Ketua KPK Ungkap 6 Provinsi dengan Kasus Korupsi Tertinggi di Indonesia, 8 Daerah Tak Ada Korupsi
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengungkapkan, 24 dari 36 provinsi terjaring kasus korupsi sepanjang tahun 2004 hingga 2020.
Menurut penuturan si calon kepala daerah yang diwawancarai Firli itu, ia hanya memiliki anggaran Rp18 miliar." Uang memang masih menjadi kunci untuk memenangkan pertarungan dalam pilkada," kata Firli.
Dikatakan Firli, politik uang yang sangat besar ini yang menjadi beban bagi para kepala daerah terpilih lantaran harus mengembalikan uang yang selama masa kampanye dia keluarkan.
Menurutnya, hal ini yang masih menjadi pekerjaan rumah, tak hanya bagi KPK, namun bagi semua masyarakat.
"Ini PR kita bersama. Dari mana uangnya? Uangnya dibiayai oleh pihak ketiga, dan hasil penelitian kita 82,3 persen, biaya itu dibantu oleh pihak ketiga, 2017, 82,6 persen dibantu oleh pihak ketiga, 2018, 70,3 persen dibantu oleh pihak ketiga," kata Firli.
Firli mengungkapkan, berdasarkan penelitian, pihak ketiga mau membantu lantaran dijanjikan sesuatu oleh para calon kepala daerah jika nantinya terpilih.
Sebagian besar janji itu berupa memudahkan pihak ketiga mendapatkan proyek dalam pemerintahan di daerah tersebut.
"Artinya, para calon kepala daerah ini sudah menggadaikan kekuasannya kepada pihak ketiga yang membiayai biaya Pilkada. Kalau itu terjadi sudah tentu akan terjadi korupsi, dan tentu juga akan berakhir pada masalah hukum," ujar Firli.
Firli juga mengingatkan potensi tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Ia juga mengatakan bahwa tingginya biaya yang harus dikeluarkan calon untuk mengikuti pilkada dapat menjadi pintu masuk bagi timbulnya tindak pidana korupsi oleh kepala daerah setelah terpilih.
“Oleh karena itu, sejak awal pemilihan, pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah harus mengetahui bagaimana menghindari potensi munculnya benturan kepentingan,” ujar Firli.
Baca juga: Menkes Terawan Mengatakan Belum Ada Vaksin Covid-19 untuk Anak dan Lansia
Baca juga: Bicara Soal UU Cipta Kerja, Menaker: Pak Jokowi Memilih Menjalani Risiko Itu
Berdasarkan hasil Survei Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK pada tahun 2015, 2017, dan 2018, sebut Firli, ditemukan bahwa potensi adanya benturan kepentingan berkaitan erat dengan profil penyumbang atau donatur.
Sumbangan donatur, sebagai pengusaha, sambung Firli, memiliki konsekuensi pada keinginan donatur untuk mendapatkan kemudahan perizinan dalam menjalankan bisnis, keleluasaan mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan keamanan dalam menjalankan bisnis.
Temuan survei KPK pada tahun 2018 memperlihatkan bahwa 83,8 persen calon berjanji akan memenuhi harapan donatur ketika calon memenangkan Pilkada.
“Hasil survei KPK menemukan bahwa sebesar 82,3 persen dari seluruh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada. Hadirnya donatur disebabkan karena adanya gap antara biaya pilkada dan kemampuan harta calon, di mana harta pasangan calon tidak mencukupi untuk membiayai pilkada,” ujarnya.
Sesuai catatan survei KPK, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp18,03 miliar. Bahkan, ditemukan pula ada satu pasangan calon yang hartanya minus Rp15,17 juta.