Tanggapan Tokoh soal Hukuman Mati Bagi Koruptor, Komnas HAM: Kita Menolak, Bukan Nyawa Dibalas Nyawa
Berikut tanggapan sejumlah tokoh terkait pernyataan Presiden Joko Widodo soal 'hukuman mati bagi para koruptor'.
TRIBUNPALU.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) bisa diterapkan asalkan ada kehendak dari masyarakat.
Menurut Jokowi, hukuman mati bagi koruptor bisa dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Tipikor, melalui revisi.
"Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Pidana Tipikor itu dimasukkan (hukuman mati), juga termasuk (kehendak anggota dewan) yang ada di legislatif ( DPR)," tegas Jokowi di SMK 57, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (9/12/2019).
Ketika ditanya apakah akan ada inisiatif pemerintah untuk merivisi UU Tipikor agar hukuman mati masuk dalam salah satu pasal, Jokowi kembali menyebut itu tergantung dari kehendak masyarakat.
"Ya bisa saja kalau jadi kehendak masyarakat," imbuhnya.
Ternyata pernyataan Jokowi tersebut mendapat banyak respon dari sejumlah tokoh.
Berikut tanggapan sejumlah tokoh terkait 'hukuman mati bagi para koruptor' dirangkum TribunPalu.com dari berbagi sumber:
• Pimpinan KPK Nilai Wacana Hukuman Mati Koruptor Cerita Lama
• Soal Hukuman Mati Bagi Para Koruptor, Ketua DPR: Itu Waring Bagi Kita Semua
1. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, hukuman mati bagi koruptor telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Atas hal tersebut, Kurnia Ramadhana menilai, peryataan Presiden Jokowi soal hukuman mati bagi koruptor keliru besar.
Ia berpendapat hukuman mati bagi koruptor tidak akan menimbulkan efek jera.
"ICW sendiri tidak sependapat dengan konsep hukuman mati, karena masih banyak cara untuk memberikan efek jera pada pelaku korupsi," kata Kurnia Ramadhana saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (10/12/2019).
ICW berpendapat, tindakan yang lebih tapat yakni memiskinkan koruptor dan memberikan vonis penjara semaksimal mungkin dan pencabutan hak politik.
Kurnia pun menyebut, kondisi saat ini menggambarkan pemberian efek jera bagi pelaku korupsi masih sangat jauh dari harapan.
Terlebih, rata-rata vonis pengadilan tipikor pada tahun 2018 lalu hanya menjatuhkan hukuman pidana 2 tahun 5 bulan penjara.
"Pencabutan hak politik pun sama, masih banyak Jaksa ataupun Hakim yang tidak memanfaatkan aturan ini secara maksimal," jelasnya.
Kurnia pun menyebut, isu besar terkait pemberantasan korupsi saat ini bukan tentang pemberian hukuman mati.
Namun, bagaimana negara bisa memastikan masa depan pemberantasan korupsi akan cerah.
"Kami meyakini bahwa hal ini hanya bisa tercapai jika Presiden Joko Widodo menerbitkan PerPPU UU KPK," katanya.
"Sebab, bagaimana mungkin pemberantasan korupsi akan berjalan dengan lancar jika lembaga yang selama ini menjadi leading sector (KPK,red) sudah 'mati suri' sejak UU KPK baru berlaku," jelasnya.
• Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia, Jokowi: Hukuman Mati Bisa Masuk dalam Rancangan Undang-Undang
2. Direktur Amnesty International Usman Hamid
Direktur Amnesty International Usman Hamid menilai pernyataan Presiden Joko Widodo terkait hukuman mati bagi koruptor tidak banyak manfaatnya.
"Pernyataan Jokowi jadi tidak banyak manfaatnya, apalagi ketika kita baru saja menyaksikan pelemahan KPK secara sistematis. Seharusnya prioritas pemerintah adalah memperkuat wewenang KPK kembali," kata Usman Hamid saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (10/12/2019).
Usman Hamid menilai, pernyataan Jokowi hanya ingin memberi kesan bahwa pemerintah bersikap keras terhadap koruptor.
Tetapi pernyataan yang dilontarkan Jokowi berlawanan dengan grasi yang diberikan terhadap terpidana kasus korupsi yang juga mantan Gubernur Riau, Annas Maamun.
"Saya rasa pernyataan itu ingin memberi kesan bahwa pemerintah bersikap keras terhadap koruptor tetapi sayangnya pernyataan itu berlawanan dengan pengurangan hukuman yang baru-baru ini diberikan," kata Usman Hamid.
Usman berpandangan, hukuman mati adalah hukuman kejam yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
"Jadi harus dihapuskan dalam sistem hukum maupun dihentikan dalam praktiknya," kata Usman Hamid.
3. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menolak wacana penerapan hukuman mati terhadap koruptor.
Menurut Taufan, penerapan hukuman mati tidak berkorelasi dengan penurunan tindak pidana atau kejahatan luar biasa.
"Komnas HAM tidak pernah berubah sikapnya, kita menolak hukuman mati," kata Taufan seusai Seminar Nasional '20 Tahun UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM: Refleksi dan Proyeksi' di DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
"Paling tinggi kaitannya bagaimana kita bisa membangun peradaban. Dari sisi pragmatis juga tidak ada bukti statistik bahwa hukuman mati mengurangi tingkat tindak pidana extraordinary crime. Dan itu di seluruh dunia," tambahnya.
Taufan mengatakan, beberapa kali Komnas HAM mengikuti konferensi internasional yang membahas soal penerapan hukuman mati.
Dalam konferensi tersebut, sejumlah peserta mengkampanyekan penghapusan hukuman mati.
Selain itu, kata Taufan, mereka juga memaparkan data statistik terkait penerapan hukuman mati dan jumlah tindak pidana.
Ia menegaskan bahwa dari data tersebut tidak ditemukan korelasi bahwa penerapan hukuman mati dapat menurunkan angka kriminalitas.
"Komnas HAM beberapa kali ikut konferensi internasional, mereka kampanye soal menolak hukuman mati, dan mereka buka statistik secara global kalau nggak ada hubungannya," kata Taufan.
"Kita ajak semua pihak agar bisa membangun nilai peradaban yang lebih tinggi. Bukan kalau ada orang bersalah kita jadi balas dendam, nyawa dibalas nyawa," tutur dia.
4. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) Saut Situmorang menilai wacana hukuman mati ke koruptor merupakan cerita lama yang kerap diungkit.
Saut menegaskan, seharusnya wacana itu tak perlu dikembangkan lagi. Ia menyatakan masih banyak pekerjaan rumah yang lebih substansial untuk diselesaikan dalam pemberantasan korupsi.
Hal itu menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebutkan aturan hukuman mati untuk koruptor bisa saja diterapkan jika memang ada kehendak yang kuat dari masyarakat.
"Ya sebenarnya itu kan cerita lama. Itu kan juga sudah ada di Pasal 2 (dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi)," kata Saut di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Dalam UU Tipikor, Pasal 2 terdiri dari dua ayat. Ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)"
Kemudian, Ayat (2) berbunyi sebagai berikut:
"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan"
Saut memandang kedua ayat dalam Pasal 2 itu saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan.
"Pasal 2 itu dengan keadaan tertentu, kerugian keuangan negara yang sedang chaos dan itu (pidana mati) bisa dilakukan jika memang terjadi pengulangan (korupsi yang menimbulkan kerugian negara). Saya sebenarnya enggak terlalu tertarik bahas itu (wacana hukuman mati)," kata Saut.
Saut memandang seharusnya Indonesia fokus memperkuat penindakan dan pencegahan korupsi.
Khususnya melalui revisi UU Tipikor guna mengikuti dinamika kejahatan korupsi yang terus berkembang seiring zaman.
"UU Tipikornya diganti ke yang lebih baik. Kalau anda bicara soal korupsi itu bukan soal besar kecil, bukan soal bunuh membunuh, bukan soal hukuman mati aja, enggak. Bagaimana kita bisa membawa setiap orang yang bertanggung jawab besar atau kecil ke depan pengadilan," tegas Saut.
"Makanya saya bilang jangan terlalu main di retorika-retorika semacam itulah. Mainlah yang membuat Indonesia lebih suistainable berubah secara substansi," lanjut dia.
Misalnya, kata Saut, Indonesia harus memperkuat program pencegahan korupsi ke para pelajar dan guru dengan memerhatikan hal-hal kecil yang menimbulkan bibit korupsi.
"Contoh, guru kalau enggak dikasih hadiah sama muridnya di akhir atau awal tahun ajaran, kadang gimana gitu. Itu yang saya pikir hal semacam itu di masa depan. Setelah kita enggak ada, kan yang menjadi pemimpin anak-anak kita itu. Kalau sudah terbiasa memberi sesuatu ke guru, ya gimana dong?" ujarnya.
Ia mengingatkan, negara-negara besar saat ini tak terlalu fokus pada menjatuhkan hukuman mati ke koruptor, melainkan pada pengembangan program-program pencegahan.
"Saya enggak tertarik soal hukuman mati itu. Karena dari sisi pencegahan negara besar mulai mendidik rakyatnya dari hal kecil. Mereka mendidik anaknya ketika menemukan dompet orang lain, cari alamatnya antar ke rumahnya. Dari sesederhana itu loh. Jadi jangan terlalu masuk ke retorika itu (wacana hukuman mati)," ungkap Saut.
(TribunPalu.com/Tribunnews.com/Kompas.com)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/palu/foto/bank/originals/ilustrasi-hukuman-mati.jpg)