Sisi Lain Palu

Kisah Penjual Dange Tabaro di Palu Bisa Sekolahkan Anak Sampai Lulus SMA

Jajanan kuliner di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) bisa kita dapatkan dimana saja.

Editor: Haqir Muhakir
TRIBUNPALU.COM/RIAN AFDAL
Ardiah (42), pedagang Tabaro Dange di Kota Palu. 

Laporan Wartawan TribunPalu, Rian Afdhal

TRIBUNPALU.COM, PALU - Jajanan kuliner di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) bisa kita dapatkan dimana saja.

Makanan tradisional yang sering dikunjungi oleh warga yakni Tabaro Dange.

Sejumlah penjual makanan khas suku kaili itu bisa didapatkan di Pantai Talise, Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur.

Tabaro Dange sendiri adalah makanan khas yang terbuat dari sagu dan cara pembuatannya masih terbilang tradisional, hanya memakai tungku dan belanga yang terbuat dari tanah liat.

Baca juga: Pria di Sigi Dilaporkan Hilang usai Pamit Hendak Tangkap Ikan di Sungai Toro

Harga dari tabaro dange juga tergolong murah, dengan mengeluarkan uang Rp.5.000 sudah bisa menyantapnya sembari duduk menikmati pemandangan di pantai talise.

Namun, siapa sangka penjual dange tabaro itu memiliki kisah haru.

Seperti Ardiah (42), ia mengatakan berjualan dange tabaro ini sudah sejak tahun 2016 digelutinya. Namun, karena tsunami, gempa dan likuifaksi yang melanda Kota Palu, Sigi dan Donggala bisnis jualan dange tabaronya terhenti sejenak.

"Sekitar 6 bulan saya terhenti jualan," ucapnya saat ditemui TribunPalu, di Kampung Nelayan, Kecamatan Besusu Timur, Kecamatan Palu Timur Senin (6/2/2023).

Untuk memenuhi kebutuhan 3 anaknya, ia bersama suaminya yang merupakan petani harus extra bekerja keras.

Untuk penjualan perhari, kata Ardiah tidak menentu, terkadang ia hanya mendapatkan 50 ribu sampai 100 ribu.

"kalau pendapatan tidak menentu, kalau sunyi itu 50 ribu kalau rame kadang 100 sampai 200 ribu, tapi kalau 50 ribu itu kita tidak dapat untung," ujanya.

Ardiah yang merupakan warga Desa Kola-Kola, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala harus menaiki angkutan umum setiap harinya.

"Kalau saya itu naik angkot dari donggala kemari, biasanya buka setengah 4, pulangnya biasanya habis isya," tuturnya.

Namun, dengan semangat yang tinggi, ia bersama suaminya bisa menyekolahkan ketiga anaknya.

"Kalau anak saya yang satu sudah lulus SMA, yang kedua masih kelas 1 SMA dan yang ketiga masih SD," tuturnya.


 
 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved