Wawancara Eksklusif dengan Achmad Yurianto: ''Tanpa Kesehatan Segala-galanya Tidak Ada Gunanya''

Wawancara dengan Achmad Yurianto membahas berbagai hal mengenai pandemi Covid-19, protokol kesehatan, vaksin atau obat, hingga peran pejabat publik.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2P) Kemenkes, Achmad Yurianto. 

Ketika pesan lima ribu, waduh tidak selesai-selesai kalau lima ribu, kami bukan pabrik, kami inovator. Ini ruang mempertemukan inovator dengan industri.

Apakah lazim di sebuah riset untuk menghasilkan obat terkait dengan pengobatan penyakit menggunakan sponsor. Misal dalam konteks obat Covid-19 dari UNAIR sponsornya TNI AD-BIN?

Tidaklah, kita tidak pernah berbicara sponsor ya. Masalah kemudian menggunakan resource yang ada diinstitusi lain ya silakan-silakan saja.Kita lihat sinopharm, siapa sih yang digunakan untuk uji awal-awalnya. Ya tentara China, tidak ada masalah. Kemudian mengatakan ini ditemukan oleh tentara China.Jadi sesuatu yang sebetulnya tidak rumit, kemudian kalau kita bikin rumit ya jadi rumit lah.

Jadi vaksin atau obatnya diberikan atau disuntikan ke tentara tidak masalah?
Hanya memang pada fase tertentu kita tidak boleh, sampelnya hanya tentara saja. Karena virusnya tidak milih-milih. Inilah yang dilakukan pada fase ketiga yang dilakukan Sinovac. Baik umur, baik status fisik, dan sebagainya. Karena obat ini tidak mungkin hanya obat untuk orang yang ganteng kan tidak mungkin.

Sedang dilakukan uji klinis tahap ketiga untuk vaksin dari Sinovac. Sebenarnya seperti apa urutan vaksin diaplikasikan kepada masyarakat?
Kalau obat, vaksin, sama saja ya. Setelah dapat izin edar berarti dia boleh digunakan di masyarakat sesuai protokol. Sebelum mendapat izin edar ada serangkaian uji.Pertama, uji keamanan dulu. Itu nomor satu.

Uji keamanan diawali dengan cara kajian laboratorium, dengan reaksinya yang muncul. Setelah itu oke dilanjutkan dicoba di binatang, ternyata aman, baru masuk uji satu, pada kelompok orang tertentu dengan jumlah yang sedikit.

Dan orang diawasi terus-terusan. Baru masuk uji kedua, orang banyak. Uji ketiga baru berbagai macam daerah. Kan tidak bisa, obat ini hanya dipakai di sub-tropis, harus dipakai di seluruh muka bumi. Itu yang pertama keamanan.

Yang kedua manfaat. Ada tidak respon yang muncul dari obat ini, seperti yang diharapkan. Tujuan memberikan vaksin adalah memunculkan kekebalan, respon anti body.

Kalau itu aman tapi anti body tidak keluar ya untuk apa. Biasanya setelah uji kedua, ini sudah diyakini aman. Ada manfaat. Tinggal dilaksanakan uji ketiga, kalau disuntikan pada orang yang terkait dengan genetik, bukan ras mongoloid misalnya, di ras lain misalnya.

Di daerah tidak hanya sub tropis, apakah manfaatnya aman, apakah manfaatnya juga sama. Kita kan akhirnya menghitung cost effective-nya.

Seperti kalau kita ke Saudi, ada vaksin meningitis, dan itu ternyata hanya memiliki dampak dua tahun. Setelah dua tahun kalau mau pergi ke sana lagi, suntik lagi. Beda dengan hepatitis, kebal seumur hidup misalnya.

Vaksin covid ini, belum ada yang mengatakan (seumur hidup atau berkala), loh covidnya baru kemarin. Baru akhir 2019, mana ada  yang bisa mengatakan, bisa dijamin 2 tahun, menghitungnya gimana. Ini pun menjadi bagian.

Kalau hanya memberikan perlindungan sebulan, sebulan, waduh, setiap bulan disuntik berapa duitnya. Ini pun menjadi kajian, memang ada harapkan dari kajian yang kita prediksikan, dari vaksin yang kita coba ini, itu bisa memberikan kekebalan variasi antara 2 tahun sampai kurang dari 2 tahun.

Bos Djarum Budi Hartono Tolak PSBB hingga Surati Jokowi, YLKI: Mencerminkan Kepentingan Bisnisnya

Menikah dengan Anthony Xie, Audi Marissa Tanggapi Komentar Warganet Soal Perbedaan Agama

Apakah perlu izin dari WHO?
Ini kan uji fase tiga. Izinnya kedunia, bukan hanya ke Indonesia saja. Karena dilaksanakan juga di Brazil dengan 9 ribu orang, di Pakistan 1 ribuan, India 2 ribuan, itu juga dilakukan Sputnik V, kemudian Astra Zeneca juga sama. Sinopharm di Uni Emirate Arab.

Vaksin bisa diproduksi massal setelah mendapat persetujuan WHO?
Sebenarnya bukan persetujuan. Dari hasil uji klinis tahap ketiga nanti ada board dari WHO yang mengatakan ini recommended. Sehingga kalau recomennded berarti tidak satu vaksin, tapi banyak vaksin.Nanti silakan masing-masing negara untuk memilih.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved