OPINI

TPS dan Jaminan Perlindungan Suara Rakyat dalam Pilkada Serentak 2024

TPS sebesar itu, akan digerakkan penyelenggara pemilu sebanyak 45.468 orang yang tersebar diseluruh wilayah daerah pemilihan provinsi Sulawesi Tengah.

Penulis: Citizen Reporter | Editor: mahyuddin
HANDOVER
Dr Sahran Raden, S.Ag., SH., MH, Akademisi Dosen Hukum Tata Negara pada Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu 

Dr Sahran Raden, S.Ag., SH., MH

Akademisi Dosen Hukum Tata Negara pada Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu

Rabu, 27 Nopember 2024, masyarakat Indonesia akan berbondong bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) Pilkada serentak.

TPS di Sulawesi Tengah tersebar di 13 kabupaten maupun kota, 175 Kecamatan dan 2.017 desa.

Jumlah TPS mencapai 5.496 dengan pemilih sebesar 2.225.639 jiwa.

TPS sebesar itu, akan digerakkan penyelenggara pemilu sebanyak 45.468 orang yang tersebar diseluruh wilayah daerah pemilihan provinsi Sulawesi Tengah.

Tulisan ini ingin menjelaskan secara sederhana pemahaman kita tentang eksesistensi TPS  dan hubungannya dengan keamanan atas jaminan kedaulatan suara pemilih saat pemungutan dan penghitungan suara.

TPS tidak saja dilihat dari bentuk atau sarana untuk pemilih, namun TPS sebagai instrumen demokrasi dalam melindungi keamanan dan perlindungan suara rakyat sebagai hak konstitusional dari suara rakyat yang berdaulat dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2024. 

Menjelang pemungutan suara pilkada serentak pada 27 Nopember 2024, paling tidak ada tiga kekhawatiran publik.

Pertama, terkait dengan ancaman adanya potensi pelanggaran dan kecurangan di TPS.

Kedua, menguatnya praktek politik uang.

Ketiga, tidak terpenuhinya pelayanan administratif oleh penyelenggara pilkada di TPS .

Kekhawatiran adanya potensi pelanggaran dan kecurangan di TPS

Salah satu syarat pokok demokrasi adalah adanya sistem Pemilu yang jujur dan adil (free and fair elections).

Pemilu jujur dan adil dapat dicapai apabila tersedia perangkat hukum yang mengatur proses pelaksanaan pemilu; sekaligus melindungi penyelenggara, kandidat, pemilih, pemantau, dan warga negara, dari berbagai praktik curang dalam penyelenggaraan pemilu yang akan mempengaruhi hasil pemilu. 

Pemilu dan pilkada sebagai arena konstestasi politik demokratis dalam mengkonversi suara rakyat untuk pengisian jabatan jabatan dipemerintahan baik eksektutif maupun legislatif berpotensi terjadinya pelanggaran pelaksanaan pemilu.

Tantangan Pilkada sebagai arena kontestasi pemimpin daerah sangat rentan adanya pelanggaran, manipulasi dan  kecurangan pilkada yang basisnya ada di TPS.  

Beberapa tantangan dan potensi pelanggaran dan kecuarangan di TPS di antaranya,  pembukaan dan penutupan TPS yang tidak tepat waktu, adanya surat suara yang tidak cukup atau kurang.

Masih banyaknya pemilih yang tidak memiliki identitas kependudukan berupa KTP atau biodata penduduk untuk memenuhi hak memilihnya.

Masi ada potensi formulir C pemberitahuan tidak optimal terdistribusi kepada pemilih.

Potensi adanya DPT yang tidak ditempel di TPS saat pemungutan suara.

Potensi adanya surat suara tertukar antardaerah pemilihan. 

Adanya  pemilih pindahan yang tidak dapat memilih di daerah tujuan memilih serta adanya pemilih tambahan yang tidak dapat memenuhi hak konstitusionalnya.

Selain itu, potensi penggunaan hak pilih lebih dari satu kali, untuk dua orang pemilih.

Pemilih yang diberi surat suara ganda, baik surat suara pemilihan gubenur dan wakil gubernur maupun pemilihan bupati atau wali kota sehingga dapat berakibat pemungutan suara ulang.

Dalam catatan evaluasi pemilu dan pilkada sebelumnya,  sumber potensi pelanggaran pilkada di TPS itu berasal dari penyelenggara pemilu.

Yakni KPPS yang kurang profesional dan kurang hati hati dalam melaksanakan tugasnya di TPS.

Slain sumbernya berasal dari KPPS, potensi pelanggaran di TPS juga berasal dari pemilih. 

Potensi Politik Uang 

Kehawatiran publik terhadap proses pilkada serentak adalah praktek politik uang.  

Musuh utama dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi, baik nasional maupun lokal di Indonesia adalah praktek politik uang.

Istilah politik uang dimaksudkan sebagai praktek pembelian suara pemilih oleh peserta pemilu, maupun oleh tim sukses, baik yang resmi maupun tidak.

Dengan politik uang, pemilih kehilangan otonominya untuk memilih kandidat pejabat publik melalui pertimbangan rasional, seperti rekam jejak, kinerja, program maupun janji kampanye karena memilih kandidat hanya karena pemberian uang belaka. 

Belajar dari pengalaman Pilkada sebelumnya, penyelenggara pemilu, baik KPU, maupun Bawaslu, tampaknya akan tetap sulit menghadapi praktek curang dalam kompetisi pilkada melalui politik uang yang sulit untuk dibuktikan.

Meskipun dalam Undang-undang Pilkada menegaskan pemberi dan penerima uang bisa dipidana, akan tetapi masalah pembuktian secara hukum akan merintangi proses penegakannya. 

Pemenuhan Pelayanan administratif Pilkada di TPS

TPS merupakan kelengkapan yang wajib disiapkan saat hari voting day Pilkada 2024.

Agar pilkada berjalan dengan lancar, TPS harus disiapkan dan dipastikan dapat aksesibel untuk semua pemilih.

Penyelenggara di TPS adalah KPPS sebagai penyelenggara pilkada merupakan kelompok penyelenggara pemungutan suara yang bekerja di TPS berjumlah tujuh orang, bertugas mengarahkan pemilih saat hari pemungutan suara berlangsung.  

Sesuai ketentuan Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2024 tentang pemungutan dan penghitungan suara pemilihan gubenur dan wakil gubernur, bupati dan dan wakil bupati serta wali kota dan wakill wali kota, menegaskan bahwa pemilih yang berhak memberikan suara di TPS meliputi:

Pemilik KTP-el yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap di TPS yang bersangkutan;

Pemilik KTP-el yang terdaftar dalam daftar Pemilih Pindahan;

Dan Pemilik KTP-el yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap dan daftar Pemilih Pindahan.

Dalam hal terdapat penduduk telah memiliki hak pilih tetapi belum memiliki KTP-el pada Hari pemungutan suara, Pemilih dapat menggunakan Bio data penduduk.

Dalam konteks demikian, maka KPPS perlu memastikan bahwa pelayanan pemilih di TPS disesuaikan dengan norma pengaturan tersebut.

Pelayanan secara administratif ini untuk memastikan agar KPPS bekerja secara profesional agar memitigasi adanya potensi permasalahan di TPS

Dalam proses pemungutan suara di TPS , Ketua KPPS memanggil Pemilih untuk mengambil Surat Suara.

Kemudian Pemilih memeriksa kondisi Surat Suara sebelum menujuk Bilik Suara.

Pemilih menggunakan hak pilihnya (mencoblos) dengan alat coblos yang telah disediakan (paku) dengan mencoblos 1 (satu) kali pada kolom yang berisi nomor urut, pas foto, dan nama Pasangan Calon Pemilih.

Pemilih kemudian memasukkan Surat Suara ke dalam kotak sesuai jenis pemilihan dipandu oleh KPPS 6.  

KPPS 7 meneteskan tinta dengan alat tetes ke salah satu jari Pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya.

Petugas Ketertiban di Pintu Keluar TPS mememberitahukan Pemilih wajib untuk mencuci tangan di tempat yang telah disediakan. 

Pelayanan administratif di TPS di atas, perlu disampaikan oleh KPPS disetiap saat agar terpenuhi pelayanan bagi pemilih. 

TPS rentan terhadap pelanggaran dan ancaman kecurangan itu.

Sejalan dengan desain pilkada yang  demokratis maka penyelenggara pilkada, peserta dan pemilih  perlu melindunginya melalui jaminan tindakan di TPS yang profesional dan berintegritas. 

Hukum pemilu melalui kerangka undang undang pilkada sebagai sarana jaminan atas kebebasan dan keadilan dalam penyelenggaraan pilkada wajib ditaati bersama.

Perangkat regulasi berupa undang-undang pilkada telah memberi kesempatan kebebasan berdemokrasi melalui pemilu lokal yang lebih  transparan dan bertanggung jawab.

Transparansi dan keterbukaan pemilu, tidak saja terkait dengan proses pemungutan dan penghitungan suara tetapi, KPU juga memastikan bahwa proses pemungutan suara di TPS dilakukan sesuai prosedur, tata cara dan mekanisme  ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pilar Perlindungan suara rakyat 

Pilkada  tidak sekedar menjadi pesta demokrasi semata akan tetapi  harus diarahkan sebagai bagian penting dari proses demokrasi lokas yang bermartabat dan berkualitas.  

Di dalam prosesnya, tidak hanya berbagai azas penting pilkada seperti: langsung, umum bebas dan rahasia serta jujur dan adil harus dilakukan secara konsisten, tetapi pilkada  juga harus dilakukan untuk menjamin suara rakyat dapat berdaulat. 

Paling tidak, ada tiga pranata utama dalam menjamin suara pemilih terlindungi dengan baik.

Pranata itu yakni ; Pertama, Pranata Penyelenggara Pemilu KPU dan Bawaslu serta DKPP.

Kedua, Pranata Peserta Pilkada yakni ; Partai Politik, Pasangan Calon, Tim Kampanye dan saksi.

Ketiga, pranata hukum dan etika politik, berupa peraturan perundang undangan dan kehidupan sosial budaya yang mendukung demokrasi dan pilkada dijalankan secara berkualitas.

Penting untuk memastikan  bahwa pranata perlindungan suara rakyat itu di antaranya adalah penyelenggara pemilu.

KPU dan Bawaslu adalah lembaga utama yang melindungi suara rakyat dalam pilkada.

Kotak suara itu hanya sebagai benda yang tidak memiliki kehidupan.

Faktor penyelenggara yang berintegritas akan menjadi pelindung suara pemilih di TPS pada saat pemungutan dan penghitungan suara sampai pada tahapan rekapitulasi hasil pilkada

Selain penyelenggara pemilu, pranata pilkada demokratis itu yakni peserta pilkada.

Pasangan Calon, partai politik pengusul, tim kampanye  harus menjamin bahwa dalam praktek pilkada untuk tidak melakukan praktek curang.

Modus kecurangan pilkada yang bisa saja dilakukan oleh peserta pilkada, dengan cara menyuap penyelenggara di tingkat bawah seperti KPPS, PPK dan KPU Kab/kota atau KPU Provinsi serta menyuap pemilih melalui praktek politik uang.

Pranata UU dan sejumlah Peraturan KPU, Peraturan Bawaslu dan Peraturan DKPP, merupakan pranata hukum dan etika yang dapat menjamin terselenggaranya pilkada berjalan secara berkuaitas baik dari prosesnya maupun hasilnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved