Suara Pembaca

Warga Curhat Soal Buntu di Kantor Pertanahan Palu, BPN: Kami Sudah Balas Suratnya

Kami  memilih untuk mendahulukan langkah non-peradilan/Lltigasi, sebagai bentuk apresiasi kepada negara yang telah menyediakan jalur non-Peradilan

|
Penulis: Robit Silmi | Editor: mahyuddin
HANDOVER/
Suara Pembaca - Foto ilustrasi seorang pembaca dan penulis di depan laptop. Pembaca TribunPalu.com bernama Canny Watae melayangkan tulisan terkait persoalannya dengan layanan Kantor Pertanahan Kota Palu. Foto diperoleh dari 

Penulis Canny Watae

Warga Negara

TRIBUNPALU.COM - Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Palu menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) lahan milik orangtua kami (almarhum) pada tahun 2019 dan baru kami ketahui pada Januari 2024.

Itu setelah utusan pemegang SHM mendatangi kami dengan klaim lokasi. 

Ahli waris hanya memegang dokumen Akta Jual Beli (AJB) dari pejabat PPAT yang berwenang menurut hukum ketika itu (Camat Palu Timur), lengkap dengan Surat Keterangan Tanah dari Kelurahan Besusu (sebelum pemekaran).
 
Lahan tersebut pernah mengalami uji hukum ketika digugat seseorang pada tahun 1983, yang mana gugatannya diputus dengan amar Ditolak untuk keseluruhannya oleh Pengadilan Negeri Palu. 

Putusan itu kemudian dikuatkan Pengadilan Tinggi Sulteng melalui putusan banding dan berkekuatan hukum tetap terhitung sejak 10 Juni 1985.

Kelurahan Besusu Timur (pemekaran dari Keluruhan Besusu) memfasilitasi mediasi kedua belah pihak (22 Januari 2024). 

Turut dihadiri Babinsa dan Bhabinkamtibmas setempat. 

Masing-masing pihak berpegang pada dokumen yang dimiliki. 

Pemerintah Kelurahan tidak menyajikan dokumen apa pun yang bisa mengindikasikan bahwa SHM pihak sebelah telah melalui prosedur yang semestinya di tingkat kelurahan, sebelum diterbitkan. 

Baca juga: Kabar Baik! PT DLU Beri Diskon 15 Persen ke Penumpang Kapal KM Dharma Kencana

Sementara pihak kami, berbekal dokumen asli AJB PPAT Camat Palu Timur dan Surat Keterangan Tanah Kelurahan Besusu tahun 1976, meyakini ada prosedur hukum yang dilangkahi, sedemikian rupa, sehingga SHM pihak sebelah terbit. 

Kami menyakini SHM yang dimiliki pihak lain cacat hukum

Logikanya sederhananya, lahan kami dengan persuratan lengkap dan telah melewati uji hukum pengadilan telah tercatat sebagai hak milik pihak lain, tanpa kami ketahui.

Mediasi di tingkat kelurahan tidak menemukan titik temu damai. 

Kami menempuh langkah prosedural berupa pengaduan dan permohonan pembatalan SHM pihak sebelah ke ATR/BPN Kota Palu

Adapun pihak lawan melaporkan kami ke Polisi dengan tuduhan penyerobotan.

Kami  memilih untuk mendahulukan langkah-langkah non-peradilan/Lltigasi, sebagai bentuk apresiasi kepada negara yang telah menyediakan jalur non-Peradilan guna penyelesaian yang lebih sederhana dan efisien.

Dengan harapan, para penyelenggara layanan negara memperlakukan permohonan kami dengan mematuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik. 

Dengan semangat Good Governance, Kami menganggap penyelesaian di Kantor Pertanahan Kota Palu akan efektif dan efisien.  

Karena Penyelenggara layanan cukup hanya dengan melihat data fisik, yuridis, dan dokumen prosedur penerbitan sertifikat, yang sifatnya tidak melanggar ketentuan apa pun. 

Apabila memang Sertifikat pihak sebelah terbit tanpa mengandung cacat, maka penyelenggara dengan kewenangan dan sumpah jabatannya cukup menyatakan Sertifikat sempurna alias tanpa cacat. 

Dengan demikian, bagi kami, upaya non-peradilan di Kantor Pertanahan telah cukup. 

Kami selanjutnya mengambil langkah Peradilan ke  PTUN, berbekal keyakinan bahwa ada penyelenggaraan Tata Usaha Negara yang tidak benar.

Agar di PTUN pernyataan sertifikat tanpa cacat bisa diperiksa kebenarannya. 

Atau Kami langsung ke Pengadilan Negeri karena ada hak keperdataan kami yang hilang akibat terbitnya SHM dimaksud.

Faktanya, ATR/BPN Kota Palu pada akhirnya menghindari penanganan tuntas melalui jalur non-litigasi dan mengarahkan kami ke jalur Peradilan. 

Urusan kami dengan Kantor Pertanahan sebenarnya dapat dengan mudah selesai jika kantor tersebut menerapkan prosedur utuh sebagaimana digariskan dalam instrumen peraturan untuk itu.

Yaitu Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan. 

Dalam pelaksanaan prosedur itu, semua pihak melihat lengkap dan sahnya suatu dokumen hingga adanya penerbitan SHM.

Awalnya, dengan merujuk Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan, Kantah Kota Palu menjawab surat permohonan kami per Januari 2024.

Lewat surat itu, ATR/BPN Kota Palu menyampaikan tidak dapat ditindaklanjuti (Surat Nomor: MP.02.03/209-72.71/II/2024 tertanggal 22 Februari 2024). 

Namun kami mengajukan surat tanggapan balik pada 26 Februari 2024 dengan argumen pernyataan tersebut Premature karena masih kurang pertimbangan dan tidak sejalan dengan Peraturan yang dijadikan dasar pernyataan. 

Kami menunjukkan dasar-dasar argumen kami dari Peraturan Menteri tersebut.

Tanggapan kami mendapat tindak lanjut.

Pada bulan Maret 2024, petugas BPN bernama Tia Meilana dari Seksi V Pengendalian dan Penanganan Sengketa bersama tim datang ke lokasi lahan kami dan melakukan pengambilan data koordinat 4 titik sudut lahan dengan perangkat ukur resmi.

Setelahnya, tidak ada perkembangan apapun pascapengambilan data tersebut.

 Setelah tiga bulan, tepatnya Juli, kami berinisiatif bertanya informal via aplikasi perpesanan kepada Tia Meilana.

Setelah itu baru kami memperoleh surat jawaban.

Dalam surat jawaban nomor MP.02.03/807-72.71/VIII/2024 tertanggal 2 Agustus 2024 itu, tidak ada satu pun penyampaian terkait giat pengambilan data koordinat Maret. 

Melalui surat itu, Kantor Pertanahan Kota Palu menyampaikan bahwa mediasi telah terjadi dan tidak mendapatkan titik temu.

Lalu selain mediasi tersebut tidak mendapatkan titik temu, bidang tanah sertifikat termaksud (tanah sengketa) sedang dalam proses penyelidikan di Polresta Palu.

Lalu kami diarahkan agar mengajukan gugatan mengenai data fisik dan data yuridis ke pengadilan dengan acuan ketentuan Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997. 

Kami kemudian menanggapi balik surat Kantah tanggal 20 Agustus 2024.

Lewat surat itu, kami menyatakan pengarahan ke pengadilan bisa menyesatkan warga negara penerima manfaat layanan publik. 

Sebab, PP Nomor 24 tahun 1997 adalah tentang Pendaftaran Tanah, bukan mengenai atau mengatur tentang penyelesaian sengketa menyangkut SHM yang telah terbit. 

Baca juga: Bhabinkamtibmas Poleganyara Poso Pakai Pendekatan Kekeluargaan Selesaikan Sengketa Tanah

Ketentuan PP Pasal 27 ayat (3) itu terhubung ke Pasal 26 lalu terhubung ke Pasal 25 lalu terhubung ke Pasal 24 yang kesemuanya adalah regulasi untuk Pembuktian Hak Lama, untuk kepentingan Pendaftaran Tanah sebelum diterbitkannya sertifikat. 

Sementara Permohonan kami adalah terkait sertifikat yang diklaim telah terbit.

Jika arahan Kantor Pertanahan serta-merta kami turuti, maka dengan demikian penanganan atas permohonan kami seakan-akan telah selesai di Kantah.

Di sisi lain, penerapan norma Pasal 27 ayat (3) di Kantah dengan sendirinya menyatakan status SHM pihak lain justru sedang dalam masa pembuktian. 

Hal itu menimbulkan kerancuan karena menciptakan suatu keadaan di mana sebuah produk hukum SHM sudah terbit, sementara alas haknya masih dalam masa pembuktian.

Kami juga diberi ultimatum, "Adapun jangka waktu Saudara mengajukan gugatan mengenai data fisik dan data yuridis ke Pengadilan sesuai ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak pemberitahuan ini diterima". 

Namun, bagi kami, ultimatum itu justru memberikan indikasi kuat bahwa SHM pihak sebelah pada dasarnya benar belum terbit. 

Juga menimbulkan kerancuan lain. 

Data Fisik dan Yuridis dari SHM pihak sebelah itulah yang kami mohonkan secara prosedural agar disajikan kepada kedua belah pihak, yang mana ajangnya bisa pada sesi mediasi resmi Kantah Palu.

Hanya saja, mediasi itu tidak pernah dilaksanakan. 

Bagaimana mungkin kami mengajukan sebuah gugatan terhadap data yang tidak pernah dibuka?

Menyangkut "mediasi" di Kantor Kelurahan Besusu Timur, Kantah telah memaksakan keadaan bahwa Mediasi telah dilaksanakan dan menghindari pelaksanaannya dalam lingkup prosedur penanganan sengketa dalam lingkup Instansi Kantor Pertanahan

Peraturan yang mengikat Kantah adalah jelas dan tidak memerlukan tafsir lain.

Yaitu Pasal 1 angka 11 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN Nomor 21 tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan Bab I Ketentuan Umum. 

Aturan itu mendefinisikan mediasi adalah cara penyelesaian kasus melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan yang dilakukan para pihak untuk difasilitasi oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya.

"Mediasi" yang dilakukan di Kantor Kelurahan tidak difasilitasi Kantah Palu, tidak pula dilakukan Mediator Pertanahan yang ditunjuk untuk itu. 

"Mediasi" itu juga tanpa tata cara yang disyaratkan Pasal 44 angka 10 Peraturan Menteri di atas yang berbunyi: Tata cara Mediasi diatur lebih lanjut dengan Petunjuk Teknis.

Atas pengkorelasian permohonan kami ke Kantah untuk membatalkan SHM pihak sebelah dengan Laporan Polisi yang dilakukan pihak sebelah, kami merasa tindakan pengkorelasian itu berpotensi sebagai tindakan campur-aduk kewenangan pejabat Kantor Pertanahan.

Penyelenggara layanan dengan kewenangan menentukan diterima-tidaknya Permohonan kami, secara nyata telah menarik masuk peristiwa atau hal lain yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan Permohonan yang kami ajukan. 

Laporan Polisi yang dirujuk Kantah ada pada ranah pidana. 

Sementara, Permohonan yang kami ajukan semata-mata adalah mengenai penyelenggaraan Tata Usaha Negara dalam instansinya belaka. Masuk ke ranah perdata saja belum. 

Lagi pula, apa yang dilaporkan kepada kami masih sebatas tuduhan oleh pelapor. 

Belum berupa suatu keadaan hukum yang telah berkekuatan tetap. 

Selain itu, Laporan Polisi tersebut bukanlah mengenai legalitas dokumen kepemilikan bidang tanah kami, yang sekiranya dapat mematahkan legal standing kami untuk mengajukan Permohonan kepada Kantah.
 
Dengan demikian pengarahan dalam surat Kantah 2 Agustus 2024 agar kami mengambil langkah ke Peradilan telah tidak berdasar pada Mediasi yang semestinya sebagaimana diatur dalam ketentuan Perundangan.

Dan kebijakan pengarahan itu dikorelasikan pada peristiwa yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pokok permohonan. 

Kami rasa pengarahan itu berpotensi sebagai sebuah tindakan yang tidak prosedural/menyimpang, dan bisa menyesatkan kami sebagai Warga Negara penerima manfaat Layanan Publik.

Surat tanggapan balik yang kami layangkan tertanggal 20 Agustus itu hingga Januari 2025 ini tidak mendapat respon apa pun dari pihak Kantah. 

Kantor Pertanahan Palu tetap mengacu pada balasan terakhir, yaitu surat Nomor: MP.02.03/807-72.71/VIII/2024 tertanggal 2 Agustus 2024.

Di sinilah kami merasa dibawa ke kebuntuan. Dan kami memilih membawa kebuntuan ini ke Media selaku Pilar ke-4 Demokrasi. 

Dengan harapan kebuntuan ini terpecahkan.

Respon BPN Palu

Kantor ATR/BPN Kota Palu tak memberikan jawaban detail terkait curhat Canny Watae.

Petugas yangmenemui TribunPalu.com hanya memberikan balasan surat terhadap Canny Watae.

"Kami sudah kirim surat balasan," ujar petugas Kantah Palu bernama Nasir.

Dia pun enggan memberikan ketarangan lain terkait persoalan tersebut kepada TribunPalu.com.

"Maaf pak, kalau soal itu kami tidak bisa jelaskan, apalagi bapak dari pihak media," kata Nasir.

Usai memberikan jawaban, Nasir kembali ke ruang kerjanya dan menutup pintu.

Satpam Kantor Pertanahan Kota Palu sebelumnya telah menyampaikan bahwa Kepala ATR/BPN tengah cuti keluar kota.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved