OPINI
BPJS Kedok Jaminan Sosial Peras Rakyat
Kebijakan iuran BPJS yang naik turun beberapa tahun belakangan ini, seakan memberi angin segar sementara bagi rakyat.
Penulis: Citizen Reporter | Editor: mahyuddin
Ditambah lagi, kebijakan iuran BPJS yang naik turun beberapa tahun belakangan ini, seakan memberi angin segar sementara bagi rakyat.
Dalam Perpres yang dibatalkan MA, pemerintah mengajukan kenaikan menjadi Rp160.000 untuk kelas I dan Rp 42.000 untuk kelas III.
Sementara kelas II tidak ada perubahan. Terlepas dari penjelasan pemerintah, Perpres terbaru tentang kenaikan iuran BPJS kesehatan tetap menyalahi putusan MA karena sesungguhnya alasan MA membatalkan Perpres lama bukan karena masalah besaran nominalnya tapi lebih kepada langkah pemerintah dalam menaikkan iuran BPSJ.
MA melihat alasan pemerintah untuk menaikkan iuran karena adanya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak dapat dibuktikan. Masalah sebenarnya terletak pada buruknya manajemen BPJS secara keseluruhan, sehingga menaikkan iuran tentu bukan solusi yang efektif (https://pshk.or.id/).
Majelis Ulama Indonesia sendiri pada tahun 2015 sendiri pernah menyatakan bahwa BPJS tidak sesuai syariah karena diduga mengandung maysir, riba dan gharar.
Meskipun tahun 2018 Ketua MUI menyatakan BPJS Kesehatan telah siap menjalankan operasionalnya sesuai dengan prinsip syariah, sebagaimana Ijtima Ulama 2015.
Gus Baha, seorang ulama tafsir menyatakan dan menyarankan, pembayaran BPJS Kesehatan harus diniatkan sedekah karena BPJS memiliki potensi gharar (penipuan).
Maka agar tidak jatuh kedalam haram, yang membayar iuran diminta niat hibah, sehingga jika tidak mendapatkan apa-apa tidak mengeluh.
Kembali ke pembahasan awal terkait kebijakan, penerapan peraturan ini dapat dinilai tidak berdasar dan tidak mengenal urgensi keharusan untuk segera dilaksanakan.
Dari segi kebutuhan tidak ada yang menjadi alasan untuk menyatukan regulasi BPJS dalam pengurusan SIM, SKCK hingga jual beli tanah.
Bahkan kebijakan ini, terkesan memaksa rakyat untuk mengikuti dan tunduk dengan sistem administrasi agar semua rakyat menjadi peserta BPJS yang ujungnya-tentunya melaksanakan iuran bulanan.
Lantas jika demikian, apa bedanya sistem jaminan kesehatan nasional yang diatur negara dengan sistem asuransi buatan swasta ?
Selain kebijakan penyatuan pengurusan admnistrasi dengan BPJS, permasalahan lain yang bisa ditelisik hari ini yakni aturan baru program JHT oleh BPJS-TK yang boleh dicairkan ketika berusia 56 tahun, serta akan diberlakukannya kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang awalnya 10% menjadi 11%.
Benang merah dari ketiga kebijakan ini berujung pada pembebanan kepada rakyat untuk membayar kesejahteraan yang seharusnya ditanggung oleh negara, tetapi karena negara berlepas tangan akan kewajiban itu, maka secara tidak langsung rakyatlah yang kembali lagi harus turun tangan meghidupi diri.
German Technichal Cooperation (GTZ), LSM yang berperan aktif menjembatani lahirnya JKN menyebutkan, Ide dasar jaminan kesehatan sosial adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari pemerintah kepada institusi yang memiliki kemampuan tinggi, untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial (sjsn.meskokesra.go.id).