Ferdy Sambo Divonis Mati, Keluarga Tak Menyangka: Kasihan Sekali

Vonis mati yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo membuat pihak keluarga merasa syok.

Handover
Vonis mati yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo membuat pihak keluarga merasa syok. 

TRIBUNPALU.COM - Vonis mati yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo membuat pihak keluarga merasa syok.

Keluarga tak menyangka, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bakal menjatuhkan hukuman maksimal kepada Ferdy Sambo.

Mereka bahkan sempat mengira, Ferdy Sambo dijatuhi hukuman lebih ringan dari tuntutan jaksa.

"Jangankan mewakili keluarga besar, teman kita aja pasti syok. Anda punya teman kemudian teman Anda itu punya teman lagi kemudian pasti shock karena ada korelasinya," ujar perwakilan keluarga yang enggan disebutkan namanya itu saat ditemui seusai persidangan di PN Jakarta Selatan pada Senin (13/2/2023).

Baca juga: Dijatuhi Hukuman Berat, Pakar Minta Ferdy Sambo dan Putri Dijaga Ketat, Ini Alasannya

Menurutnya, vonis hukuman mati tersebut dinilai bertentangan dengan banyak pendapat pakar hukum.

"Saya pikir tadinya hukuman seumur hidup atau 20 tahun tapi kan kasihan sekali sedangkan kita dengar juga banyak pakar hukum berpendapat kan tidak harus hukuman mati," jelasnya.

Namun begitu, pihak keluarga Ferdy Sambo menyerahkan putusan terhadap majelis hakim lantaran hakim merupakan tangan Tuhan.

Menurutnya, pihak keluarga Ferdy Sambo bisa saja mengambil langkah-langkah hukum lainnya berupa banding terkait vonis hukum mati tersebut.

"Namun ini kan peradilan pertama dan dengan peradilan pertama ini kita nggak tahu seperti apa nanti kalau banding apakah dibanding dikasih tetap kita juga nggak tahu," jelasnya.

Lebih lanjut, pihak keluarga Sambo menyatakan bahwa sejatinya tuntutan yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yaitu penjara seumur hidup telah berat.

"Kalau kita mau membangun konstruksi daripada kasus ini kan perlu juga kita runut makanya saya berpikir kalaupun Jaksa memberi seumur hidup saya pikir itu sudah cukup berat. Seumur hidup itu bukan hal yang singkat menghabiskan umur kita itu bukan hal yang pendek," katanya.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis mati terhadap eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.

Ferdy Sambo dinilai hakim terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J di rumah dinasnya, Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada 8 Juli 2022 lalu.

Vonis mati terhadap Ferdy Sambo diketahui lebih berat dari tuntutan jaksa yang hanya menuntunya dengan penjara seumur hidup.

"Menyatakan, mengadili terdakwa Ferdy Sambo SH. SiK MH, dipidana mati," kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Jakarta Selatan Wahyu Iman Santoso dalam persidangan, Senin (13/2/2023).

Lebih lanjut, Hakim menyatakan perbuatan terdakwa Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana turut serta merampas nyawa seseorang dengan perencanaan terlebih dahulu sebagaimana yang didakwakan.

"Menyatakan terdakwa Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak merusak sistem informasi sehingga tidak bekerja semestinya," kata hakim Wahyu Iman santoso.

Dalam putusannya majelis hakim menyatakan, Ferdy Sambo bersalah melanggar Pasal 340 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan primer dari jaksa penuntut umum (JPU).

Tak hanya itu, Ferdy Sambo juga dinyatakan bersalah melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dalam kasus dugaan perintangan penyidikan atau obstraction of justice tewasnya Brigadir J.

Berikut sejumlah fakta hukum yang membuat Ferdy Sambo dijatuhi vonis mati:

Motif Pembunuhan Bukan Pelecehan, Tapi Sakit Hati

Dalam putusannya, hakim mengesampingkan alasan pelecehan seksual yang disebut sebelumnya disebut dilakukan Brigadir J terhadap Putri Candrawathi.

"Sehingga terhadap adanya alasan demikian (pelecehan seksual) patut dikesampingkan," kata hakim Wahyu.

Wahyu menerangkan dalam kasus ini, pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi tidak bisa dibuktikan secara hukum.

"Dengan demikian motif adanya kekerasan seksual yang dilakukan oleh korban Nofriansyah Yosua Hutabarat terhadap Putri Candrawathi tidak dapat dibuktikan menurut hukum," ucapnya.

Wahyu meyakini motif dalam kasus ini karena adanya perasaan sakit hati Putri Candrawathi atas sikap atau perbuatan Brigadir J.

"Sehingga motif yang lebih tepat menurut majelis hakim adanya perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat, di mana perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat tersebut yang menimbulkan perasaan sakit hati yang begitu mendalam terhadap Putri Candrswathi," tuturnya.

Hakim pun menilai ada upaya pembenaran terhadap pembunuhan Brigadir J lewat dalil kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi.

Hakim Wahyu Iman Santoso menyampaikan pembenaran tersebut dilakukan melalui rekomendasi hasil psikologis forensik terhadap Putri Candrawathi dan para terdakwa.

"Seolah-olah kekerasan seksual merupakan tindakan pembenaran atas perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa terhadap almarhum Nofriansyah Yosua Hutabarat," ujar Hakim Wahyu.

Padahal, kata Wahyu, tindak pidana kekerasan seksual itu sendiri tidak memiliki bukti fisik yang nyata seperti rekam medis.

Menurutnya, hasil rekomendasi psikologis forensik juga tak ada satu pun yang menunjukkan kondisi psikologis dari keluarga Brigadir J.

"Tidak ada satu pun rekomendasi kondisi psikologis terhadap keluarga korban. Padahal, mereka juga ikut diteliti dan diperiksa oleh psikologis forensik tersebut. Dan keluarga korban belum bisa meninggalkan kesedihan atas meninggalnya almarhum Nofriansyah Yosua Hutabarat," jelasnya.

Karena itu, Wahyu menyampaikan bahwa hasil psikologis forensik tersebut patut untuk dikesampingkan dalam persidangan pembunuhan Brigadir J.

"Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, maka hasil pemeriksaan psikologis forensik patut dikesampingkan," jelasnya.

Selain itu, Hakim pun mengatakan berdasarkan hasil tes poligraf terhadap Putri Candrawathi, yang bersangkutan mendapat hasil minus 25 atau terindikasi berbohong atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

"Hasil ahli poligraf Putri Candrawathi mendapat nilai minus 25 atau terindikasi berbohong terhadap pertanyaan yang diajukan kepadanya," kata hakim di persidangan.(*)


(TribunPalu.com/Tribun-Medan.com)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved