Suara Pembaca

Berlibur ke Togean Menikmati Surga Tersembunyi di Garis Khatulistiwa

Wajahnya sumringah. Ia tersenyum puas. Destinasi wisata ini boleh dibilang salah satu yang terbaik di Indonesia.

Editor: mahyuddin
Dinas Pariwisata Tojo Una-una
Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah. 

PENULIS : Aslamuddin Lasawedy

Pemerhati Masalah Ekonomi, Budaya dan Politik

TRIBUNPALU.COM - Perjalanan Travelling ini dimulai bukan dari peta.

Justru dimulai dari rasa jenuh yang menumpuk seperti notifikasi Whatssapp yang tak terbaca.

Dimulai dari suasana kantor yang begitu rutin dan membosankan. Lalulintas kota yang begitu bising.

Pun obrolan basa-basi di kafe,  yang terasa seperti sandiwara yang tak ada jedanya.

Semua hal itu, membuat Roni merasa jenuh.

Ia butuh ruang yang bisa menenangkan jiwanya.

Ruang untuk diam, dimana dirinya bisa tenggelam dalam renungan, dan menemukan kembali dirinya yang sejati. 

Saat scrolling beragam tempat wisata di gawainya. Matanya terhenti di gugusan Pulau Togean yang begitu indah. 

Tak begitu lama, Roni langsung membeli tiket murah ke Palu, melalui aplikasi online.

Tiba di Palu, Sulawesi Tengah, ia melanjutkan perjalanan ke Ampana, Ibu Kota Kabupaten Tojo Una-una, melalui jalan darat.

Lalu melanjutkan perjalanannya dengan kapal cepat menuju Kepulauan Togean, di jantung teluk Tomini.

***

Pagi itu, kapal cepat melaju membelah laut di teluk Tomini.

Di sebelah Roni duduk seorang backpacker Jerman yang asyik membaca novel.

Di sisi yang lain, seorang ibu lokal sibuk menyuapi anaknya dengan pisang rebus. 

Roni merasa ada atmosfir berbeda saat berada di perairan teluk Tomini, Sulawesi Tengah.

Inilah satu-satunya teluk di dunia yang dilewati garis khatulistiwa.

Wajahnya sumringah. Ia tersenyum puas. Destinasi wisata ini boleh dibilang salah satu yang terbaik di Indonesia.

Sebuah tempat yang bisa menenangkan hatinya. Bisa membantunya melupakan segala kesibukan kesehariannya. 

Di depan Roni, laut seperti kaca. Tenang, luas, dan indah, yang diam-diam menyimpan segala hal yang tak pernah Roni bayangkan.

Angin laut yang berbau garam itu menjadi sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. 

Setibanya di Pulau Kadidiri, Roni disambut dermaga kayu dan kucing lokal yang mengibaskan ekornya, saking girangnya kedatangan tamu baru.

Cottage nya sederhana. Bangunan panggungnya dari kayu.

Tapi ada sesuatu yang mewah di sana, selain latar suara ombak yang begitu merdunya.

Cahaya matahari yang masuk dari sela bilik bambu, jatuh tepat ke bantal di tempat tidur. 

Roni menghabiskan hari-harinya dengan berenang, menyelam, dan berjalan kaki menyusuri pantai berpasir putih. Pun menikmati sunrise dan sunset di Togean.

Saat menyelam di bawah laut Togean, Roni merasa dunia terasa lebih jujur.

Karang-karang besar menjulang seperti reruntuhan kerajaan yang dilupakan sejarah. Ikan-ikan berwarna neon lalu-lalang seperti penari klub malam di dimensi lain.

Sesekali, ikan pari melintas dengan gerak lamban yang nyaris spiritual. Tak ada sinyal handphone.

Tak ada Zoom meeting. Yang ada hanya napas dalam masker selam dan detak jantung yang bergetar pelan. 

Suatu pagi, Rinto, pemandu lokal, mengajak Roni ke titik nol: garis khatulistiwa.

“Garisnya tidak kelihatan, tapi kita tepat di atasnya,” katanya sambil menunjuk ke permukaan laut yang seolah tak berubah.

Namun Roni merasakan keheningan yang aneh. Seperti berdiri di tengah-tengah panggung setelah pertunjukan selesai. Semua jadi sunyi. Segalanya terasa seimbang.

“Orang-orang yang datang ke sini menemukan banyak hal yang unik,” kata Rinto sambil menatap birunya laut.

"Saat pulang, mereka membawa kenangan indah puspa warna yang sulit untuk dilupakan.”

Malam terakhir, Roni duduk di ujung dermaga. Bintang-bintang memantul indah di permukaan laut.

Bulan terlihat begitu menawan. Roni hanya duduk diam. Tidak menulis apa-apa. Tidak juga memotret langit.

Ia hanya duduk. Mendengarkan. Merasakan.

Di Togean, bagi Roni, waktu seperti tidak berjalan, seolah mengendap.

Dari situ, Roni pun belajar untuk tidak terus-terusan bergerak.

Di Pulau Togean yang ada hanya laut, langit, dan diri Roni sendiri, dalam versi yang paling telanjang.

Ketika kapal menjemputnya untuk kembali. Roni tidak merasa sedih.

Namun ia tahu, bahwa ia akan terus membawa garis tak terlihat itu dalam dirinya.

Garis yang tak kasat mata, yang membelah dirinya menjadi dua.

Dirinya yang dulu selalu sibuk mengejar. Dan dirinya yang sekarang, yang tahu caranya berhenti.

Di Teluk Tomini, Roni menemukan bukan hanya pemandangan.

Pun beragam pengalaman yang sulit terlupakan.

Di Kepulauan Togean inilah Roni seperti tidak benar-benar pergi Travelling.

Justru, yang ia temukan adalah jalan pulang. Pulang ke jati dirinya yang sejati.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved