Reaksi Pemkot Palu terhadap Maraknya KDRT dan Pelecehan Seksual di Pengungsian
Wakil Wali Kota Palu, Sigit Purnomo mengungkapkan, pihaknya sudah membahas hal tersebut dengan Satgas penanggulangan pascabencana terpadu.
Penulis: Haqir Muhakir |
TRIBUNPALU.COM, PALU -- Enam bulan pasca bencana, sebanyak 40.000 jiwa saat ini masih tinggal di pengungsian hingga Jumat (5/4/2019).
Ada yang sudah menempati hunian sementara (huntara), ada juga yang masih bertahan di tenda darurat pengungsian.
Belum lama ini Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Palu mencatat sudah ada 13 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilaporkan.
Baik KDRT dengan anak-anak, maupun korban perempuan sebaga ibu rumah tangga.
Tidak hanya itu, pelecehan seksual juga kerap terjadi.
Seperti percobaan pemerkosaan dan tindakan mengintip orang mandi.
Menanggapi hal itu, Wakil Wali Kota Palu, Sigit Purnomo Said alias Pasha Ungu mengungkapkan, pihaknya sudah membahas hal tersebut dengan satuan tugas (Satgas) penanggulangan pascabencana terpadu.
Dalam Satgas itu, susah termasuk dari Kepolisian, TNI, BNPB, instansi perlindungan perempuan dan anak, dan pihak terkiat lainnya.
"Ini kita lakukan, berharap tidak ada terjadi kekerasan-kekerasan (di pengungsian, red). Termasuk kekerasan terhadap anak dan pelecehan seksual di lokasi pengungsian," jelasnya.
• Soal Pengungsi yang Dikeluarkan dari Huntara, Pemkot Menduga Ada Kekeliruan Pendataan
Komnas HAM Minta Predikat Kota Ramah HAM Dicabut
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Palu mencatat, selama enam bulan pasca bencana di Provinsi Sulawesi Tengah, terjadi sejumlah kekerasan pada anak dan pelecehan seksual.
"Ada beberapa kasus yang terjadi seperti pengintipan orang mandi, percobaan pemerkosaan, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap anak," ujar Kepala DP3A Kota Palu, Irmayanti Pettalolo, Selasa (2/4/2019).

Menanggapi hal itu, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah, Dedi Askary menegaskan, pasca terjadi bencana tanggal 28 September 2018, pihaknya sudah menyampaikan sejumlah hal yang dapat dipastikan terjadi di lokasi pengungsian.
Dedi melanjutkan, hal itu disebabkan pemerintah setempat tidak maksimal dan memperhatikan hal-hal yang sangat sensitif.
"Khususnya yang berkaitan dengan lingkungan sosial anak-anak, ibu hamil, dan perempuan di tenda-tenda pengungsian," ujarnya saat dihubungi, Kamis (4/4/2019).
Oleh karena itu kata Dedi, pihaknya mendorong pemerintah pusat, yakni Kementerian Hukum dan HAM RI, untuk mencabut predikat Kota Ramah HAM untuk Kota Palu.


Banyaknya pelecehan dan peristiwa percobaan pemerkosaan yang terjadi di pengungsian semakinmemperkuat keyakinan Komnas HAM Sulteng dalam mendorong Menteri Hukum dan HAM RI untuk mencabut predikat Kota Ramah HAM.
"Bagaimana Kota Ramah HAM, sementara terjadi di sana-sini ada pelecehan seksual, ada percobaan pemerkosaan?" tegasnya.
Diketahui, Kota Palu mendapatkan penghargaan sebagai kota peduli HAM pada 2014 dari Kementerian Hukum dan HAM RI, yang bekerjasama dengan Komisi Nasional HAM RI.
Keberhasilan kota Palu sebagai salah satu kota penerima penghargaan kota peduli HAM tahun 2014 tersebut berdasarkan surat Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI nomor: HAM-UM.05.01-19 perihal peringatan Hari HAM se-Dunia tahun 2015 dan peganugerahan penghargaan Kabupaten/Kota peduli HAM pada 2014.
• Tinggal di Kontrakan Sebelum Bencana, Sebagian Pengungsi Korban Bencana Palu Tak Dapat Bantuan
DP3A Kota Palu Terima 13 Laporan Kasus KDRT di Kamp Pengungsian
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih sering terjadi di kamp pengungsian Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Palu mencatat sudah ada 13 kasus yang dilaporkan.
Secara garis besar ada tiga penyebab kasus KDRT yang dilaporkan tersebut, mulai dari persoalan ekonomi, cemburu terhadap pasangan, hingga perselingkuhan.
"Memang ini (KDRT) sangat rentan, apalagi kondisi saat ini masih sulitnya lapangan pekerjaan," terang Kepala DP3A Kota Palu, Irmayanti Pettalolo, Selasa (2/4/2019).

Irmayanti mengatakan, dalam menangani laporan tersebut, pihaknya melakukan beberapa proses, mulai dari mediasi hingga ke jalur hukum.
Dalam proses mediasi, umunya pihak DP3A melibatkan lembaga adat dan tokoh masyarakat untuk menyelesaikan persoalan.
"Tapi yang paling sering itu kami langsung membawa kasus tersebut ke pihak kepolisian karena sudah masuk ke tindakan kriminal," tegasnya.
Untuk meminimalisir terjadinya kasus KDRT di sejumlah kamp pengungsian, Irmayanti mengaku pihaknya tekah mendirikan tenda ramah perempuan.
Tenda ramah perempuan ini dibangun di antaranya di Kelurahan Balaroa, Kelurahan Petobo, Kelurahan Duyu, dan Kelurahan Pantoloan.
"Dengan didirikan tenda ramah perempuan ini, sehingga perempuan, anak-anak, dan kaum rentan bisa cepat melaporkan sika terjadi kekerasan," ujarnya.
Irmayanti mengungkapkan, kasus KDRT perlu mendapat perhatian lebih.
Mengingat jenis kekerasan ini yang paling sering dialami oleh perempuan di Indonesia, khususnya Kota Palu.
(TribunPalu.com/Muhakir Tamrin)