Morut Hari Ini

Eks Sekretaris BUMN Sebut Bentrok di PT GNI Puncak Ketidakadilan Perusahaan Tambang

Keempat korban jiwa itu dampak dari dua kecelakaan kerja berbeda dalam kurun waktu dua bulan.

Editor: mahyuddin
handover/Polda Sulteng
PT Gunbuster Nickel Industri (GNI) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah, memulai kegiatan operasional pascabentrok antarpekerja. 

TRIBUNPALU.COM, MORUT - Tercatat empat korban jiwa dalam kecelakaan kerja di PT Gunbuster Nickel Industri (GNI), Morowali Utara, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Keempat korban jiwa itu dampak dari dua kecelakaan kerja berbeda dalam kurun waktu dua bulan.

Pertama, kebakaran smelter menewaskan Nirwana Selle dan I Made Defri Hari Jonathan.

Kedua kericuhan antarpekerja menewaskan seorang Tenaga Kerja asing dan lokal.

Kedua peristiwa itu adalah satu dari sekian kecelakaan kerja yang terekspos ke publik.

Eks Sekretaris BUMN Muhammad Said Didu menyatakan, kerusuhan antarpekerja di PT PT GNI Morowali Utara merupakan puncak letusan dari ketidakadilan yang berlangsung di Perusahaan Tambang.

Baca juga: Demo di DPRD Sulteng, Solidaritas Buruh PT GNI Morut Pertanyakan soal K3

Menurut dia, ketidakadilan yang dialami pekerja industri tambang telah terjadi selama berangsur-angsur.

Sedangkan tingkat ketidakadilannya itu sendiri terbilang cukup tinggi.

"Kerusuhan di sana, saya tidak yakin itu bisa dihentikan, karena itu adalah api dalam sekam karena ketidakadilan yang sangat tinggi," katanya  dikutip dari kanal Youtube MSD, Rabu (1//2/2023).

Ketidakadilan yang berlangsung mulai berlangsung dari titik pusat.

Kebijakan pusat membuat pengusaha asing terbebas dari pajak sehingga banyak mesin-mesin dari negaranya yang masuk tanpa diaudit.

Tak hanya mesin, mereka juga bebas memasukkan tenaga kerja asing (TKA) ke industri tambang dalam negeri.

Minimnya pengawasan terhadap masuknya TKA membuat Tenaga Kerja Indonesia (TKI) makin terpinggirkan.

"Misalnya, ketika mereka membutuhkan insinyur. Apakah tidak ada insinyur dari Indonesia yang mampu mengerjakannya? Baru TKA diizinkan masuk," ujar dia.

Baca juga: Solidaritas Buruh PT GNI Morowali Utara Geruduk Kantor DPRD Sulteng, Tuntut Pemerataan Upah

Terlebih, pemerintah pusat juga menghapus kebijakan wajib berbasa Indonesia.

Alih-alih TKA yang menyesuaikan diri dengan kultur Indonesia, Said melihat justru TKI yang dipaksa untuk beradaptasi dengan kultur asing.

"Terlalu banyak 'karpet merah'. Mulai dari 'karpet merah' aturan investasi, 'karpet merah' tenaga kerja, 'karpet merah' perlakuan kepada orang asing. Menurut saya, ini membikin sakit hati kita semua," ungkap Said.(*)

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved