OPINI
Piagam Kemandirian Bangsa, Jalan Indonesia Menuju Ekonomi Berdaulat dan Berkeadilan
Jawaban atas tantangan ini bukanlah sekadar reformasi kebijakan, tetapi transformasi arah pembangunan nasional.
Andika
Sekretaris DPW Partai Gema Bangsa Sulawesi Tengah
TRIBUNPALU.COM - Di tengah derasnya arus globalisasi dan ketergantungan ekonomi internasional, Indonesia dihadapkan pada pilihan yang genting, yakni menjadi bangsa produsen atau terus menjadi bangsa konsumen.
Realitas hari ini menunjukkan bahwa sektor pangan Indonesia masih bergantung pada impor, industri strategis yang dikuasai investor asing, dan UMKM terhimpit oleh dominasi platform digital raksasa dari luar negeri.
Jawaban atas tantangan ini bukanlah sekadar reformasi kebijakan, tetapi transformasi arah pembangunan nasional.
Inilah yang menjadi dasar perlunya disusun Piagam Kemandirian Bangsa, sebuah kerangka programatik untuk membangkitkan ekonomi Indonesia berdasarkan prinsip kedaulatan, keadilan sosial, dan kekuatan rakyat.
Kembali ke Pasal 33
Indonesia sesungguhnya telah memiliki fondasi konstitusional yang kokoh melalui Pasal 33 UUD 1945.
Dalam pasal ini ditegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Sayangnya, pasal ini telah lama ditafsirkan secara sempit dan bahkan dikerdilkan sistem ekonomi liberal yang memberi ruang seluas-luasnya pada mekanisme pasar bebas.
Piagam Kemandirian Bangsa mengembalikan semangat pasal ini ke relnya: negara harus hadir secara aktif dan berpihak dalam ekonomi.
Negara bukan hanya fasilitator, melainkan pemimpin arah pembangunan.
Negara bukan menyerahkan sektor strategis ke pasar, melainkan mengawalnya demi kesejahteraan publik.
Presiden Prabowo dan Kemandirian Nasional
Visi ini sejalan dengan arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya ketahanan pangan, energi, dan pertahanan sebagai fondasi kemandirian bangsa.
Dalam berbagai pidatonya, Prabowo dengan lugas mengatakan, "Bangsa yang tidak mampu memberi makan dirinya sendiri, tidak bisa disebut bangsa merdeka.”
Piagam ini mengambil roh dari pernyataan itu.
Ia mengusung agenda swasembada pangan, energi berbasis sumber dalam negeri, dan penguasaan teknologi strategis oleh putra-putri bangsa.
Kemandirian bukan semata jargon, tetapi harus diwujudkan dalam investasi yang berpihak, anggaran yang adil, dan regulasi yang memberi ruang bagi anak bangsa untuk membangun negeri sendiri.
Membangun dari Akar: Koperasi Sejati dan Ekonomi Rakyat
Bung Hatta telah lama menanamkan gagasan bahwa koperasi adalah bentuk asli dari ekonomi Indonesia.
Namun koperasi hari ini telah terdegradasi menjadi sekadar lembaga simpan pinjam.
Piagam Kemandirian Bangsa menghidupkan kembali koperasi sejati sebagai alat produksi, distribusi, dan konsumsi rakyat—berbasis gotong royong, demokrasi ekonomi, dan kesejahteraan bersama.
Koperasi petani, nelayan, pekerja informal, dan digital harus menjadi motor ekonomi desa dan kota.
Ia bukan pelengkap, tetapi tulang punggung.
Kami percaya bahwa pemberdayaan ekonomi rakyat bukan hasil belas kasihan negara, tetapi hak konstitusional yang harus dilindungi dan dikuatkan.
Otonomi Berbasis Keunggulan Wilayah
Kemandirian ekonomi tidak dapat dipaksakan seragam dari Jakarta ke Papua.
Tiap wilayah memiliki keunikan yang harus menjadi basis perencanaan dan pemberdayaan.
Inilah yang disebut otonomi berdasar keunggulan wilayah.
Kami membayangkan Papua sebagai pusat protein tropis, Kalimantan sebagai pusat agroindustri hijau, Sulawesi sebagai gerbang rempah, industri berat, dan hasil-hasil laut.
Jawa Tengah sebagai jantung industri kreatif berbasis budaya dan Jawa Timur sebagai pusat industri garmen misalnya.
Desentralisasi bukan hanya soal kewenangan administratif, tetapi tentang membangkitkan kapasitas lokal, mendorong kepemimpinan daerah yang visioner, dan membangun kemandirian dari bawah ke atas.
Penutup: Jalan Panjang Menuju Indonesia Berdaulat
Piagam Kemandirian Bangsa bukan mimpi kosong. Ia lahir dari keresahan, kajian, dan semangat zaman.
Ia menjawab krisis global dengan kekuatan internal. Ia menolak ketergantungan dengan membangun daya tahan.
Ia mengembalikan ekonomi Indonesia ke tangan rakyatnya sendiri.
Kita tidak bisa terus-menerus bangga sebagai bangsa besar jika ekonomi kita dikuasai asing, pangan kita diimpor, dan anak muda kita bekerja sebagai buruh digital tanpa jaminan.
Kemandirian adalah harga diri.
Dan bangsa yang memiliki harga diri, adalah bangsa yang akan bertahan dan memimpin di abad 21.
Indonesia bisa. Dan sekaranglah saatnya.(*)
Simbol Global, Semangat Lokal: Refleksi Nasionalisme Lewat One Piece |
![]() |
---|
Dunia Penyiaran dan Gerak Cepat Zaman, Refleksi untuk KPID Sulteng |
![]() |
---|
Menyuarakan Sulawesi Tengah di Era Tanpa Batas |
![]() |
---|
OPINI: Nilai-Nilai Ulil Albab sebagai Paradigma Baru Administrasi Publik Islami |
![]() |
---|
Membaca Kembali Manifesto Megawati: Refleksi atas Demokrasi yang Terluka |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.