Bawaslu Sulteng Prediksi Kasus Pelanggaran Netralitas ASN Kembali Terulang di Pilkada 2020
Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah memprediksi kasus pelanggaran netralitas ASN kembali terulang pada pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2020
Penulis: Haqir Muhakir | Editor: Imam Saputro
TRIBUNPALU.COM, PALU - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Sulawesi Tengah memprediksi kasus pelanggaran netralitas ASN kembali terulang pada pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2020 mendatang.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Bawaslu Provinsi Sulteng Ruslan Husen, dalam sebuah dialog pengawasan pemilihan di Kota Palu, Kamis (5/12/2019).
Ruslan Husen mengatakan, kasus ASN yang tidak netral menjadi fenomena paling sering ditemukan pada kontestasi lima tahunan.
"Kami sudah melakukan penindakan, tapi masih ada saja kasus serupa ditemukan," jelas Ruslan.
Lanjut Ruslan, berkaca pada Pemilu 2019, Bawaslu Sulteng telah melakukan penindakan terhadap 34 ASN tak netral.
Dari jumlah kasus itu berdasarkan jenis pelanggaran, ada 10 kasus mengarahkan caleg tertentu, 13 ASN berkampanye di media sosial, 1 kasus kampanye di tempat ibadah, 3 kasus ASN membagikan bahan kampanye dari peserta pemilu, 1 kasus money politic dan 6 kasus masuk dalam kategori lain lain.
Kemudian, 34 kasus pelanggaran ASN tersebut, setelah dilakukan pengkajian, 29 kasus diserahkan ke Komisi ASN di Jakarta.
Sedangkan 5 kasus di serahkan ke dewan Etik pemerintah daerah.
Sejumlah ASN yang tidak netral tersebut mayoritas diberikan sanksi sedang.
Berdasarkan hal itu kata Ruslan, pihaknya memprediksi pelanggaran serupa masih akan terulang.
Sebab menurut Ruslan, penindakan terhadap pelanggaran netralitas ASN masih lemah untuk memberikan efek jera.
Di mana, pengawas Pemilu tidak memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi.
"Kami hanya memberikan hasil kajian dan institusi berwenang yang memutuskan sanksi apa yang diberikan kepada ASN yang tidak netral," kata Ruslan. .
Sementara itu, akademisi Universitas Tadulako, Nur Alamsyah, yang turut hadir dalam dialog, menuturkan birokrat telah menjadi kebutuhan para politisi.
Mengingat, ASN merupakan figur atau tokoh yang dimiliki masyarakat.
Menurut Nur, para ASN itu memiliki kemampuan mobilisasi akar rumput.
"Apalagi, kedekatan ASN dengan masyrakat cukup kuat," ujar Nur.
Fakta yang tidak lepas dari pengamatannya sebagai akademisi, banyak ASN yang rela melanggar demi memuluskan kepentingan promosi jabatan.
Misalnya, jika kandidat yang diperjuangkan terpilih, seorang ASN akan mudah mendapatkan promosi jabatan lebih baik dari sebelumnya.
Mengamati fenomena itu, bagi Dosen Fisip Untad itu, kasus pelanggaran ASN tidak pernah berhenti.
"Loyalitas mereka jadi taruhan, ketika loyalitas itu terbukti, maka mereka mendapatkan posisi paling bagus. Ini yang menyebabkan sulitnya memberikan efek jera," Ungkapnya.
Ditambah lagi kata Nur, alur penindakan ASN tak netral dinilai terlalu panjang.
Bahkan membutuhkan waktu yang begitu lama untuk melahirkan sanksi apa yang diberikan kepada ASN tersebut.
Di mana lanjut Nur, saat ini tidak ada satu lembaga yang benar-benar memiliki kewenangan penuh memberikan sanksi kepada ASN yang tidak netral.
"Jalur dan pintunya banyak sekali. Kenapa tidak, ada satu lembaga saja yang langsung memutuskan tanpa perlu ada jalur birokrasi yang panjang," terangnya.
(TribunPalu.com/Muhakir Tamrin)