Teroris Poso Tewas
2 Teroris Poso Tewas Ditembak, Amunisi dan Bom Lontong Tertinggal di Lokasi Penyergapan
2 Teroris Poso Tewas Ditembak, Amunisi dan Bom Lontong Tertinggal di Lokasi Penyergapan
TRIBUNPALU.COM, POSO - Dua Teroris MIT Poso tewas tertembak pasca penyergapan Satgas Madago Raya, Minggu (11/7/2021).
Personel TNI-Polri tergabung dalam Satgas Madago Raya menyergab camp DPO MIT Poso di Desa Tanalanto, Kecamatan Torue, Kabupaten Parigi Moutong, Sulteng.
Informasi yang dihimpun TribunPalu.com, ada 5 DPO MIT Poso yang bersembunyi di camp mereka di kawasan Pegunungan Batu Tiga Desa Tanalanto, Parigi Moutong.
Selain 2 ditemukan tewas tertembak. 3 Terorit MIT Poso berhasil melarikan diri.
Setelah digeladah, Satgas Madago Raya menemukan barang bukti berupa amunisi, bom lontong, kompas, HT dan bendera.
Baca juga: Sepekan PPKM di Palu, 400 Warung Sari Laut Turun Omzet
Baca juga: 2 Teroris Tewas Baku Tembak dengan Satgas Madago Raya, Cek Identitas 9 Kelompok MIT Poso
Kasubbid Penmas Polda Sulteng Kompol Sugeng Lestari mengatakan, dari insiden baku tembak itu dikabarkan ada korban jiwa alias tewas.
"Saat ini kami menunggu di RS Bhayangkara," ujar Kompol Sugeng Lestari.
Sejarah MIT Poso
Cikal bakal lahirnya MIT tak bisa dipisahkan dari keberadaan Jemaah Ansharut Tauhid (JAT) yang didirikan Abu Bakar Ba’asyir pada 2008.
Pada 2009, sejumlah kelompok milisi beserta jaringan organisasi lainnya disebut berencana mendirikan negara Islam di Indonesia.
Misi tersebut mereka realisasikan dengan memulai pengadaan latihan militer bagi anggota mereka untuk berperang melawan pemerintah.
Saat itu Aceh dipilih sebagai lokasi pelatihan militer.
Namun pada 2010, proyek pelatihan militer itu kandas lantaran terbongkar oleh polisi dan menjadikan Abu Bakar Ba'asyir sebagai terpidana.
Ba’asyir didakwa mendanai pelatihan militer tersebut.
Baca juga: Kapolda Sulteng soal Penumpasan Teroris: Stop Berikan Bantuan pada DPO MIT Poso
Baca juga: Target 2 Bulan Akhiri Gerilya Teroris, Kapolda Sulteng Incar Simpatisan MIT Poso
Beberapa anggota milisi yang terlibat dalam pelatihan milter itu berhasil meloloskan diri dari kejaran polisi.
Mereka akhirnya membentuk sel-sel teroris masing-masing namun saling terhubung satu sama lain.
Setelah pelatihan militer di Aceh gagal, seorang pimpinan Jemaah Islamiyah (JI) Abu Tholut yang dikenal pernah dekat dengan Ba’asyir, datang ke Poso dan bertemu Yasin serta Santoso.
Abu Tholut kemudian menjelaskan rencana menjadikan Poso sebagai markas Negara Islam.
Abu Tholut juga mengusulkan berdirinya JAT Poso, sebagai cikal bakal wadah kelompok yang memperjuangkan Negara Islam di sana.
Santoso kemudian diangkat menjadi penanggung jawab pelatihan militer di JAT Poso. Ketika itu JAT Poso dipimpin oleh Yasin.
Santoso kemudian merealisasikan proyek tersebut dengan merekrut peserta untuk mengikui pelatihan militer.

Pada 2010, Santoso dan rekan-rekannya berhasil mengumpulkan senjata dan menemukan tempat pelatihan militer di Gunung Mauro, Tambarana, Poso, serta di daerah Gunung Biru, Tamanjeka, Poso, Sulawesi Tengah.
Gerakan MIT mendapatkan dukungan dari kelompok terduga teroris lain yang terhubung dalam jaringan mereka.
Di antaranya dari kelompok Mujahidin Indonesia Barat (MIB) pimpinan Abu Roban, sebuah sel yang berperan untuk mendapatkan dana melalui perampokan di berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jakarta.
Pada 2012, Santoso lalu diangkat menjadi pemimpin MIT.
Serangkaian aksi teror Beberapa aksi teror MIT yang terkenal yakni saat mereka membunuh dua orang polisi yakni Briptu Andi Sapa dan Brigadir Sudirman pada 16 Oktober 2012.
Keduanya ditemukan tewas di Dusun Tamanjeka, Desa Masani.
Kemudian pada 20 Desember 2012 MKIT juga menyerang tiga anggota Brimob.
Mereka tewas setelah ditembak dari belakang saat patroli di desa Kalora, Poso Pesisir Utara.
Mereka bertiga ialah Briptu Ruslan, Briptu Winarto, dan Briptu Wayan Putu Ariawan.
Pada awal tahun 2015, kelompok MIT juga membunuh tiga warga di Desa Tangkura.
Mereka semua tewas dalam kondisi yang mengenaskan. Kematian Santoso Adapun pada 2016 polisi bersama TNI menjalankan operasi gabungan yang bernama Operasi Tinombala.

Operasi gabungan tersebut bertujuan untuk menangkap MIT yang dipimpin oleh Santoso.
Operasi Tinombala membuahkan hasil pada 18 Juli 2016.
Saat itu TNI dan Polri terlibat baku tembak dengan dua orang.
Baku tembak yang terjadi bermula saat sembilan orang prajurit Satgas Tinombala melaksanakan patroli di pegunungan Desa Tambarana.
Mereka menemukan sebuah gubuk dan melihat beberapa orang tidak dikenal sedang mengambil sayur dan ubi untuk menutup jejak.
Mereka juga menemukan jejak di sungai dan terlihat tiga orang di sebelah sungai namun langsung menghilang.
Tim satgas ini kemudian berupaya mendekati orang-orang tak dikenal itu dengan senyap.
Setelah berada dalam jarak sekitar 30 meter, mereka kemudian terlibat kontak senjata sekitar 30 menit.
Setelah dilakukan penyisiran seusai baku tembak, ditemukan dua jenazah dan sepucuk senjata api laras panjang.
Sedangkan tiga orang lainnya berhasil kabur. Setelah diidentifikasi, ternyata kedua orang yang tewas adalah Santoso dan anggota MIT, Mukhtar.
Kemudian, Ali Kalora menggantikan posisi Santoso memimpin kelompok MIT bersama dengan Basri.
Lalu, setelah Basri tertangkap, Ali Kalora ditetapkan sebagai target sasaran karena ia yang kini mengomandoi sejumlah aksi teror MIT.
Pecah Kongsi
Kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso, Sulawesi Tengah, disebut sudah terpecah kepemimpinannya.
MIT terpecah jadi dua kelompok, pimpinan Ali Kalora disembut sudah ingin menyerah.
Selain ada kelompok yang dipimpin Ali Kalora, kini ada pula kelompok yang dipimpin seseorang bernama Qatar alias Anas alias Farel.
Komandan Komando Daerah Resor Militer 132 Tadaluko Brigjen TNI Farid Makruf mengatakan, kelompok Ali Kalora kini hanya terdiri dari empat orang.
Mereka adalah Ali Kalora, Suhardin alias Hasan Pranata, Ahmad Gazali alias Ahmad Panjang dan Rukli.
Sedangkan kelompok MIT pimpinan Qatar terdiri dari Abu Alim alias Ambo, Nae alias Galuh, Askas alias Jadi alias Pak Guru, dan Jaka aka Ramadan alias Ikrima alias Rama.
Menurut Farid, kelompok yang dipimpin Ali Kalora sudah terindikasi akan menyerah.
Niat itu disebut muncul setelah Ali Kalora, Ahmad Gazali, dan Rukli terluka usai kontak senjata dengan anggota Satuan Tugas Madago Raya pada 22 Maret 2021.
"Mereka itu sebenarnya sudah mau turun kampung dan mau menyerah. Jadi yang mau menyerah itu Ali Kalora, Rukli, Suhardin alias Hasan Pranata dan Ahmad Gazali alias Ahmad Panjang," kata Farid yang juga Wakil Penanggung Jawab Komando Operasi Madago Raya di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (21/5/2021).
Namun, kata Farid, rencana Ali Kalora untuk menyerahkan diri ke Satgas Madago Raya dihalangi Qatar.
"Dua bulan lalu, ketika Ali Kalora menyatakan akan menyerah, Qatar yang justru menghalangi keinginannya," sebut Farid.
Qatar bergabung dengan kelompok teroris ini saat Santoso alias Abu Wardah memimpin kelompok teroris ini.
Santoso kemudian tewas ditembak personel satgas yang kala itu sandinya bernama Operasi Tinombala pada 18 Juli 2016.
Qatar terpantau aktif dalam tadrib asykari atau pelatihan milisi yang digelar Santoso.
Laki-laki yang juga masuk di daftar pencarian orang oleh Satgas Madago Raya, diduga terlibat dalam dua peristiwa pembunuhan warga sipil di Poso baru-baru ini.(*)