Bukan Lagi Pandemi, Ilmuwan Sebut Covid-19 adalah Sindemi
Melihat kondisi Covid-19 saat ini, Horton ilmuwan semestinya bukan dianggap sebagai pandemi, melainkan sebagai " sindemi".
TRIBUNPALU.COM - Sejak mewabah dari China akhir tahun 2019, Covid-19 terus meluas hingga secara resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutnya sebagai pandemi global.
Namun, hampir setahun pandemi Covid-19 ini berlangsung, jumlah orang yang terinfeksi di seluruh dunia sudah mencapai angka 50 juta.
Bahkan, hingga kini lebih dari selusin kandidat vaksin Covid-19 masih dalam tahap pengujian, beberapa telah hampir menyelesaikan fase 3 atau tahap akhir uji klinis.
Semakin tingginya angka infeksi Covid-19, sejumlah negara juga kembali memberlakukan lockdown setelah mencatat rekor penambahan jumlah kasus.
Baca juga: Ilmuwan Usulkan Covid-19 Bukan Lagi Pandemi tapi Sindemi, Apa Itu?
Baca juga: Vaksin Covid-19 Segera Tersedia, Tapi Protokol 3M Tetap Dijalankan, Ini Alasannya
Kendati berbagai strategi dan kebijakan telah dilakukan, sejumlah ilmuwan dan pakar kesehatan menilai hal itu masih terlalu terbatas untuk menghentikan laju infeksi yang disebabkan virus corona baru, SARS-CoV-2.
"Semua intervensi kita berfokus pada memotong jalur penularan virus untuk mengendalikan penyebaran patogen," kata Richard Horton, pemimpin redaksi jurnal ilmiah The Lancet, seperti dikutip BBC, Kamis (12/11/2020).
Melihat kondisi Covid-19 saat ini, Horton menilai semestinya bukan dianggap sebagai pandemi, melainkan sebagai " sindemi".
Lantas, apa itu sindemi dan bagaimana seharusnya penanganan Covid-19 dilakukan?
Sindemi adalah akronim yang berasal dari kata sinergi dan pandemi. Artinya, penyakit seperti Covid-19 tidak boleh berdiri sendiri.
Di satu sisi ada virus SARS-CoV-2, yaitu virus penyebab Covid-19 dan disi lain ada serangkaian penyakit yang sudah diidap oleh seseorang. Kedua elemen ini saling berinteraksi dalam konteks ketimpangan sosial yang mendalam.
Mengingat pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada awal tahun 2020, yang mengatakan bahwa dampak pandemi Covid-19 dialami secara tidak proporsional pada kelompok masyarakat paling rentan.
Di antaranya orang yang hidup dalam kemiskinan, pekerja miskin, perempuan dan anak-anak, serta penyandang disabilitas dan kelompok marjinal lainnya.
Sindemi bukanlah istilah baru dan telah muncul sekitar tahun 1990-an yang diciptakan oleh antropolog medis asal Amerika Serikat, Merill Singer.

Istilah ini dicetuskannya untuk menyebut kondisi ketika dua penyakit atau lebih berinteraksi sedemikian rupa, sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih besar ketimbang dampak dari masing-masing penyakit tersebut.
"Dampak dari interaksi ini juga difasilitasi oleh kondisi sosial dan lingkungan yang entah bagaimana dapat menyatukan kedua penyakit atau membuat populasi menjadi lebih rentan terhadap dampaknya," jelas Singer.