Bukan karena Ada yang Ditutupi, Ini yang Ditakutkan Polisi Jika Keluarga Lihat Jenazah Brigadir J

Akhirnya terungkap alasan polisi melarang keluarga membuka peti jenazah untuk melihat kondisi jenazah Brigadir J.

handover
Brigadir J anggota kepolisian dari Jambi tewas ditembak di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, di Kompleks Polri Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (8/7/2022) sekira pukul 17.00 WIB. Akhirnya terungkap alasan polisi melarang keluarga membuka peti jenazah untuk melihat kondisi jenazah Brigadir J. 

TRIBUNPALU.COM - Akhirnya terungkap alasan polisi melarang keluarga membuka peti jenazah untuk melihat kondisi jenazah Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Diketahui Brigadir J tewas setelah terlibat baku tembak dengan Bharada E.

Peristiwa baku tembak terjadi di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.

Dugaan pelecehan oleh Brigadir J ke istri Irjen Ferdy Sambo, dikatakan polisi menjadi penyebab awal adu tembak.

Baca juga: Ide Farhat Abbas agar Kasus Kematian Brigadir J Cepat Terbongkar: Jokowi Bikin Sayembara Hadiah 5 M

Baca juga: Kondisi Jenazah Brigadir J saat di Rumah Duka Bikin Miris Mahfud MD, Nilai Ada 3 Kejanggalan: Tragis

Lalu mengapa polisi sempat melarang keluarga melihat kondisi jenazah Brigadir J, saat jenazah diserahkan polisi ke keluarga yang tinggal di Jambi?

Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menyatakan setiap orang memiliki ambang toleransinya masing-masing terhadap peristiwa traumatis.

"Ada yang rendah, ada yang tinggi. Trauma juga tidak hanya akibat ekspos langsung terhadap kejadian yang tidak menyenangkan," katanya kepada Wartakotalive.com, Sabtu (16/7/2022) malam.

Psikologi kata Reza mengenal istilah vicarious trauma. Vicarious trauma adalah trauma yang muncul dari sebatas pengamatan, bukan pengalaman langsung.

"Ketika seseorang mengalami vicarious trauma, guncangan yang ia rasakan bisa sama dengan orang-orang yang mengalami trauma langsung. Dampaknya pun luas, yakni fisik, psikis, dan sosial," kata Reza.

Dengan dasar teoretis tersebut, inisiatif personel kepolisian 'melarang' pihak mana pun melihat apalagi memotret jenazah bisa dipahami sebagai langkah konstruktif.

"Hal tersebut barangkali disikapi negatif oleh pihak yang ingin melihat jenazah. Namun 'pelarangan' itu bermanfaat agar pihak tersebut tidak menderita trauma juga pasca melihat jenazah (vicarious trauma),"ujar Reza.

Sebab kata dia jika bertambah pihak yang menderita trauma, baik trauma langsung maupun vicarious trauma, maka bertambah pula 'beban' yang harus diatasi.

"Dan, tidak bisa dipungkiri, personel Polri secara umum tidak terlatih untuk mendampingi individu-individu yang terguncang apalagi menderita trauma, termasuk vicarious trauma," kata Reza.

Sebaliknya, kata Reza, serta-merta membolehkan pihak mana pun melihat tubuh yang tidak lagi bernyawa, kendati terkesan tidak sensitif, namun itulah langkah penuh empati (sekaligus jujur akan keterbatasan dirinya) yang sudah sepatutnya personel ambil.

"Ketika jenazah 'dinilai' oleh mata awam, keakuratannya juga sangat mungkin berbeda dengan mata profesional yang terlatih untuk itu. Dan ketika foto jenazah tersebar lalu dikomentari secara keliru oleh mereka yang bukan ahlinya, komentar-komentar itu bisa memunculkan imajinasi yang tak terkendali. Imajinasi sedemikian rupa akan melipat-gandakan risiko vicarious trauma," paparnya.

Halaman
12
Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved