Wawancara Eksklusif dengan Achmad Yurianto: ''Tanpa Kesehatan Segala-galanya Tidak Ada Gunanya''

Wawancara dengan Achmad Yurianto membahas berbagai hal mengenai pandemi Covid-19, protokol kesehatan, vaksin atau obat, hingga peran pejabat publik.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2P) Kemenkes, Achmad Yurianto. 

Seandainya recommended aplikasinya seperti apa?
Maka selanjutnya kita harus mengidentifikasi di Indonesia siapa sih yang harus divaksin. Kami sudah berproses dan masih berproses baik dengan WHO, Asosiasi untuk vaksin di Indonesia, isinya expert semua di Indonesia.

Siapa sih yang harus divaksin, mereka mengatakan yang harus divaksin orang-orang beresiko tinggi. Diklasifikasi resikonya. Manakala kita mengatakan yang beresiko misalnya 160 juta orang. Dan hari ini ada 160 juta vaksin, ya tidak usah mikir suntikan saja ke semua.

Tapi kalau yang beresiko 160 juta, sementara bulan ini hanya ada 25 juta, kan harus memilih siapa yang nomor satu dan nomor dua. Di dalam kelompok resiko harus kita kelompokan lagi.Yang kita kedepankan adalah frontliner, prioritas nomor satu. Yaitu tenaga kesehatan yang merawat pasien covid. Atau petugas laboratorium yang menangani virus covid. Itu urutan nomor satu.

Nomor dua adalah social worker yang terkait dengan covid, kalau seperti ini, sopir ambulance, petugas administrasi rumah sakit. Kemudian kita termasuk identifikasi, pemberi jasa layanan di fasilitas besar.Pegawai bandara, pegawai stasiun.

Tentunya juga pegawai bandara dipilah lagi bandara mana. Tenaga kesehatan pun harus gitu, dokter semua kan tidak, kalau saya kan tidak pernah merawat apa-apa, saya kan cuma merawat datanya covid.

Pejabat publik setingkat Presiden dan Wakil Presiden?
Jadi kita bicara itu dulu ya. Kemudian yang kedua, tentunya kelompok produktif dengan komodif. Bagi para tulang punggung ekonomi keluarga. Mau tidak mau harus kita lindungi. Dan kemudian yang berikutnya yang menjadi urut-urutan berikutnya, orang yang punya uang dan bisa beli sendiri.

Silakan kalau punya uang silakan beli sendiri. Karena tidak mungkin kita menanggung 160 juta dengan dua kali suntik 320 juta.

Setelah vaksin, apakah dengan demikian kita terbebas dari virus?
Satu hal ini diharapkan muncul kekebalan pada diri kita, sehingga ada kekebalan pada diri kita. Apakah kekebalan seumur hidup, ini sedang kita teliti. Kemudian, kekebalannya apakah virus masuk langsung hilang? Kan belum tahu juga.

Biasanya begini cara menghitungnya, virus itu kalau ada jumlahnya 100 baru muncul gejala. Kalau tidak sampai 100 tidak muncul gejala. Nah apakah dengan saya divaksin satu saja langsung hilang atau kalau divaksin tumbuh dari 10. Ini masih dalam proses.Karenanya yang paling penting bagi kita, kalau mau disuntik dan terbebas sama sekali mau normal 100 persen habis disuntik pindah (planet) Mars, gitu saja.

Artinya setelah disuntik protokol kesehatan tetap dijalani?
Ini masalah dunia, apalagi kita menghendaki turis mulai masuk. Kalau turisnya tidak disuntik bagaimana, hayo?

Kesan di publik terjadi pertarungan di elit pemerintah bahwa sekarang lebih mementingkan perekonomian?
Presiden mengatakan kesehatan, kesehatan, kesehatan. Bukan karena saya orang kesehatan ngomongnya kesehatan, kesehatan, nanti orang ekonomi ngomongnya ekonomi, ekonomi.

Makanya bagi saya jalan tengahnya, kesehatan memang bukan segala-galanya, tapi tanpa kesehatan segala-galanya tidak ada gunanya. Monggo dipilih. Memang kalau tidak ekonominya bagus, tidak sehat. Tapi kalau tidak sehat, juga tidak mungkin ekonominya bagus.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Achmad Yurianto:Kalau Tidak Sehat, Tidak Mungkin Ekonominya Bagus
Penulis: Dennis Destryawan

Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved