Komnas HAM Pesimis dengan Langkah FPI Bawa Kasus Penembakan 6 Laskar ke Pengadilan Internasional

"Mahkamah Internasional tidak memiliki alasan hukum untuk melaksanakan suatu peradilan atas kasus yang terjadi di wilayah jurisdiksi Indonesia"

Youtube Kompas TV
Mohammad Chairul Anam saat konferensi pers hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kasus penembakan anggota Laskar FPI. 

TRIBUNPALU.COM - Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM) tak yakin pelaporan kematian enam laskar Front Pembela Islam ( FPI) ke International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, sampai pengadilan.

Sebab, Indonesia bukan negara anggota Mahkamah Internasional karena belum meratifikasi Statuta Roma.

"Karena itu, Mahkamah Internasional tidak memiliki alasan hukum untuk melaksanakan suatu peradilan atas kasus yang terjadi di wilayah jurisdiksi Indonesia, sebab Indonesia bukan negara anggota (state party)," ujar Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan tertulis, Senin (25/1/2021).

Adapun pelaporan kasus ini ke Mahkamah Internasional dilakukan Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) atas tewasnya enam laskar FPI yang digawangi Amien Rais dan koleganya.

Pelaporan ini berangkat dari kekecewaannya atas temuan Komnas HAM dalam kasus ini.

Taufan menjelaskan, Mahkamah Internasional lahir sebagai complementary untuk melengkapi sistem hukum domestik negara-negara anggota Statuta Roma.

Ia menyatakan, Mahkamah Internasional bukan peradilan pengganti atas sistem peradilan nasional suatu negara.

Baca juga: Komnas HAM Serahkan Laporan Tewasnya 6 Laskar FPI ke Jokowi: Tak Ada Indikasi Pelanggaran HAM Berat

Baca juga: Wanita yang Berbuat Mesum dengan Oknum Polisi di Ranjang Rumah Sakit Dikabarkan Positif Covid-19

Dengan demikian, Mahkamah Internasional baru akan bekerja bilamana negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi "unable" dan "unwilling".

Sesuai Pasal 17 Ayat (3) Statuta Roma, kondisi "unable" atau dianggap tidak mampu adalah suatu kondisi di mana telah terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional secara menyeluruh ataupun sebagian.

Akibat kegagalan tersebut, sistem peradilan di negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum.

Sementara, "unwilling" atau kondisi tidak bersungguh-sungguh, menurut Pasal 17 Ayat (2) Statuta Roma, adalah kondisi bila negara anggota dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan.

"Jadi, sesuai dengan prinsip primacy, kasus pelanggaran HAM berat tadi mesti melalui proses pengadilan nasional terlebih dahulu, Mahkamah Internasional tidak bisa mengadili kasus tersebut bila peradilan nasional masih atau telah berjalan," kata Taufan.

Ia menegaskan, Mahkamah Internasional tidak dirancang untuk menggantikan peradilan nasional.

Mahkamah Internasional hanya akan bertindak sebagai jaring pengaman apabila sistem peradilan nasional "collapsed" atau secara politis terjadi kompromi dengan kejahatan-kejahatan tersebut sehingga tidak bisa dipercaya sama sekali.

Karena itu, Komnas HAM meyakini pelaporan kematian 6 laskar FPI akan menemui hambatan.

Sebelumnya diberitakan, tim advokasi kematian enam laskar FPI mengklaim telah melaporkan ke Mahkamah Internasional.

Tidak hanya itu, tim advokasi juga telah melaporkan ke Committe Against Torture (CAT) yang bermarkas di Jenewa, Swiss, pada 25 Desember 2020.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Komnas HAM Tak Yakin Laporan Kematian 6 Laskar FPI Sampai ke Pengadilan Internasional"

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved