lubang tambang yang masih menganga pasca pertambangan, maraknya tmmbang ilegal, kasus korupsi, maraknya pelanggaran HAM dan lingkungan dan minimnya pengawasan dan penegakan hukum di sektor tambang menjadi alasan urgensi moratorium izin tambang saat ini,” ujarnya.

Baca juga: Bupati Parigi Moutong Resmi Cabut Usulan Wilayah Pertambangan dan WPR

Yayasan Kompas Peduli Hutan (KoMIU), Ufudin menilai bahwa dampak ekonomi dari investasi pertambangan belum signifikan dirasakan masyarakat secara keseluruhan. 

"Hanya menimbulkan berbagai persoalan seperti konflik sosial di lingkar tambang, kerusakan infrastruktur jalan, banjir, krisis air bersih, deforestasi, hilangnya sumber daya keanekaragaman hayati, kerusakan ekosistem laut akibat tambang, kehilangan lahan pertanian, polusi, penyakit ispa akibat debu dari aktivitas pertambangan, pencemaran air bersih dan lain-lain,” kata Ufudin.

Menurutnya, pemerintah pusat harus segera melakukan moratorium seluruh izin tambang mineral logam di seluruh daerah, jangan hanya memikirkan untuk bagaimana mendapatkan nilai investasi sebanyak-banyaknya.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved