Virus Corona

Pendeta di Italia Meninggal setelah Serahkan Ventilator ke Pasien Positif COVID-19 yang Lebih Muda

Seorang pendeta di Italia meninggal dunia setelah ia menyerahkan ventilatornya kepada pasien lain yang lebih muda, ungkap media lokal.

Twitter @lauraingalli @JamesMartinSJ via Tribunnews.com
Don Giuseppe Berardelli (72) seorang pendeta di Italia yang meninggal dunia setelah menyerahkan ventilator kepada pasien virus corona COVID-19 lain yang lebih muda. 

TRIBUNPALU.COM - Seorang pendeta di Italia meninggal dunia setelah ia menyerahkan ventilatornya kepada pasien lain yang lebih muda, ungkap media lokal yang dilansir USA Today.

Don Giuseppe Berardelli (72) merupakan kepala pendeta di Casnigo, kota di bagian utara Italia berjarak 50 mil dari Milan.

Menurut portal berita Prima Bergamo, Berardelli meninggal dunia antara tanggal 15-16 Maret 2020.

Ia dirawat di rumah sakit di Lovere.

Petugas medis berkata pada media lokal Araberara bahwa Berardelli dibelikan ventilator oleh anggota jemaah gerejanya.

Namun Berardelli menolak menggunakannya dan memberikan ventilator itu pada pasien lain yang lebih muda.

COVID-19 Mewabah, Big Hit Entertainment Ungkap Kemungkinan Perubahan Jadwal Tur Dunia BTS

Karena adanya lockdown, maka tidak ada upacara pemakaman untuk Berardelli.

Namun, orang-orang di kotanya bertepuk tangan ramai-ramai dari balkon mereka.

Kisah Dokter di RSUD Dr Soetomo Surabaya, Tertular COVID-19 saat Ada Pasien Batuk Tanpa Masker

Joko Widodo: Tenaga Medis Jadi Prioritas Utama Rapid Test Virus Corona dan Distribusi APD

SMK Negeri 5 Palu Produksi Alat Pelindung Diri, Target 200 Baju dalam Dua Pekan

Terbatasnya ventilator di Italia menjadi masalah serius.

Dokter bahkan harus memilih pasien mana yang harus mereka selamatkan.

Diberitakan Tribunnews sebelumnya, seorang dokter asal Israel yang kini bekerja di rumah sakit Italia berkata staf medis tak lagi bisa memberikan ventilator kepada pasien yang berusia 60 tahun ke atas.

Dr Gal Peleg, yang bekerja di Parma, berkata mesin pernapasan buatan itu begitu terbatas sehingga penggunaannya harus dibatasi.

Dr Peleg mengatakan departemennya memastikan pasien virus corona yang sakit parah bisa mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya meskipun ada aturan karantina yang ketat, N12 mengabarkan via Daily Mail (22/3/2020).

Dr Gal Peleg
Dr Gal Peleg

Pada hari Minggu (22/3/2020) para menteri di Roma memutuskan untuk me-lockdown negeri, serta memerintahkan semua bisnis yang tidak penting di negara itu ditutup.

Tetapi meskipun Italia telah mengimbau social distancing, jumlah pasien meninggal dunia Sabtu (21/3/2020) bertambah 739 kasus menjadi 4.825 secara nasional, menandai hari paling mematikan bagi sebuah negara dalam pandemi global sejauh ini.

Arti Berbagai Istilah soal Virus Corona COVID-19, termasuk Physical Distancing yang Disebut Jokowi

Virus Corona COVID-19 Belum Usai, Pria di Provinsi Shaanxi China Tewas akibat Hantavirus

Anggaran Pengadaan Ujian Nasional 2020 Bakal Dialihkan untuk Tangani Pandemi Virus Corona COVID-19

Belajar dari Kasus Corona di Italia: Isolasi, Social Distancing Memang Perlu Dilakukan Lebih Awal

Tragedi yang terjadi di Italia; penularan super cepat dengan angka kematian yang tinggi, dijadikan sebagai peringatan dan pelajaran bagi tetangga Eropa dan Amerika Serikat, di mana virus datang dengan kecepatan yang sama.

Dari apa yang terjadi di Italia, langkah-langkah untuk mengisolasi daerah yang terkena dampak dan membatasi pergerakan populasi yang lebih luas perlu diambil lebih awal, diberlakukan dengan kejelasan dan ditegakkan dengan ketat.

Upaya Italia menahan penularan virus corona, dengan mengisolasi kota-kota terlebih dahulu, kemudian wilayah, kemudian seluruh negara, nyatanya masih kalah cepat dengan penyebaran virus.

Sebuah pandangan diambil pada 20 Maret 2020 di Cremona, tenggara Milan, Italia menunjukkan petugas kebersihan dengan alat pelindung mendisinfeksi tempat tidur pasien di salah satu tenda dari rumah sakit lapangan yang baru saja beroperasi untuk pasien virus corona, yang dibiayai oleh LSM bantuan bencana Kristen evangelikal AS, Samaritan's Purse . Sepenuhnya operasional, struktur akan terdiri dari 15 tenda, 60 tempat tidur, 8 di antaranya akan berada dalam perawatan intensif.
Sebuah pandangan diambil pada 20 Maret 2020 di Cremona, tenggara Milan, Italia menunjukkan petugas kebersihan dengan alat pelindung mendisinfeksi tempat tidur pasien di salah satu tenda dari rumah sakit lapangan yang baru saja beroperasi untuk pasien virus corona, yang dibiayai oleh LSM bantuan bencana Kristen evangelikal AS, Samaritan's Purse . Sepenuhnya operasional, struktur akan terdiri dari 15 tenda, 60 tempat tidur, 8 di antaranya akan berada dalam perawatan intensif. (Miguel MEDINA / AFP)

"Sekarang kita sedang mengejar," ujar Sandra Zampa, sekretaris di bawah Kementerian Kesehatan, yang mengatakan Italia melakukan yang terbaik.

"Kami ditutup secara bertahap, seperti yang dilakukan Eropa; Prancis, Spanyol, Jerman. AS juga melakukan hal yang sama."

"Setiap kali ada yang ditutup, orang-orang menyerahkan sedikit kehidupan normalnya."

"Karena virus ini tidak memungkinkan kita hidup normal."

Pemerintah di luar Italia sekarang terancam mengikuti jalan yang sama, mengulangi kesalahan yang sudah terjadi dan mengundang bencana serupa.

Setelah apa yang terjadi, pejabat Italia memberikan pembelaan bahwa krisis seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya di zaman modern.

Mereka menegaskan bahwa pemerintah sudah merespons dengan cepat dan kompeten, segera bertindak atas saran para ilmuwan dan bergerak lebih cepat pada langkah-langkah drastis.

Namun, catatan tindakan Italia justru menunjukkan peluang yang terlewatkan serta langkah yang salah.

Pada hari-hari awal wabah melanda, Conte dan pejabat tinggi lainnya berusaha menciptakan rasa aman palsu yang membuat virus menyebar tanpa kewaspadaan.

Mereka menyalahkan tingginya jumlah infeksi di Italia karena banyaknya orang tanpa gejala di wilayah utara.

Bahkan begitu pemerintah Italia menganggap lockdown universal diperlukan untuk mengalahkan virus, pemerintah gagal mengkomunikasikan dengan masyarakat.

Hal ini menyebabkan tidak adanya ancaman yang cukup kuat tidak bisa membujuk orang Italia agar mematuhi aturan.

"Ini tidak mudah dalam demokrasi liberal," kata Walter Ricciardi, anggota dewan Organisasi Kesehatan Dunia dan penasihat utama untuk kementerian kesehatan.

Ia mengatakan pemerintah Italia telah bergerak dengan kecepatan yang jauh lebih cepat, dan menganggap ancaman virus itu jauh lebih serius, daripada tetangga-tetangga Eropa atau Amerika Serikat.

Namun, ia mengakui bahwa menteri kesehatan kesulitan untuk membujuk pemerintah untuk bergerak lebih cepat.

Ditambah lagi, adanya pembagian kekuasaan Italia antara Roma dan daerah lain yang terpecah, membuat pesan menjadi tidak konsisten.

"Kami harusnya melakukannya 10 hari sebelumnya, mungkin ada perbedaan," ujar Walter Ricciardi.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Pendeta di Italia Meninggal Dunia setelah Berikan Ventilatornya pada Pasien Corona yang Lebih Muda

Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved