UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja dan Isu Lingkungan: Peluang Korupsi Membesar, Partisipasi Warga dalam Amdal Berkurang
Omnibus Law UU Cipta Kerja yang telah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (3/11/2020) menimbulkan kontroversi di bidang lingkungan.
TRIBUNPALU.COM - Omnibus Law Undang-undang (UU) Cipta Kerja yang telah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (3/11/2020) menimbulkan kontroversi di berbagai bidang, salah satunya sektor lingkungan.
UU Cipta Kerja berpotensi meningkatkan terjadinya korupsi dalam hal perizinan dan mempersempit partisipasi masyarakat terkait analisis dampak lingkungan.
Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Hukum Lingkungan pada Universitas Indonesia Andri Gunawan dalam webinar yang disiarkan melalui akun Youtube Iluni UI, Rabu (4/11/2020).
Bagaimana penjelasannya?
Peluang Korupsi dalam Perizinan Lingkungan
Andri Gunawan menilai, UU Cipta Kerja dapat memperbesar peluang terjadinya korupsi dalam proses perizinan lingkungan.
Sebab, UU Cipta Kerja telah mengurangi partisipasi publik dalam hal perizinan.
"Sebenarnya obat bagi Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang buruk, obat-obat izin yang buruk, bagi sistem perizinan yang buruk itu justru adalah peningkatkan partisipasi publik, bukan dengan menguranginya," kata Andri.
Andri menuturkan, partisipasi publik justru dapat mencegah praktik korupsi, karena publik dapat aktif mengawasi proses pemberian izin.
"Ketika public participation-nya mengecil, saya justru malah khawatir korupsinya makin bisa leluasa," ujar Andri.
Baca juga: Pilpres AS 2020: Raih 238 Suara dan Ungguli Donald Trump, Joe Biden Menang di Daerah-daerah Ini
Baca juga: Indonesia Calonkan Diri Jadi Tuan Rumah Olimpiade 2032, Jokowi akan Kunjungi Markas IOC di Swiss
Baca juga: Studi Pada Kerusakan Paru-paru Jenazah Pasien Covid-19 Tunjukkan Penyebab Terjadinya Long Covid
Andri menuturkan, berkurangnya partisipasi publik tersebut terdapat pada Pasal 22 UU Cipta Kerja yang mengubah sejumlah pasal UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Misalnya, penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (amdal) kini hanya perlu melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
Padahal, UU 32 Tahun 2009 menyatakan, penyusunan amdal mesti melibatkan masyarakat yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan/atau masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.
"Sekarang diperkecil, masyarakat yang terdampak langsung, dan undang-undang tidak menjelaskan apa sih yang dimaksud terkena dampak langsung," ujar Andri.
Selain itu, masyarakat pun hanya dilibatkan dalam proses penyusunan awal amdal saja dan tidak dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal ataupun menjadi anggota Komisi Penilai Amdal.