Palu Hari Ini

Sosiolog Untad Nilai PETI di PT CPM Bermata Dua : Positif Dan Negatif

Sebagai sosiolog, ia menilai adanya kawasan PETI melahirkan perubahan sosial di masyarakat.

Penulis: Supriyanto | Editor: Regina Goldie
SUPRIYANTO/TRIBUNPALU.COM
Dosen Sosiologi, Moh Nutfa memberikan pandangan terkait aktivitas PETI yang makin marak di kawasan PT CPM. 

Laporan Wartawan TribunPalu.com, Supriyanto Ucok

TRIBUNPALU.COM, PALU - Dosen Sosiologi, Moh Nutfa memberikan pandangan terkait aktivitas PETI yang makin marak di kawasan PT CPM.

Kabar mengenai maraknya aktivitas pertambangan emas yang tidak memiliki izin resmi (PETI) sesungguhnya sudah banyak di muat di berita-berita lokal. 

Sebagai sosiolog, ia menilai adanya kawasan PETI melahirkan perubahan sosial di masyarakat.

Perubahan sosial tentu bermata dua, yaitu bersifat maju atau memberi dampak positif dan bersifat mundur atau berdampak negatif.

Hal itu ia katakan kepada TribunPalu.com di ruang kerjanya Fisip Untad, Jl Sukarno Hatta, Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu.

Baca juga: Gegara Ditagih Utang Rp160 Ribu, Pria di Palu Tikam Warga Jl Hang Tuah

"Dampak positif yang paling konkret seperti pesatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat di kawasan tambang emas dan sekitarnya. Kondisi masyarakat Poboya dan sekitarnya berbeda jauh dengan kondisi 10 sampai 20 tahun lalu, tanah di pegunungan Poboya seakan tak bernilai apa-apa sebelum kawasan tersebut diketahui mengandung logam emas yang bernilai ekonomi tinggi. Perubahan itu dilandasi oleh faktor ekonomi. Tumbuhnya ekonomi berdampak baik pada kesejahteraan sosial bentuk lain seperti tingkat pendidikan, kepemilikan aset rumah, kendaraan, meningkatnya UMKM, dan lain-lain. Hal ini menandai adanya kemajuan gerak perubahan sosial masyarakat," katanya, Jumat (19/9/2025).

"Namun di sisi lain industri pertambangan menyuguhkan perubahan sosial lain yaitu sumber konflik yang dapat dikatakan sebagai dampak negatif. Ketika tanah yang awalnya dianggap sebagai material biasa kemudian menjadi unsur berharga karena terdapat kandungan emasnya, maka dimaknai sebagai sumberdaya alam terbatas. Ketika sumber daya itu terbatas maka terjadi perebutan antar kelompok. Inilah yang kita kenal dengan berbagai istilah yang paling umum di sebut konflik yaitu konflik sumber daya alam, konflik tanah atau perebutan tanah, konflik perebutan kawasan, perebutan lahan/kawasan dan lain lain. Hal ini juga didorong oleh sifat dasar manusia yaitu ingin memiliki, ingin menguasai dan ingin menaklukkan," lanjut Nutfa. 

Baca juga: Penyerapan Anggaran Donggala Terkendala Inpres 1 Tahun 2025, Ini Penjelasan Ketua DPRD

Menurutnya, persoalan perebutan kepemilikan lahan antara PT CPM dengan penambang ilegal (PETI) di Poboya belum berakhir sudah lebih dari satu dekade.

Termasuk antara PT CPM dengan masyarakat lokal yang menganggap dirugikan seperti masalah hak kelola kawasan maupun masalah tumpang tindih kepemilikan lahan.

"Seperti konflik di tahun 2022 dan 2023 ketika PT CPM memperluas ekspansi kawasannya yang membuat semakin sempitnya ruang aktivitas tambang kelompok masyarakat penambang liar (PETI), maupun isu-isu lainnya yang menciptakan ketegangan di wilayah Poboya," ujarnya.

Namun, Nutfa menyebut bahwa konflik ini terjadi ketika kelompok-kelompok yang melakukan protes ataupun tuntutan ke perusahaan PT CPM selalu menggunakan aparat keamanan sebagai bamper depan atas nama keamanan dan ketertiban dibanding bernegosiasi langsung untuk kompromi yang dapat mengakibatkan intimidasi maupun kekerasan terjadi.

"Inilah praktik hegemoni perusaahaan kepada aparat negara yang menjadikan mereka jadikan sebagai alat kekuasaan secara terus-menerus," jelasnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved