Kurban Tapi Pakai Uang Hasil Utang, Apakah Sah? Simak Penjelasannya

Diketahui, ibadah kurban diperuntukkan bagi yang mampu, tetapi belum mendapat kesempatan untuk melaksanakan haji.

|
Editor: Fadhila Amalia
TRIBUN JATENG/HERMAWAN HANDAKA
ILUSTRASI sapi hewan kurban. 

TRIBUNPALU.COM - Menjelang datangnya Hari Raya Idul Adha 2025, sebagian umat muslim yang berencana akan berkurban pasti sudah mulai melakukan sejumlah persiapan.

Mulai dari menyiapkan tabungan untuk membeli Hewan Kurban hingga mencari dan memilih hewan yang akan dikurbankan.

Baca juga: Cek Daftar 15 Jemaah Haji Indonesia Meninggal Dunia di Tanah Suci

Diketahui, ibadah kurban diperuntukkan bagi yang mampu, tetapi belum mendapat kesempatan untuk melaksanakan haji.

Atau bagi mereka yang sudah melaksanakan haji, maka dianjurkan pula untuk tetap melaksanakan kurban setiap tahunnya.

Namun karena keterbatasan ekonomi, beberapa orang yang memiliki keinginan kuat untuk bisa melaksanakan kurban memilih alternatif lain agar dapat melaksanakan ibadah yang hanya dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah tersebut.

Beberapa cara yang menjadi pilihan yakni meminjam uang dari kerabat atau berhutang, lalu uang tersebut digunakan untuk membeli hewan yang akan dikurbankan.

Baca juga: Cerita Nurmin Rasakan Manfaat Program Berani Sehat saat Derita Asam Lambung

Namun pertanyaannya, apakah Islam membenarkan umat muslim melaksanakan kurban menggunakan uang hasil utang, berhubung karena ada keterbatasan ekonomi?

Soal hukum berkurban dengan cara berutang ini sebenarnya sudah pernah dibahas oleh pendakwah nasional Ustadz Abdul Somad atau UAS.

Dalam sebuah video tanya jawab singkat berdurasi 3.50 menit yang diunggah di YouTube resminya Ustadz Abdul Somad Official.

"Ustad, apakah boleh berkurban dengan cara meminjam uang terlebih dahulu pada orang?" tanya aktor keturunan Aceh tersebut

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Ustaz Abdul Somad menjelaskan terlebih dahulu jenis-jenis utang yang ada dalam hukum Islam.

Dai berdarah Melayu ini menyebutkan, dalam pandangan Islam, utang terdiri atas dua jenis.

Pertama yaitu utang yang diharapkan ada pembayarnya.

Kedua, utang yang tidak tahu bagaimana cara membayarnya.

Berdasarkan kategori ini, maka dapat diketahui hukum berkurban dengan cara berutang.

Berikut tayangan video penjelasan lengkap Ustad Abdul Somad soal hukum kurban dengan cara berutang.

Ustadz Abdul Somad dalam video tersebut menjelaskan, jika utang tersebut masuk dalam kategori pertama, maka dibolehkan berkurban dengan cara hutang.

"Kalau utangnya jenis pertama, boleh," ujarnya.

Dai yang juga akrab disapa UAS ini pun kemudian memberi contoh soal utang kurban dibolehkan jika jaminan pembayarnya.

Dicontohkan UAS, misalnya saja seseorang yang ingin berkurban meminjam uang, dengan jaminan akan membayarnya saat panen hasil.

"Bayarnya insya Allah panen sawit nanti bulan depan. Nyembelihnya akhir bulan ini," ucap UAS.

"Ada yang diharapkan untuk membayarnya. Maka kalau hutangnya jenis ini boleh," terangnya.

Namun yang tidak boleh, lanjut UAS, berkurban dengan cara berhutang yang tidak tahu kapan akan membayarnya.

Baca juga: Buya Yahya Tegaskan Hukum Kurban Secara Patungan

"Yang tidak boleh meminjam uang, tapi tak tahu kapan membayarnya," tegas Ustaz Abdul Somad.

Sebab, tambahnya, yang demikian itu selain membebani orang lain, juga tidak ada kejelasannya.

Sementara dalam Islam, utang-piutang harus ada kejelasannya, yaitu punya batas waktu tertentu.

Selain berhutang, cara lain yang bisa dilakukan untuk melaksanakan kurban jika memiliki keterbatasan ekonomi ialah kurban secara kolektif atau patungan.

Islam juga membolehkan umat muslim menyembelih seekor hewan untuk beberapa nama.

Namun hal ini tentu ada aturannya agar kurban yang dilaksanakan tetap sah dan tidak dianggap sebagai sedekah biasa.

Mengenai persoalan kurban secara patungan, telah dijelaskan secara rinci oleh pengasuh Lembaga Pengembangan Da'wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah, Buya Yahya.

Dalam sebuah tayangan video yang diunggah di YouTube Al-Bahjah TV pada 29 Juni 2022, Buya Yahya menegaskan, bahwa kurban yang dilaksanakan secara patungan, ada yang dinilai sah dan tidak sah.

"Dalam patungan hewan kurban ini, ada yang sah dan ada yang tidak sah," Dai yang bernama lengkap Prof. Yahya Zainul Ma'arif, Lc, MA, PhD tersebut.

Dalam video itu Buya Yahya menjelaskan, kurban secara patungan atau patungan kurban sendiri berarti bergabungnya beberapa orang dalam hal mengumpulkan dana untuk membeli hewan kurban.

Namun dalam hal patungan kurban ini, kata Buya Yahya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yang berujung pada sah dan tidak sahnya kurban.

Hukum patungan, jelas Buya Yahya, menjadi tidak sah jika sekumpulan orang berkurban dengan satu kambing.

Dalam hal ini, Buya Yahya mencontohkan kurban yang dilakukan di lingkungan sekolahan.

Baca juga: Sebentar Lagi Idul Adha 2025, Bolehkah Patungan Kambing atau Domba untuk Kurban? Ini Penjelasannya

"Satu kelas kumpul duit beli satu kambing, kurban dengan satu kambing. Maka yang demikian ini dianggap tidak sah sebagai kurban," jelas Dai yang bernama lengkap Prof. Yahya Zainul Ma'arif, Lc, MA, PhD tersebut.

Namun meski tidak sah menjadi kurban, sembelihan seekor kambing tersebut tetap menjadi sebuah pahala untuk menyenangkan sesama di Hari Raya Idul Adha.

"Artinya tidak ada kurban patungan (dengan seekor kambing) semacam ini," imbuh Buya Yahya.

"Makanya kalau di SMP SMA ada patungan kurban, itu namanya saja kurban. Tapi (secara hukum) bukan kurban. Tapi jangan dilarang juga, kan lumayan ada 10 kambing itu. Biar tidak jadi kurban, maka ia tetap mendapatkan pahala untuk menyenangkan orang di hari itu dengan sembelihan kambing," sambungnya.

 Buya Yahya menambahkan, sembelihan seperti itu tidak disebut sebagai kurban, lantaran hewan yang disembelih hanyalah seekor kambing.

Sementara hewan itu diperuntukkan bagi seluruh siswa dalam satu kelas.

"Gak ada satu kambing untuk satu kelas," ujar Buya Yahya sekali lagi.

Sementara itu, patungan kurban dianggap sah, apabila patungan dilakukan semisal tujuh orang mengumpulkan dana untuk membeli seekor sapi.

"Satu sapi tersebut dijadikan kurban untuk tujuh orang tersebut. Maka patungan yang seperti ini adalah sah sebagai kurban," jelas Buya Yahya.

 
Selain itu, Buya Yahya juga memberikan contoh bagaimana pelaksanaan kurban di lingkungan sekolah agar sah menjadi kurban.

Misalnya saja seluruh siswa dalam satu kelas berpatungan uang untuk membeli seekor kambing.

Lalu kambing tersebut diberikan kepada salah seorang yang ada di lingkungan sekolah tersebut sebagai kurban atas dirinya. Maka kurban tersebut sah.

"Kurban diberikan kepada salah satu dari mereka. Dia yang kurban. Maka sah jadi kurban. Kita dapat pahala membantu orang berkurban," papar Buya Yahya.

Baca juga: Imbauan Sholat Jumat di Masjidil Haram untuk Jemaah Haji Indonesia

Jadi kurbannya hanya satu orang. Satu kambing untuk satu orang" sambungnya.

Lebih lanjut Buya Yahya mengatakan, penting untuk menerapkan cara berkurban dengan benar di lembaga pendidikan khususnya yang sering melaksanakan kurban.

"Misalnya para siswa di sekolah mengumpulkan dana untuk membeli satu ekor kambing atau satu ekor sapi, kemudian diberikan kepada guru mereka untuk dijadikan kurban. Maka kambing atau sapi tersebut sah dianggap menjadi kurban dengan catatan setiap guru diberikan satu kambing, atau satu sapi untuk tujuh guru," kata Buya Yahya.

"Dalam hal ini sang murid memang gak berkurban. Sang murid mendapat pahala besar karena membantu gurunya, dan sang guru mendapat pahala kurban," pungkasnya.

Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved