Parigi Moutong Hari Ini

Di Balik Sunyinya Rumah Papan Pak Peta di Parigi Moutong: Harapan Akan Rumah Layak dan Listrik

Sekilas tampak tenang, tapi sesungguhnya, rumah itu menyimpan kesunyian yang dalam sejak kepergian istrinya delapan bulan lalu.

|
Penulis: Abdul Humul Faaiz | Editor: Fadhila Amalia
Faaiz/TribunPalu
Peta (45) warga Desa Toboli Barat, Parimo, berdiri di pintu rumahnya yang sederhana berdinding paoan beratapkan rumbia. 

Laporan Wartawan TribunPalu.com, Abdul Humul Faaiz

TRIBUNPALU.COM, PARIMO - Suara ayam hutan kadang terdengar dari kejauhan.

Angin pagi meniup pelan daun kelapa yang tumbuh lebat di sekitar pekarangan.

Di sinilah, di sebuah rumah berdinding papan kasar dan beratap daun rumbia, Pak Peta (47) menjalani hari-harinya sendirian.

Rumah itu berdiri di atas tanah milik pribadi di Desa Toboli Barat, Kecamatan Parigi Utara, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.

Letaknya agak terpencil, dengan tetangga terdekat berjarak sekitar 20 meter.

Baca juga: Menkes RI: 6 Ribu Bayi Meninggal Setiap Tahunnya Akibat Kelainan Jantung Bawaan

Sekilas tampak tenang, tapi sesungguhnya, rumah itu menyimpan kesunyian yang dalam sejak kepergian istrinya delapan bulan lalu.

Dulu, Peta tinggal bertiga bersama istri dan anak peremouan serta memantunya.

Namun, tukan punya rencana lain dan memanggil sang istri untuk kembali. Sang istri sakit sekira delapan bulan silam.

"Anak saya sekarang ikut suaminya tinggal di tempat lain,” kata Peta sambil duduk di bangku kayu di depan rumahnya yang kecil.

Bangunan rumah Peta lebih menyerupai pondok darurat. Dindingnya terbuat dari papan tak berlantai.

Dindingnya terbuat dari papan tak berlapis, banyak celah yang membiarkan angin dan debu masuk.

Atapnya, dari daun rumbia yang sudah mulai rapuh. Juga lantainya masih tanah, lembab dan kerap tergenang ketika hujan datang.

Masuk ke bagian dalam rumah, kesan darurat makin terasa.

Dapur hanya ada tungku sederhana dari semen dan beberapa kayu bakar yang disusun seadanya.

Panci dan wajan tampak menghitam, penuh jelaga. Tak ada gas, apalagi kompor listrik.

“Kalau mau masak, saya cari kayu dulu. Kadang hujan, kayunya basah, tidak bisa menyala, ujarnya.

Dulu, ia menumpang sambungan listrik dari tetangganya untuk menyalakan dua lampu kecil.

Ia harus membayar Rp10.000 per lampu per bulan. Karena Peta menggunakan dua mata lamou, jadi total Rp20.000.

Namun beberapa waktu lalu, aliran itu diputus karena daya listrik tetangganya tidak mampu menampung.

“Saya maklum, tidak bisa paksa juga. Sekarang ya gelap. Pakai senter atau lampu minyak saja kalau ada,” tuturnya pasrah.

Peta bekerja sebagai buruh serabutan. Kadang ikut panen di kebun orang, kadang masuk hutan untuk mencari rotan.

Penghasilan tidak menentu, tergantung siapa yang butuh tenaganya.

Untuk mencukupi kebutuhan makan, ia menerima  Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dari Kementerian Sosial, berupa sembako yang bisa diambil di kantor pos setiap tiga bulan sekali.

Bantuan itulah yang menjadi penopang utamanya saat tak ada pekerjaan.

“Kalau tidak ada kerja, ya makan seadanya. Kadang singkong, kadang nasi sisa. Sudah biasa begini,” ucapnya.

Sebelumnya, Peta tinggal menumpang di tanah milik orang bersama istri dan anak.

Namun, untuk bisa diusulkan ke program bedah rumah, syaratnya harus memiliki tanah sendiri.

Itulah Sebabnya ia pindah dan membangun rumah seadanya di lahan miliknya.

Baca juga: Minta Rekaman Diputar, Nikita Mirzani Adu Mulut dengan Jaksa di Ruang Sidang

Jarak rumah lama dan rumah sekarang sekitar 40 meter. Dulu ramai, sekarang sunyi.

“Saya bangun rumah sendiri pakai papan bekas, atap rumbia. Karena kalau tunggu rumah jadi dari bantuan, belum tahu kapan,” katanya.

Kini, Peta hanya berharap ada perhatian dari pemerintah atau siapa pun yang tergerak hatinya.

Ia ingin memiliki rumah yang lebih layak. Bukan mewah, cukup aman dari hujan dan panas, serta memiliki listrik sendiri agar malam-malamnya tak selalu dalam gelap.

Kondisi seperti yang dialami Peta bukan hal yang langka di desa.

Banyak warga dengan keterbatasan ekonomi terpaksa membangun tempat tinggal ala kadarnya demi memenuhi syarat program bantuan.

Baca juga: Gangguan Kamtibmas di Donggala Menurun, Polres Catat Hanya 12 Kasus dalam Sepekan

Namun tak semuanya seberuntung itu. Bahkan, untuk diterima dalam daftar penerima bantuan pun masih harus melewati proses panjang dan seleksi administratif.

Meski hidup dalam keterbatasan, Peta tidak pernah mengeluh.

Ia tetap menyapu halaman setiap pagi, membersihkan dapurnya sendiri, dan sesekali menanam sayur di pekarangan.

Ia hanya ingin hidup tenang dan mandiri.

“Saya cuma mau ada listrik, biar malam tidak gelap. Dan rumah yang tidak bocor kalau hujan. Itu saja sudah cukup,” pungkasnya.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved