Penyiar tak lagi sendirian di udara; mereka kini berhadapan dengan algoritma, rating, dan tuntutan viralitas.
Yang lebih menantang, bukan sekadar kecepatan atau teknologi, melainkan bagaimana menjaga makna dan kepercayaan.
Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, perhatian menjadi komoditas langka.
Yang tak menarik, yang tak cepat, yang tak sensasional, cepat dilupakan.
Maka, banyak lembaga penyiaran tergoda: memilih jalan pintas, mengejar rating, mengorbankan idealisme.
Informasi berubah menjadi konsumsi cepat saji, bukan lagi santapan yang menumbuhkan kesadaran.
Namun, di balik semua itu, ada pertanyaan mendasar: masihkah dunia penyiaran relevan?
Masihkah suara yang menyapa dari balik mikrofon dan wajah yang muncul dari balik layar mampu memberi pengaruh yang mendalam?
Saya menjawabnya sendiri: masih. Tapi syaratnya, kita mau berubah atau tidak. Bukan sekadar beralih ke platform digital, tapi juga menjaga kualitas isi dan integritas suara.
Baca juga: Dorong Kemandirian Ekonomi, Sry Nirwanti Bahasoan Buka Pelatihan Merias dan Merangkai Bunga
Dunia penyiaran harus menjadi jangkar di tengah derasnya arus, bukan sekadar ikut mengalir, tapi menuntun arah.
Ia harus menjadi rumah yang menjaga etika, bukan panggung sensasi.
Tugas itu kini berada di tangan banyak pihak, termasuk KPID Sulteng yang baru saja dilantik.
Mereka bukan sekadar regulator, tetapi juga penjaga marwah penyiaran di daerah.
Di tangan mereka, harapan untuk dunia penyiaran yang sehat, mendidik, dan manusiawi bisa kembali tumbuh.
Dunia ini memang berubah. Tapi suara yang tulus, informasi yang jernih, dan niat yang baik akan selalu menemukan jalannya.
Penyiaran tak boleh kehilangan jiwanya. Karena saat dunia semakin bising, masyarakat justru semakin merindukan suara yang dapat dipercaya.
Mungkin gelombang telah berubah, layar pun berganti, tapi panggilan penyiaran tetaplah sama: menyapa, menyampaikan, dan menjaga.(*)