Tanggapi RUU Ketahanan Keluarga, Nurul Arifin: Tak Masuk Akal, Belum Ada Urgensinya
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi Golkar Nurul Arifin menyebut RUU Ketahanan Keluarga belum diperlu dan tidak darurat untuk dibahas saat ini.
TRIBUNPALU.COM - Setelah Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu, DPR kembali melanjutkan pembahasan dua RUU kontroversial.
Yakni, RUU Larangan Minuman Beralkohol dan RUU Ketahanan Keluarga.
Kedua RUU ini masih menuai sejumlah pro dan kontra.
RUU Ketahanan Keluarga (KK) juga tengah menjadi pergunjingan masyarakat Indonesia.
Sebab, RUU ini dinilai menjajah privasi warga.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi Golkar Nurul Arifin menyebut RUU Ketahanan Keluarga belum diperlukan dan tidak darurat untuk dibahas pada saat ini.
"Pikiran saya, RUU ini tidak masuk akal," ujar Nurul saat rapat Panja Harmonisasi RUU Ketahanan Keluarga di komplek Parlemen, Jakarta, Senin (16/11/2020).
Menurut Nurul, subtansi yang ada di dalam RUU tersebut sebenarnya sudah ada di undang-undang sebelumnya, seperti UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
"Undang-undang yang ada sudah mewakili dari subtansi yang ada di RUU Ketahanan Keluarga," ucap Nurul.
Selain itu, kata Nurul, Undang-Undang tentang Perwakinan juga telah mengatur terkait peran keluarga dan sebagainya.
Baca juga: Banyak Pihak yang Beri Komentar Pedas pada Habib Rizieq, Ustaz Abdul Somad: Jangan Fitnah!
Baca juga: Guru Honorer Akan Mendapatkan Bantuan Subsidi Upah Sebesar Rp 1,8 Juta, Cek Syarat dan Ketentuannya

"Argumen saya lebih baik menguatkan undang-undang, merevisi Undang-Undang Perkawinan yang sudah ada, daripada membuat undang-undang baru yang subtansinya terlalu luas dan mengurusi segala macam hal," paparnya.
Nurul juga menyoroti Pasal 27 huruf 3 dalam RUU Ketahanan Keluarga yang mengatur cuti dan hak tunjangan. Padahal, aturan tersebut sudah ada di Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
"Masyarakat ini heterogen yang tidak mungkin diseragamkan. Karena saya melihat RUU ini terlalu rigid (kaku) dan banyak sekali mengurus hal yang tidak perlu diurus sedetail itu," papar Nurul.
Baca juga: Bawa Video Sebagai Barang Bukti, FMPU Bakal Laporkan Nikita Mirzani Terkait Dugaan Ujaran Kebencian
Baca juga: Pro Kontra Seputar RUU Larangan Minuman Beralkohol, Kata KPAI hingga Asosiasi Distributor Minol
Baca juga: Ada Usulan PSBB di DKI Jakarta Dicabut Saja, Epidemiolog UI: Itu Hanya Usul Emosional
Belum Ada Urgensi untuk Dibahas Lebih Lanjut
Anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Golkar, Nurul Arifin memahami RUU KK memang tengah menjadi perbincangan di tengah masyarakat pada saat ini.
Sebetulnya RUU ini, kata Nurul, sudah diusulkan dari Februari 2020.
Ketika itu Pengusul RUU memberikan pandangan dan alasan mereka mengusulkan RUU tersebut.
Setelah dirundingkan di dalam Rapat Baleg, draft RUU awal mengalami perubahan dan itu yang kemarin dibahas kembali oleh DPR.
"Namun setelah mengalami perubahan draft, saya melihat bahwa RUU masih belum ada urgensinya untuk dibahas lebih lanjut," ujar Nurul kepada Tribun, Sabtu (14/11/2020).
Hal itu sudah disampaikan oleh Nurul Arifin pada Rapat Baleg hari Kamis (12/11/2020) lalu.
Ada beberapa poin digaris bawahi, mengapa RUU KK ini belum diperlukan.
"Yang pertama, RUU ini dianggap terlalu mengatur lingkup privasi keluarga," kata Nurul.
Terutama, menurut Nurul, pada Bab VII draft RUU KK, memuat aturan mengenai Sistem Informasi Ketahanan Keluarga yang di dalamnya memuat ketentuan bahwa Pemerintah akan menyelenggarakan sistem berisi data-data keluarga.
"Dalam data ini, salah satunya memuat data permasalahan keluarga, ini ada pada Pasal 54. Pasal ini membuat Pemerintah betul-betul akan memiliki data-data privat dari setiap keluarga," tutur Nurul.
Yang kedua. Selain Pemerintah, Bab IX dari RUU ini juga membenarkan jika nanti masyarakat dapat ikut campur dalam membangun Ketahanan Keluarga.
Bahkan frasa yang digunakan pada Pasal 57 huruf (1) adalah "Masyarakat memiliki tanggung jawab dan kesempatan yang terbuka untuk berperan dalam Pembangunan Ketahanan Keluarga".
"Perlu dicatat, masyarakat terdiri dari organisasi sosial kemasyarakatan hingga badan usaha," imbuh Nurul.
Baca juga: DPR Bahas Dua RUU Kontroversial Selain RUU Cipta Kerja: Satu RUU Urus Beda Agama dalam Satu Keluarga
Yang ketiga, substansi RUU KK ini sebetulnya sudah tersebar di dalam UU yang saat ini sudah berjalan.
Jika ingin memperkuat peran keluarga, sudah ada UU Perkawinan dan UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
Selain itu, juga sudah ada UU lainnya yang berkaitan seperti RUU Perlindungan Anak.
Tanpa RUU KK, hak-hak tersebut juga sudah tercantum pada UUD 45 Pasal 28Dan terakhir, yang cukup membingungkan, ucap dia, dalam draft RUU juga mengatur ketentuan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan untuk menciptakan “Pekerjaan Ramah Keluarga”.
Pasal 27 huruf (3) bahkan mengatur hak cuti dan hak tunjangan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, dirasa perlu ditelaah lebih lanjut urgensi dari RUU ini. Upaya untuk memperkuat BKKBN merupakan hal yang baik untuk dilakukan.
"Namun untuk betul-betul ikut campur ke hal-hal yang bersifat privat, ada baiknya kita berpikir ulang. Kita ini masyarakat heterogen yang tidak mungkin dapat diseragamkan dalam hal mengatur urusan rumah tangga. Masing-masing keluarga memiliki cara tersendiri untuk mengatur rencananya, jangan digeneralisasi," ucapnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Nurul Arifin: RUU Ketahanan Keluarga Tak Masuk Akal dan Nurul Arifin: RUU Ketahanan Keluarga Belum Ada Urgensinya untuk Dibahas Lebih Lanjut
Penulis: Seno Tri Sulistiyono, Dennis Destryawan