OPINI
Palu, KAHMI dan Kemanusiaan
Apakah Palu dan Sulawesi Tengah tidak bisa bangkit? Jawaban pertanyaan ini tergambar pada semangat keluarga besar KAHMI Sulteng menyiapkan Munas
Bencana alam yang terjadi di kota Palu pada September 2018 lalu sangat berdampak pada segi ekonomi terutama di bagian kerugian dan kerusakan.
Dampak kerugian dan kerusakan yang diakibatkan gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu mencapai Rp 18,48 Triliun, kerugian tersebut berasal dari dari sektor permukiman mencapai Rp 9,41 triliun.
Sektor infrastruktur Rp 1,05 triliun, sektor ekonomi Rp 4,22 triliun, sektor sosial Rp 3,37 triliun, dan lintas sektor mencapai Rp 0,44 triliun (Sumber : BNPB Kota Palu)[4].
Secara rinci pada sebaran wilayah, kerugian dan kerusakan di Kota Palu mencapai Rp 8,3 triliun, Kabupaten Sigi Rp 6,9 triliun, Donggala Rp 2,7 triliun dan Parigi Moutong mencapai Rp 640 miliar (Sumber: BNPB Provinsi Sulawesi Tengah).
Kerugian yang sangat besar itu menimbulkan bencana lanjutan misalnya di sektor permukiman, wilayah yang disapu tsunami sepanjang Pantai Talise sampai kecamatan Tawaeli dan pesisir Donggala permukiman warga hampir semuanya hilang dan rusak.
Tidak heran kerugian pada sektor ekonomi sangat besar terutama yang mengalami kontraksi seperti Jasa keuangan dan asuransi sebesar minus 8,39 persen, akomodasi dan makan minum kontraksi sebesar minus 4,65 persen dan dan sektor pengadaan listrik dan gas sebesar minus 3,47 persen.
Kerugian yang paling besar tentu saja korban manusia.
Data resmi Pemerintah daerah jumlah korban meninggal mencapai 4.340 jiwa. Selain itu masih ada 600 lebih korban yang belum ditemukan.
Pascabencana masih menyisakan masalah yang besar terutama pembangunan kembali permukiman warga.
Meskipun sampai saat ini sudah ribuan hunian tetap yang terbangun tapi sampai september 2021 masih ada 3.240 hunian tetap yang menjadi hak penyintas belum dipenuhi.
Wapres Ma’ruf Amin dalam kunjungannya baru-baru ini di Sulawesi Tengah memerintahkan agar pembangunan hunian tetap dan permukiman warga harus dipercepat. Inilah penderitaan warga Sulawesi Tengah pascabencana.
Selain itu fasilitas kota belum semua berhasil direhabilitasi.
Hotel-hotel, jembatan Kuning yang menjadi icon kota, fasilitas pusat peribadatan seperti Masjid Agung belum bisa dibangun kembali.
Jalan-jalan di Kota Palu belum seluruhnya dapat diperbaiki. Inilah kehancuran secara fisik dan psikis yang perlu perhatian pemerintah dan kita sebagai warga bangsa.
Secara psikologis, masyarakat juga masih trauma. Sebelum gempa berkekuatan magnitude 7,4 itu, jika terjadi gempa, warga tetap beraktivitas norma, bahkan ada yang hanya tertawa. Tidak ada rasa ketakutan.