Pemilu 2024 Sulteng

Uji Materi Sistem Pemilu di MK, LPK Sulteng: Jika Dikabulkan, Ini Kemunduran Demokrasi

Koordinator Peneliti & Pengkajian Lembaga Pendidikan Kepemiluan (LPK) Sulteng, Sigit Wibowo menanggapi Uji materi sistem pemilu proporsional tertutup

|
Penulis: Citizen Reporter | Editor: Haqir Muhakir
Dok Pribadi
Koordinator Peneliti & Pengkajian Lembaga Pendidikan Kepemiluan (LPK) Sulteng, Sigit Wibowo menanggapi Uji materi sistem pemilu proporsional tertutup yang saat ini sedang bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). 

TRIBUNPALU.COM - Koordinator Peneliti dan Pengkajian Lembaga Pendidikan Kepemiluan (LPK) Sulteng, Sigit Wibowo menanggapi Uji materi sistem pemilu proporsional tertutup yang saat ini sedang bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK).

Sigit Wibowo menilai jika MK mengabulkan sistem pemilu tertutup, tentunya hal ini merupakan wujud kemunduran demokrasi.

"Jika ada perubahan yang semula Proporsional Terbuka menjadi proporsional tertutup hal ini merupakan kemunduran demokrasi Bangsa Kita," ujar Sigit di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (31/5/2023) siang.

pemilu dengan sistem seperti itu ibarat rakyat memilih wakil melalui simbol, Simbol itulah yang kemudian menentukan siapa wakil rakyat yang bakal duduk di parlemen, rakyat hanya memilih partai tidak bisa memilih wakilnya secara langsung dan partailah yang menentukan siapa yang terpilih berdaasarkan nomor urut.

Baca juga: Rapat Paripurna DPRD Sulteng, Fraksi Gerindra Umumkan Perubahan AKD

Selain itu, pemilu proporsional tertutup juga memunculkan Potensi menguatnya oligarki di internal parpol dan Munculnya potensi ruang politik uang di internal parpol dalam hal jual beli nomor urut.terang Sigit


"Janganlah kita kembali Pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, karena sistem pemilu ini memiliki sejarah panjang. Sistem pemilu proporsional tertutup bahkan sudah dipakai sejak era Orde Lama.

Dengan sistem proporsional tertutup pada Orde Lama, politik saat itu menjadi demokrasi terpimpin. Hal ini kemudian memberi porsi kekuasaan besar kepada eksekutif".terang Sigit

Sedangkan Pada masa Orde Baru, model ini dipakai selama enam kali pemilu. Namun kemudian dianggap tidak demokratis dan memunculkan hegemoni parpol besar. Kala itu hubungan partisipasi dan apresiasi publik semakin sempit.

Sejatinya seluruh masyarakat memiliki ruang dan peluang yang adil. Karena itu, rakyat bisa menggunakan haknya dengan baik untuk memilih dan dipilih secara individu.

Sigit berharap MK tetap mepertahankan sistem pemilu Proporsional Terbuka sebagaimana yang telah di atur melalui Pasal 168 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sehingga tidak terjadi kemunduran demokrasi bangsa kita ," kata Sigit. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved