Terkini Internasional

Donald Trump Lolos Pemakzulan; Enggan Jabat Tangan Ketua DPR AS dan Aksi Pelosi Robek Teks Pidatonya

Situasi panas saat Donald Trump lolos dari pemakzulan; kecewa dengan hasilnya, Ketua DPR AS terang-terangan robek teks pidato sang Presiden.

metro.co.uk
Situasi panas saat Donald Trump lolos dari pemakzulan; kecewa dengan hasilnya, Ketua DPR AS terang-terangan robek teks pidato sang Presiden. 

TRIBUNPALU.COM - Keputusan Senat Amerika Serikat (AS) untuk meloloskan Presiden Donald Trump dari tuduhan pemakzulan yang menimpa dirinya pada Desember 2019 meningkatkan tensi politik di Negeri Paman Sam.

Hakim Ketua Mahkamah Agung John Roberts membebaskan dia dari dakwaan penyalahgunaan kekuasaan dan upaya menghalangi penyelidikan Kongres.

Dikutip dari AFP via Kompas.com Rabu (5/2/2020), Donald Trump lolos dari pemakzulan dengan perbandingan 52-48 untuk pasal pertama, dan 53-47 terkait dakwaan pemakzulan kedua.

Donald Trump Diundang DPR AS ke Pemakzulan Dirinya: Hadir atau Berhenti Mengeluh

Situasi memanas terjadi itu di Capitol Hill, Washington, yakni bermula saat Ketua DPR AS, Nancy Pelosi secara terang-terangan merobek naskah pidato kenegaraan sang Presiden.

Perselisihan keduanya itu sudah terjadi setelah mereka tidak bersalaman meski Nancy Pelosi sudah mengulurkan tangannya untuk menyalami presiden berusia 73 tahun itu.

Lantas Nancy Pelosi juga mendobrak tradisi di mana dia yang akan memperkenalkan presiden ketika memasuki ruangan.

Hal itu diberitakan oleh media The Guardian berdasarkan kicauan jurnalis CNN Jake Tapper.

Sebab, biasanya Ketua DPR AS akan memperkenalkan presiden dengan rasa bangga.

"Secara tradisional, mereka akan berkata 'anggota Kongres, saya mendapat kehormatan tinggi untuk memperkenalkan kepada Anda Presiden AS'," ujar Tapper.

"Sementara Ketua Pelosi mengatakan 'Anggota Kongres, Presiden AS'," kicau Tapper mengomentari panasnya hubungan dua politisi itu.

Sidang Pemakzulan Trump di Level Senat AS Dimulai

Momen canggung itu berlanjut ketika Donald Trump memberikan pidato kenegaraan di ruangan DPR AS, dengan berkali-kali Nancy Pelosi mengernyitkan dahi, menggeleng, dan tersenyum tak percaya.

Puncaknya adalah ketika presiden dari Partai Republik itu mengakhiri pidatonya, Nancy Pelosi berdiri dan langsung merobek dokumen pidato.

Dia kemudian melangkah meninggalkan podium, dan berjalan ke arah kolega Demokrat lainnya, dan melambaikannya ke arah keluarga serta teman.

Setelah putusan, Nancy Pelosi mengatakan bahwa Senator Republik telah memaklumi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden ke-45 AS tersebut.

Dengan keputusan ini, politisi Partai Demokrat itu menyebut kaum Republikan sudah menolak sistem check and balances di Konstitusi AS.

Ia juga menganggap, Donald Trump tetap menjadi ancaman bagi demokrasi AS.

"Dia akan tetap menjadi ancaman bagi demokrasi Amerika. Dia akan menganggap dirinya di atas hukum dan mengubah hasil pemilihan sesuai keinginannya," kata Nancy Pelosi seperti dikutip AFP via Kompas.com.

Bukti Pemakzulan Trump Telah Dirilis Oleh DPR AS, Bagaimana Isinya?

Terkait alasan Nancy Pelosi merobek kertas salinan teks pidato itu, ia pun mengaku reaksi tersebut sebagai ungkapan rasa kecewanya.

Saat diwawancarai Fox News, dia mengatakan bahwa dia tidak menemukan satu pun kebenaran dalam pidato itu, dan memutuskan menyobeknya.

Dia kemudian merilis pernyataan tertulisnya, di mana dia menuding pidato kenegaraan yang disampaikan Trump tak menampilkan kebenaran.

"Manifesto melenceng dari lembar demi lembar seharusnya direspons aksi nyata dari mereka yang ingin mendapat kebenaran dari Presiden," jelasnya.

Hubungan keduanya memburuk sejak Pelosi mengumumkan pemakzulan Trump dalam sidang DPR AS yang digelar pada 18 Desember 2019.

Tonton videonya di sini:

Tak Hanya Donald Trump, 3 Presiden Amerika Ini Juga Pernah Menghadapi Pemakzulan

Donald Trump resmi dimakzulkan oleh House of Representatives (HOR) atau DPR AS yang menggelar voting di Gedung Capitol, Washington DC pada Rabu malam (18/12/2019) waktu setempat.

Berdasarkan voting yang dilakukan, mayoritas anggota DPR Amerika Serikat yang didominasi Partai Demokrat itu menyetujui pemakzulan Donald Trump.

Dilansir dari theguardian.com, voting itu digelar terhadap dua dakwaan pemakzulan yang dijeratkan kepada Doanld Trump.

TONTON JUGA:

DPR Amerika menggelar voting sebanyak dua kali yaitu voting pertama untuk dakwaan penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam dakwan ini, Donald Trump didakwa atas 'tindak kejahatan dan pelanggaran hukum tinggi' dengan menyalahgunakan kekuasaan untuk menekan Ukraina agar mengumumkan penyelidikan yang mediskreditkan rival politiknya.

Berdasarkan voting pasal penyalahgunaan kekuasaan, 230 anggota parlemen menyetujui dan 197 menolaknya.

Sementara itu, voting kedua digelar untuk dakwaan upaya untuk menghalangi-halangi kongres dalam menyelidiki upaya menekan Ukraina untuk menyelidiki mantan Wakil Presiden AS Joe Biden, rival politik Trump yang berpotensi jadi penantangnya dalam pilpres 2020 mendatang.

Donald Trump.
Donald Trump. (Tribunnews)

Di tahap ini, mayoritas parlemen menyetujui pasal kedua bahwa Donald Trump menghalang-halangi kongres.

Berdasarkan penelusuran TribunJakarta, sepanjang sejarah pemerintahan Amerika Serikat, rupanya ada tiga presiden yang pernah menghadapi proses pemakzulan.

Kendati demikian, tak ada presiden yang benar-benar bisa digulingkan melalui pemakzulan itu.

Diantara tiga presiden itu, dua sempat menjalani proses pemakzulan, sementara satu lainnya mengundurkan diri sebelum proesnya berlangsung.

Dari 45 presiden yang pernah memimpin Amerika Serikat, berikut tiga presiden selain Donald Trump yang pernah menghadapi pemakzulan:

Tanggapi Pemakzulan Dirinya Oleh DPR AS, Donald Trump: Mereka Berusaha Tuduh Saya Sejak Hari Pertama

Donald Trump Dimakzulkan, Harga Emas di AS Naik 0,16%

DPR Amerika Serikat Resmikan Pemakzulan Donald Trump, Level Senat Jadi Agenda Selanjutnya

1. Andrew Johnson (1868)

Dorongan Presiden Andrew Johnson dari Partai Demokrat untuk rekonstruksi pascaperang saudara AS, termasuk dengan mengintegrasikan kembali negara-negara bagian di selatan ke dalam Serikat, menempatkannya dalam konflik dengan Kongres.

Kongres memveto semua undang-undang, termasuk "Kode Hitam", yakni hukum rasis yang dipilih oleh perwakilan dari Selatan.

Dalam kebuntuan, Johnson memecat menteri perangnya, mendorong Kongres untuk meluncurkan proses pemakzulan, yang pertama dalam sejarah AS.

Pada 24 Februari 1868, Dewan Perwakilan Rakyat AS memilih 11 pasal pemakzulan, terutama atas upaya Johnson dalam menggantikan pejabat yang ditunjuk oleh Senat.

Namun setelah menjalani persidangan selama sepekan, di bulan Mei, Senat kekurangan satu suara untuk mencapai mayoritas dua pertiga, sebagai syarat untuk menjatuhkan hukuman.

Johnson tetap menjabat sebagai presiden namun kehilangan dukungan dari partainya untuk kembali mencalonkan diri dalam pemilu berikutnya dan masuk ke Senat lima tahun kemudian. 

2. Richard Nixon (1974)

Selama masa kampanye pada tahun 1972 untuk pemilihan kembali dalam pemilu, Presiden Richard Nixon dari Partai Republik, terlibat dalam upaya penyadapan di kantor pusat Partai Demokrat di Gedung Watergate, Washington.

Operasi itu terbongkar dan para pelaku tertangkap. Skandal itu pun terungkap dalam sebuah laporan investigasi yang dilakukan surat kabar Washington Post.

Nixon berupaya menutupi keterlibatannya dalam operasi tersebut, namun pada 24 Juli 1974, Mahkamah Agung AS memerintahkannya untuk menyerahkan rekaman rahasia dari percakapan di Ruang Oval.

Richard Nixon" />

Rekaman tersebut diyakini akan memberi bukti bahwa presiden dan para penasihat utamanya terlibat dalam upaya menutupi tindak kejahatan yang terperinci.

Pada 30 Juli, Komite Kehakiman DPR AS menyetujui tiga pasal pemakzulan Nixon, yang menghalangi proses peradilan, menyalahgunakan kekuasaan, serta berupaya menghalangi proses pemakzulan dengan menentang perintah pengadilan untuk menyerahkan bukti.

Namun sebelum pasal-pasal pemakzulan itu dipertimbangkan oleh DPR, yang hampir pasti akan memilih untuk memecatnya, Nixon memutuskan mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 9 Agustus 1974.

Donald Trump Diundang DPR AS ke Pemakzulan Dirinya: Hadir atau Berhenti Mengeluh

Greenland Tidak Dijual, Presiden AS Donald Trump Batalkan Kunjungan ke Denmark

Lontarkan Cuitan Rasis, Donald Trump Dikecam Para Petinggi Negara di Dunia, termasuk Jacinda Ardern

3. Bill Clinton (1999)

Bill Clinton menjadi presiden kedua dari Partai Demokrat yang menghadapi pemakzulan setelah berbohong dalam pernyataan di bawah sumpah terkait kasus dugaan perselingkuhan.

Bill Clinton membantah di bawah sumpah bahwa dia memiliki hubungan seksual dengan Monica Lewinsky, mantan staf magang di Gedung Putih.

Lewinsky yang awalnya menyangkal hubungan dengan presiden akhirnya mengakui perselingkuhan yang dilakukannya.

Bill Clinton akhirnya juga mengaku.

Kendati demikian, karena sempat membantah saat memberi pernyataan di bawah sumpah, hal itu memicu seruan untuk pemakzulannya. 

Pada 12-13 Desember 1998, Komite Kehakiman DPR AS memilih menyetujui empat pasal pemakzulan, yakni dua pasal tentang sumpah palsu, satu pasal menghalangi peradilan, dan pasal penyalahgunaan kekuasaan.

Pada 19 Desember 1998, DPR memilih untuk memakzulkan Presiden Clinton atas dua pasal, yakni sumpah palsu di hadapan juri dan menghalangi peradilan.

Akan tetapi saat pemungutan suara di Senat pada 12 Februari 1999, 45 anggota Senat dari Partai Demokrat tetap membela Clinton, sedangkan hanya 55 anggota Senat dari Republik yang setuju.

Hal itu menjadikan Senat tidak mencapai syarat dua pertiga suara untuk menjatuhkan hukuman dan Clinton tetap menjabat sebagai presiden hingga akhir masa jabatannya pada 2001.

(TribunPalu.com/Kompas.com/TribunJakarta.com)

Sumber: Tribun Palu
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved