Rusia Frustasi Ditinggal Sekutu Terkuat, Presiden Putin Tersinggung hingga Jalankan 'Rencana B'
Invasi ke Ukraina yang tidak menunjukan arah ke mana pun memasuki pekan keempat menjadi sinyal Rusia telah kehilangan dukungan.
Dalam pernyataan resmi pertamanya tentang serangan Rusia, Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa Barat bersalah atas "penyalahgunaan kekuasaan".
Duta Besar Korea Utara untuk PBB mengatakan, AS dan sekutunya adalah akar penyebab krisis di Ukraina, setelah mengabaikan tuntutan keamanan Rusia yang "masuk akal dan adil".
Kim Song, diplomat Korea Utara, mengkritik "kebijakan hegemonik" AS dan Barat yang menurutnya mengancam keamanan dan integritas teritorial negara-negara berdaulat.
Berbicara pada pertemuan Majelis Umum PBB, Kim mengatakan: "Bahaya terbesar yang dihadapi dunia sekarang adalah kesewenang-wenangan. Dan kesewenang-wenangan Amerika Serikat dan para pengikutnya telah mengguncang perdamaian dan stabilitas internasional."
Berdirinya Korea Utara
Kisah Uni Soviet memberikan bantuan kepada kakeknya, Kim Il-Sung, agar bisa menjadi pemimpin Korea Utara. Dikutip Britannica, sejak tahun 1910, semenanjung Korea dikuasai Jepang.
Pasca-Jepang menyerah pada sekutu dan Perang Dunia II berakhir, momentum itu pun tiba.
Semenanjung Korea jatuh ke tangan sekutu dan dibagi dua. Bagian selatan di bawah kekuasaan AS, sedangkan bagian Utara dikuasai Uni Soviet. Pada 1948, wilayah selatan mendeklarasikan berdirinya Republic of Korea yang dipimpim Syngman Rhee, sosok anti-komunis.
Sementara di wilayah utara, Uni Soviet memilih gerilyawan muda komunis yakni Kim Il Sung mendeklarasikan berdirinya Democratic People’s Republic of Korea (DPRK). Dukungan penuh dari Uni Soviet, membuat Kim Il Sung memegang kekuatan politik yang kuat.
Baca juga: Rusia Diserang Tentaranya Sendiri, Prajurit Kiriman Putin Malah Bantu Ukraina dengan Cara Ini
Ini memperkokoh posisinya sebagai pemimpin partai komunis Chosun. Pada 1946, partai tersebut dibentuk kembali sebagai Partai Buruh Korea Utara. Partai ini memperkokoh landasan Korut sebagai negara komunis lewat nasionalisasi tanah pertanian.
Minta bantuan China
Sebelumnya, mengutip The Straits Times, Rusia juga dikabarkan tengah merayu China untuk bisa mendapatkan bantuan militer dan ekonomi. Gempuran sanksi yang diterima tampaknya membuat Rusia mulai kesulitan.
Hal itu diungkapkan oleh seorang pejabat tinggi AS yang berbicara secara anonim ini. Sayangnya, kepada New York Times, dia belum bisa menjelaskan lebih lanjut jenis peralatan militer yang dibutuhkan Rusia.
Ia juga belum bisa memastikan bagaimana respons China atas permintaan tersebut.
Juru bicara kedutaan besar China di Washington, Liu Pengyu, mengaku belum pernah mendengar kabar apa pun tentang permintaan bantuan militer dan ekonomi dari Rusia.
Liu menegaskan bahwa sikap China saat ini adalah mendukung segala upaya yang mengarah pada penyelesaian krisis secara damai.
"China melihat di Ukraina saat ini membingungkan. Kami mendukung dan mendorong semua upaya yang kondusif untuk penyelesaian krisis secara damai," ungkap Liu, seperti dikutip The Straits Times. (*)
(Sumber: TribunPekanbaru.com)