Kolaborasi Apik Angkat Air di Gua Suruh, Putus Kekeringan dan Tingkatkan Kesejahteraan Desa Pucung

Air dari Gua Suruh kini tercatat menghidupi 442 KK (kepala keluarga) atau sekitar 4 ribuan warga yang berada di enam dusun di Desa Pucung.

|
Penulis: Imam Saputro | Editor: Imam Saputro
KMPA Giri Bahama/Joko Sulistyo
Warga gotong royong mengangkut material ke area mulut Gua Suruh dalam upaya pengangkatan air di Gua Suruh pada 2012. 

TRIBUNNEWS.COM, WONOGIRI -  Kokok ayam jantan pertama dini hari bulan Agustus 1980an seakan jadi tanda alam, pengingat bagi warga Desa Pucung, Wonogiri untuk bergegas mengambil air.

Berbekal wadah seadanya dan obor bambu sebagai alat penerangan, puluhan warga mulai berjalan menyongsong matahari di ufuk timur.

Satu di antaranya Suyadi, tanpa menunggu terang pagi, ia dan warga Desa Pucung kompak berjalan ke arah timur Desa Pucung, tujuannya ke Dusun Suko atau Dusun Tejo.

Arak-arakan obor berbahan bakar minyak tanah sudah menjadi pemandangan biasa setiap musim kering tiba.

“Biasanya jam 3 pagi sudah mulai jalan ke Desa Suko atau Desa Tejo, ramai-ramai, jadi seperti ada barisan obor panjang ke arah timur tiap pagi,” cerita Suyadi mengenang perjuangan mengambil air yang sudah dilakukannya sejak tahun 80an ini kepada Tribunnews.com beberapa waktu lalu.

Lazimnya, para lelaki membawa dua blek (kaleng minyak) dengan cara dipikul sedangkan perempuan membawa tempayan air yang dibawa dengan cara disunggi atau digendong.

Tujuannya sama, mengambil air di Desa Tejo atau Suko untuk kebutuhan domestik sehari-hari.

“Kami menyebutnya, ngangsu atau mengambil air, bisa di belik (mata air) atau sumur di Desa Tejo atau Suko yang masih mengeluarkan air,” kenang Suyadi.

Tahun 80an, sepeda kayuh masih menjadi barang mewah di Desa Pucung, apalagi sepeda motor, sehingga aktivitas mengambil air itu dilakukan dengan cara berjalan kaki beramai-ramai.

Perjalanan melalui jalan berbatu dan berdebu dilakoni Suyadi dan penduduk Desa Pucung sebelum sinar matahari menerangi.

Ngangsu itu harus pagi, sebelum subuh, karena kalau sudah terang atau jam 5an, air sudah habis, tidak kebagian,” kata Suyadi menambahkan.

Kondisi desa berbukit-bukit juga memaksa warga untuk mengeluarkan tenaga lebih.

"Kalau pas berangkat banyak nanjaknya, pas pulang turun, tapi memikul air di jalan turunan malah lebih capek," kenang Suyadi.

“Sekitar 4 sampai 5 kilometer harus jalan untuk mengambil air, itu baru pagi, belum sore harinya."

Suyadi mengatakan keterbatasan tenaga dan alat membuat air yang diambil hanya cukup untuk minum, memasak dan mandi ala kadarnya untuk satu keluarga saja.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved