Sulteng Hari Ini

Sosok Uthe Kabonga, Legenda Pengamen Palu dan Guru Gitar Abdee Slank

Frasa itu bermakna, saat Abdee Slank masih usia SMP di kota dermaga tua di Donggala, sekitar 49 km barat Kota Palu.

Penulis: Tamzil Thahir | Editor: Regina Goldie
TAMZIL/TRIBUNPALU.COM
Anugerah 'Uthe Kabonga' (62) di sebuah kafe di timur Kota Palu, Sulteng, Selasa (17/12/2024) siang. 

TRIBUNPALU.COM - "ABDEE itu masih seperti ini, waktu saya ajar pegang gitar di Kabonga, Donggala," ujar Anugerah 'Uthe Kabonga' (62), soal kedekatannya dengan gitaris Slank, Abdi "Abdee Slank" Negara Nurdin (55) di sebuah kafe di timur Kota Palu, Sulteng, Selasa (17/12/2024) siang.

Saat Uthe Kabonga mengungkap frasa 'seperti ini', telapak tangannya diturunkan selevel bahu.

Frasa itu bermakna, saat Abdee Slank masih usia SMP di kota dermaga tua di Donggala, sekitar 49 km barat Kota Palu.

Uthe dan Abdee selisih 8 tahun

Uthe menyebut dialah pembenam genre musik blues ke Abdee.
Saat Uthe sudah melanglang pengalaman bermusik di Makassar, Jakarta, Bogor hingga Cimahi, Abdee masih duduk di bangku SMP 1 Donggala.

"Kebetulan rumah orangtua Abdee itu, samping kantor Pos Donggala, kantor bapak saya," ujar Uthe.

Di awal dekade 1980-an, ayah Uthe, Alex Irot menjabat kepala kantor Pos Donggala.

Sementara ibu Abdee, Pue Radeng Lamarauna jadi staf di kantor pos. "Meski badarah Manado, Ibu saya (Emily Mampuk) itu su seperti saudara dengan Mamanya Abdee," ujar Uthe kepada TribunPalu.com.

Ayah Abdee Slank, Andi Tjella Nurdin, termasuk tokoh di Donggala dan Sulteng. 

Tiga periode dekade 1980 hingga 1990-an, Tuaka Bugis ini, jadi anggota MPR-RI utusan daerah Sulteng di Senayan, Jakarta.

Di Palu dan Donggala, Uthe Kabonga, dikenal sebagai legenda pengamen keliling. 

Baca juga: Kemacetan di PT IMIP Morowali saat Pergantian Shift, Pemprov Sulteng Dorong Pelebaran Jalan

Tampangnya brewokan. Rambut di muka, hingga kepala sudah beruban. Suara khas nan unik, selaras dengan aneka petikan gitar. 

Di Palu, muka Uthe nyaris sefamiliar dengan caleg dan kepala daerah terpilih.
Jejaring dengan kelompok aktivis pro demokrasi, jurnalis, dan pegiat kebudayaan sudah lebih tiga dekade.

Pengusaha dan politisi Perindo, Ronny Tanusaputra (55), suami Vera Elena Laruni (60), bupati Donggala terpilih, adalah sejawat masa mudanya di Donggala.

"Kalo Ko Ronni itu di Donggala dikenal LaBaco. Kakaknya Budi saya lihat semua main kalareng, saya akrabnya sama Omnya," ujar Uthe.

Ketenaran Uthe Kabonga dibenarkan Nurdin "Paduka" Togean (50), aktivis dari Nebula dan founder Relawan untuk Orang dan Alam (ROA) dan jurnalis senior Harian Mercusuar, Tasman "Ayah" Banto (63).

Baca juga: Lakalantas di Morowali Periode Januari-November 2024 Capai 105 Kasus, 37 Korban Jiwa

"Kalo Om Uthe ini sama bahkan lebuh populer dari walikota Palu," kelakar Paduka, soal Uthe.

Uthe memang mengakui, kedekatannya dengan jejaring kelas menengah dan aktivis Kota Palu, memberinya banyak insight dalam bermusik.

"Saya banyak berguru narasi lirik dari almarhum Haidar Laudjeng, bapak LSM Palu," ujarnya kepada TribunPalu.com.

Dia juga punya jejaring dan reputasi sosial baik dengan kelompok pengusaha asal Donggala di Kota Palu.

Lagu ciptaannya, Salena, soal penembakan tokoh Kaili Daa', adalah manifestasi dari kepedulian sosialnya.

Uthe adalah anak tunggal dari pasangan Alex Irot dan Emily Mampuk.
Dia menghabiskan masa kecil di Makassar, tempat tugas pertama ayah di Djawatan Pos dan Telekomunikasi.

Inilah yang mengaffirmasi kenapa saat Uthe fasih melafalkan dan menyanyikan lagu daerah Bugis-Makassar.

Baca juga: TKD Sulteng 2025 Capai Rp 18,74 Triliun dan DIPA Sulteng 2025 Rp 6,6 Triliun

Lalu masa SMP dilanjutkan di Cimahi, Bogor.

Dia sempat sekolah di SMA MCA Manggarai, Jakarta dan kelar 1979. 

"Saya ini, anak tunggal tapi besar di jalanan ibukota." ujarnya.

Pengalaman di kafe, diskotik, ruang budaya publik di ibukota adalah guru otodidaknya dalam bermusik.  

Uthe pernah menikah dan punya anak

Kemampuanya mengarrangement musik lokal jadi genre blues, jazz, pop rock, atau Raggae, adalah satu kelebihannya.

Dia juga beberapa kali ikut event seni budaya di ibukota, Makassar dan Sulteng, jadi konfirmasi jiwa seninya.

Dia selalu menjiwai musik lantunanya.

"Prinsipnya, semua yang dari hati akan masuk ke hati." ujarnya.
Kerelawanan Uthe Labonga juga terlihat saat trilogi bencana Palu, Sigi dan Donggala (Pasigala), 28 September 2018 lalu.

Baca juga: TKD Sulteng 2025 Capai Rp 18,74 Triliun dan DIPA Sulteng 2025 Rp 6,6 Triliun

Dialah yang mememobilsasi evakuasi warga kampungnya di Kabonga dan Tanjung Karang, Kota Donggala, untuk naik ke perbukitan Bale, Banawa.
"Sekitar jam 3 sore di Pantai Donggala saya lihat bulu babi (Diadema setosum) sebesar anak balita, durinya sebesar ibu jari saya, itu tidak pernah ada di Donggala," kenangnya.

Usai guncangan gempa 7,1 magnitude, Uthe lalu naik ke kawasan Gunung Bale, kompleks perkantoran pemda Donggala.

"Saya sudah lihat, garis hitam di pantai. Saya lalu turun ke Kabonga, teriak-teriak ayoo naik semua ke gunung. Tsunami akan datang," ungkap Uthe.

Dan, benar, jelang azan Magrib, gelombang tsunami setinggi 6 meter datang menggulung kawasan pemukiman di Teluk Palu.

Sebagian besar warga kampungnya, selamat dari terjangan bencana paling parah di Indonesia itu.

Sehat, amanat, dan tetap bersahabat selalu Om Uthe Kabonga. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved