3 Operator IMIP Terjebak Longsor

Yayasan Tanah Merdeka Desak Pemerintah Evaluasi Izin Penyimpanan Tailing  PT IMIP Morowali

Tailing diketahui merupakan limbah beracun yang merupakan produk sampingan (by products) dari proses pengolahan nikel dengan teknologi HPAL.

|
Editor: mahyuddin
HANDOVER
Sedikitnya tiga operator alat berat tertimbun dalam tumpukan lumpur limbah ore alias sleg di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Ketiga operator alat berat jenis eksavator itu tenggelam saat bekerja di Lokasi IMIP 8. 

TRIBUNPALU.COM, MOROWALI - Yayasan Tanah Merdeka menilai, kasus empat operator alat berat yang tertimbun longsor di area Fasilitas Penyimpanan Tailing PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, adalah kecelakaan kerja.

Dalam insiden itu, tiga operator PT Morowali Investasi Konstruksi Indonesia (MIKI) tertimbun longsor dan dalam pencarian, Irfan Tandi, Akbar dan Demianus.

Operator bernama Demianus ditemukan, Minggu (23/3/2025) malam.

PT MIKI diketahui adalah mitra PT QMB New Energy Materials yakni perusahaan penanaman modal asing (PMA) asal Tiongkok di IMIP. 

Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka  Richard Labiro menyebutkan, kecelakaan kerja tersebut dalam insiden itu berkaitan dengan pengelolaan Fasilitas Penyimpanan Tailing PT IMIP, yang saat ini digunakan PT Huayue Nickel Cobalt dan PT QMB New Energy Materials.

Baik Huayue Nickel Cobalt dan QMB New Energy Materialis adalah dua perusahaan penghasil mixed hydroxide precipitate yang merupakan bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik.

Baca juga: Breaking News: 3 Operator Alat Berat Tenggelam di Kawasan Limbah Sleg IMIP Morowali

Tailing diketahui merupakan limbah beracun yang merupakan produk sampingan (by products) dari proses pengolahan nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) untuk menghasilkan MHP.  

Diperkirakan setiap ton logam nikel yang diproduksi melalui teknologi HPAL akan menghasilkan 100 ton tailing.

Peraturan pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengelompokan tailing sebagai Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) Spesifik Khusus dengan kategori bahaya 2 (dua) yang dianggap memiliki toksisitas kronis dan berjangka panjang terkait dampak terhadap manusia dan lingkungan hidup.

Oleh karena itu, tailing harus diolah sebagai limbah B3.

"Kami menganggap bahwa pengelolaan tailing menggunakan metode Fasilitas Penyimpanan Tailing di tanah mengandung resiko sangat besar dan berbahaya di daerah dengan tingkat curah hujan tinggi seperti di Kabupaten Morowali," kata Richard melalui rilisnya, Senin (24/3/2025).

Tailing dalam bentuk bubur tanah dengan kandungan air sekitar 30 persen yang disimpan di Fasilitas Penyimpanan Tailing akan berubah menjadi lumpur ketika curah hujan tinggi. 

Curah hujan tinggi mengakibatkan area Fasilitas Penyimpanan Tailing yang menampung belasan juta ton tailing rentan terhadap bencana longsor.

Peristiwa longsor di area milik PT QMB New Energy Materials yang memakan korban jiwa membuktikan bahwa pengelolaan tailing menggunakan metode Fasilitas Penyimpanan Tailing di daerah dengan curah hujan tinggi sangat beresiko terhadap bencana longsor.  

Apalagi, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Morowali (2019-2039) menyebut Kecamatan Bahodopi, lokasi PT IMIP beroperasi, adalah “kawasan rawan bencana” gempa bumi, tanah longsor, dan banjir.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved