OPINI
Palu, KAHMI dan Kemanusiaan
Apakah Palu dan Sulawesi Tengah tidak bisa bangkit? Jawaban pertanyaan ini tergambar pada semangat keluarga besar KAHMI Sulteng menyiapkan Munas
Masyarakat Palu memang sudah terbiasa merasakan gempa karena dilalui sesar (patahan) besar “Palu-Koro” yang melalui pusat Kota Palu sampai ke Utara Sulawesi.
Setelah gempa besar September 2018 itu, ketika digoyang gempa sedikit saja, warga berlarian kocar kacir.
Akibatnya, banyak penduduk Palu meninggalkan daerah ini kembali ke daerah asalnya. Tidak mau lagi ke Palu karena trauma.
Residu dari dua masalah ini sangat besar bagi Palu dan Sulawesi Tengah.
Konflik Poso menyisakan terorisme dan trio bencana 28 September 2018 menghasilkan keterpurukan dan penderitaan terutama terkait kesejahteraan.
Di samping itu, adanya beberapa kali pengerakan pasukan keamanan skala besar untuk menumpas kelompok teroris yang berlindung di hutan lebat wilayah Poso belum sepenuhnya berhasil sampai hari ini.
Dari Bencana Menuju Kebangkitan
Apakah Palu dan Sulawesi Tengah tidak bisa bangkit? Jawaban pertanyaan ini tergambar pada semangat keluarga besar KAHMI Sulteng menyiapkan diri sebagai tuan rumah Munas XI KAHMI yang akan berlangsung tahun ini.
Jika Palu dipercayakan melaksanakan Munas, kader KAHMI Sulteng yang didukung sepenuhnya oleh gubernur dan para kepala daerah se-Sulteng akan bekerja secara serius, sungguh-sungguh dalam mempersiapkan acara serta melayani peserta dan para tamu secara optimal.
Palu tidak harus terus bersedih. Palu dengan filosofi “Tadulako” yang bermakna patriotik, kepahlawanan, pantang menyerah justru tidak ingin terus berada di belakang.
Palu dan Sulawesi Tengah ingin menjadi “pemain” utama pada region ini.
Dengan pengalaman konflik dan bencana, justru Sulawesi Tengah menjadi lebih kuat.
Walaupun beberapa infrastruktur belum terbangun kembali, tapi justru ekonomi terus tumbuh.
Di balik potensi bencana alam, Sulteng diberi anugerah yang luar biasa.
Lihatlah bagian lain dari Palu atau Sulawesi Tengah. Pandanglah ke Morowali, daerah di bagian timur Provinsi Sulteng.
Betapa seluruh Indonesia, bahkan pandangan dunia diarahkan ke sana. Ada harta karun energi masa depan.
Semua orang tahu, Morowali pusat mineral nikel terbesar yang akan menjadi penentu mobilitas manusia.
Di utara Morowali terdapat cadangan gas alam yang sangat besar di Cekungan Donggi-Sonoro.
Kita semua bangga atas kekayaan lama itu. Namun hari ini yang kita saksikan, tidak banyak warga Bangsa termasuk KAHMI yang berperan sebagai penentu di situ.
Justru sebaliknya, tenaga kerja asing yang mempunyai keahlian justru yang mendominasi.
Di masa depan, ini tidak boleh terjadi. Bangsa Indonesia khususnya warga KAHMI harus merebut peluang dan mengatasi tantangan itu.
Untuk menjadi penentu masa depan itu, marilah ke Sulteng, karena Sulteng adalah episentrum dalam permainan global pada sektor energi masa depan.
Munas sebagai Monumen Kebangkitan
Apakah KAHMI hanya berpangku tangan? Tentu tidak. Sejak di HMI kami punya doktrin teologis, yaitu keesaan Tuhan.
Sebagai manusia yang berfungsi sebagai khalifah punya tanggungjawab mewujudkan peran himpunan sebagai sumber insani pembangunan bangsa.
Sesudah Keesaan Tuhan, ada doktrin kemanusiaan. Menurut Nurcholis Madjid doktrin kemanusiaan (humanisme) KAHMI bukan berasal dari filsafat material tapi memancar dari paham Ketuhanan yang Maha Esa (Tauhid).
Konsekuensi doktrin itu adalah keharusan warga KAHMI untuk berpihak dan membantu bagi manusia lain yang menderita, terpuruk dan tertindas.
KAHMI sebagai organisasi intelektual tentu berpihak pada yang lemah, menderita dan tertindas dalam menempuh jalan kebenaran.
Inilah perwujudan intelektual organik (Gramsci), yakni intelektual yang senantiasa berpihak pada kebenaran dan kemanusiaan.
Dukungan dari berbagai pihak terus mengalir, termasuk Ketua Dewan Penasehat MN KAHMI Akbar Tandjung.
Kami di Sulteng sangat yakin, Munas XI KAHMI di Palu akan menjadi Monumen Kebangkitan Sulteng menatap masa depan.
Begitulah makna substantifnya jika Munas XI KAHMI 2022 dilaksanakan di Palu, Sulawesi Tengah.(*)
[1] Misalnya Konflik Poso kaitannya dengan pemahaman Jihad dalam Asian Survey Vol. 53, No. 4 (July/August 2013), pp. 754-777 (24 pages) University of California Press, Konflik Poso sebagai konflik komunal dalam Indonesia No. 72 (Oct., 2001), pp. 45-79 (35 pages) Cornell University Press
[2] Misalnya buku yang ditulis Tito Karnavian “Explaining Islamist Insurgencies: The Case of Al-Jamaah Al-Islamiyyah and the Radicalisation of the Poso Conflict, 2000-2007,
[3] Trauma atas Konflik dan Kekerasan: Tinjauan Akademik, G. Budi Subanar, Jurnal Ilmu Humaniora Baru | VOL.4 - No.1, Januari 2016
[4] https://jurnal.unismuhpalu.ac.id/index.php/JKS/article/view/1983/1686